Keadaan kembali seperti semula, semua menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Berhari-hari terlewati, mau tidak mau semua harus membiasakan kejanggalan hidup tanpa kehadiran nenek. Luna mulai menghiasi hari-harinya dengan cerita di kampusnya lagi, ia bersama sahabat yang selalu ada untuknya itu melanjutkan masa-masa akhir perkuliahannya.
Kisah cinta Luna di masa kuliah memang tidak semulus yang ia harapkan, meskipun getaran antara dirinya dan Arjuna sudah jelas adanya tetapi waktu yang berkata belum tidak bisa ia lawan. Jika dulu masalah Luna adalah sembuh dari luka lama yang diberikan Revan, yang menghambat ia untuk bersama Arjuna, apalagi dengan adanya masalah yang lebih besar seperti kehilangan nenek sekarang. Kepergian nenek membuat gadis itu tidak terlalu memfokuskan dirinya pada cerita Arjuna. Meskipun begitu, Luna bisa dibilang beruntung dalam kisah persahabatannya bersama Cheryl. Gadis itu seakan mendapat keluarga baru saat memasuki dunia perkuliahan.
Gadis itu masih tidak tahu tujuan awal ia diterima di Fakultas Sastra, menemukan sahabat yang benar-benar ada untuknya mungkin salah satu jawabannya namun sisanya Luna masih mencaritahu.
***
Malam itu, Luna memijat ibu di kamar ibu. Keduanya berbincang mengenai kejadian apa saja yang terjadi hari itu sehingga membuat ibu mengungkit-ngungkit tentang nenek, Luna menanggapi ibu dengan baik dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar ibu tidak terus menerus bersedih sebab ibulah yang masih terus bersedih di depan orang apabila teringat nenek. Ibu terlihat nyaman dengan bagaimana Luna menanggapi ibunya, hubungan keduanya pun bisa dibilang membaik.
“Eh bu, aku mau cerita deh. Kemarin tuh aku gak enak badankan, terus masa Cheryl sampe apal gitu aku kenapa terus harus minum apa,” ucap Luna,
“Hmmm...duh dingin deh, ibu pengen pipis dulu,” kata ibu yang beranjak dari kasur, berjalan ke kamar mandi. Gadis itu terdiam sejenak dengan tatapan kosong, ia langsung pergi meninggalkan kamar ibu untuk masuk ke kamarnya. Gadis itu berteriak dan membanting semua barang-barang yang ada di kamarnya, “ABUELITAAAA,” teriaknya sambil menangis, “ABUELITA KENAPA NINGGALIN LUNA?!” teriaknya lagi kemudian melempar bantal dan gulingnya. Gadis itu duduk di bawah kasur, menangis histeris, merasakan rasa sakit seperti memukul-mukul dadanya.
Tak lama kemudian suara ibu memanggil namanya, membangunkan dirinya dari tatapan kosongnya tadi, “Lunaa,” panggil ibu sambil melambaikan tangannya di depan wajah Luna. Gadis itu pun menydarkan dirinya kembali dan melihat bahwa ia tengah melamun di kamar ibu.
Gambaran tadi merupakan perasaan Luna yang sebenarnya, yang ia harap dapat dilakukannya. Namun gadis itu tahu ia tidak memiliki tempat untuk itu, ditambah nenek yang sudah tidak ada.
“Tadi kamu cerita apa? Yang Cheryl ya? Kalian tuh lucu deh, kenalnya cuma 3 taun tapi kayak udah sobatan dari TK,” ibu berucap, Luna dibuat kaget mendengarnya. Sebab ini merupakan pertama kali ibu benar-benar menanggapi ceritanya, gadis itu tersenyum lebar. Detik ini ia sangat yakin bahwa hubungannya dan ibu benar-benar sudah membaik. Luna tidak tahu apa yang membuat ibunya berubah, tetapi ia tahu bahwa ia juga harus memperbaiki dirinya agar menjadi seperti apa yang diharapkan ibu.
Mendekati sidang, ibu dan Luna semakin banyak menghabiskan waktunya berdua. Luna yang sedang menyusun skripsinya terlihat sambil disuapi oleh ibu. Ibu memastikan anaknya tidak sendirian dan berusaha ada untuk menemaninya. Luna pun mulai menerima takdirnya berada di Fakultas Sastra, mungkin ini jawaban berikutnya dari diterimanya ia di Fakultas Sastra. Memperbaiki hubungan dengan ibunya. Kini, ibu mengerti Luna dan Luna pun perlahan mulai memberitahu rahasianya, meskipun menceritakan semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Tetapi yang jelas ia sangat syukuri adalah kedekatannya dengan ibu sampai akhirnya gadis itu dinyatakan lulus sarjana.
***
Acara yang sudah digelar sejak beberapa menit yang lalu membuat keluarga Luna panik untuk menyaksikan wisuda Luna. Syifa, Alisha, Nadila, Chelya dan Ravi sudah bersiap-siap membawa balon dan bunga di luar gedung dimana acara wisuda digelar.
Seluruh mahasiswa pun berdiri untuk menyambut kedatangan guru besar ke dalam gedung acara wisuda. Luna melihat sosok neneknya yang ikut berjalan bersama guru besar yang lain, gadis itu berkaca-kaca dan tersenyum lebar. Ia tahu itu semua hanya ia ciptakan di kepalanya saja, namun ia dapat merasakan kehadiran nenek disana, bersama para guru besar lainnya seperti yang seharusnya dilakukan nenek apabila nenek masih ada di dunia ini.
Acara wisuda dilaksanakan sebagaimana mestinya. Saat nama gadis itu disebut, Luna berdiri dan berjalan ke depan untuk melakukan sesi pemberian bunga. Ia berjalan dengan bunga yang dipegangnya untuk diberikan pada ibunya, ibu lagsung memeluk Luna erat sambil menangis bahagia yang diikuti oleh gadis itu. Mungkin bagi beberapa orang yang belum mengetahui, mereka terkaget melihat bahwa Luna adalah anak dari dosen mereka namun bagi yang sebenarnya sudah tahu, mereka hanya ikut memberikan tepuk tangan dan senyum bahagianya, terutama Cheryl, ia bertepuk tangan sangat keras melihat akhir dari kisah sahabatnya itu dengan cerita yang bahagia. Ayah ikut bertepuk tangan, tersenyum lebar melihat anak dan istrinya begitu akur dan penuh kasih sayang.
***
“SELAMAT LUNAAA!” teriak Alisha, Syifa, Nadila, Chelya dan Ravi sambil memeluk erat Luna. Mereka tahu betul perjalanan Luna yang sangat mengutuki nasibya berada di Fakultas Sastra sehingga mereka ikut merasakan kebahagiaan yang mendalam saat melihat akhirnya gadis itu dapat menyelesaikan studinya.
“Fotoin gue sama Luna dong,” celetuk Syifa,
“Ihh gue juga mau ikut foto,” ujar Nadila,
“Chelya fotoin kita dong,” kata Alisha,
“Enak aja, gue juga mau ikutan foto,” saut Chelya,
“RAVI!” semua serentak memanggil Ravi, satu-satunya laki-laki di cucu nenek. Ravi memutar matanya melihat tingkah ribet ala cewek milik kakak-kakaknya,