Kegelapan sering menimbulkan ketakutan. Entah itu dalam pikiran atau kenyataan. Malam maupun siang. Dylanesa terkungkung dalam gelap, dalam ruang dan dimensi yang tak ia pahami. Tertatih dengan nafas tersengar-sengal, tungkai pegal, dan dalam kecemasan yang teramat sangat.
Dingin baru saja menusuk lewat celah halus dari stocking yang ia kenakan. Sesekali, ia menggigil, bukan saja menghalau udara yang menggigit, tetapi juga menahan kalut yang terus menghantui. Perempuan berjubah merah masih mengejar di belakang dengan kekuatan penuh seolah badai sekalipun tak akan mampu memupus asanya menjangkau Dylanesa.
Bulan separoh telah benar-benar tenggelam di antara gemintang yang berkedip-kedip. Namun cahaya dari benda-benda langit itu tak berarti, tak sanggup menerangi jalanan mengular bak labirin tak berujung. Sesekali, mulut gadis itu mengaduh saat jempol kakinya tersantuk batu kerikil tajam. Rasa perih di jarinya tak sebanding dengan rasa takut yang membelenggu. Ia terus lari dan lari seakan berlomba dengan waktu.
Di tengah ketidakberdayaan, sebuah energi besar menyedot tubuhnya. Ia melayang-layang di udara lalu terhempas ke dunia lain. Dylanesa terbangun. Ternyata, semua itu hanya mimpi. Tetapi, terasa begitu nyata. Dahi dan tubuhnya telah kuyup oleh bulir-bulir peluh.
Langit-langit kamar kelabu oleh cahaya lampu yang temaram. Tak ada yang berubah. Buku-buku masih tertata rapih pada rak. Lemari pakaian yang berwarna merah berubah cokelat kehitaman oleh pendar yang meredup. Meja belajar yang terbuat dari kaca tak terjamah oleh tangan siapa pun, tak bergeser.
Dentang jam bergaung dua kali memecah malam. Mimpi itu telah menyerap sebagian kantuk Dylanesa hingga ia sulit kembali terlelap. Bayangan si jubah merah terus mengikuti di dalam pikiran. Berkali-kali, ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang hidup di dunia mimpi tidak akan hadir di dunia nyata.
***
Cermin selalu jujur, memantulkan sesuatu sesuai aslinya. Manik mata Dylanesa terpantul bak jamrud yang menghijau dipagari alis cokelat tebal. Pipinya tirus mengerucut ke bawah dilapisi kulit pualam. Hidung bangir terlihat tegak membusung, membawahi lekuk bibir merah dadu yang anggun. Rambut cokelat susu bergelombang gadis itu tergerai ke pinggang, siap berkibar kala langkah terayun. Sungguh penampilan fisik yang memesona.
Dylanesa masih mematung setelah mematut-matut diri di depan benda tipis berbingkai mahoni yang menempel pada dinding. Kemeja pink pudar dengan dasi hitam arang, perpaduan yang sedikit unik menurutnya. Rok fanta yang selutut sedikit menimbulkan ketidaknyamanan ketika bersenggolan dengan angin yang nakal. Untungnya, kaos kaki panjang yang sewarna dengan dasi menyelamatkan betisnya dari tatapan tidak sopan orang-orang. Dan jubah merah ceri yang masih tergantung itu sedikit memberi kesan misterius. Ia hanya terbawa perasaan oleh mimpi semalam. Perempuan yang mengejarnya hanya kebetulan mengenakan jubah dengan warna senada.
Bunyi berdecit berhenti tepat di hadapan Dylanesa saat gadis itu telah keluar dari lobi di lantai satu. Ia dan kelimaratus intelijensia tinggal di asrama super mewah yang disediakan yayasan Academy of Haut. Academy of Haut adalah impian bagi setiap anak juga orang tua di Republic of Haut bahkan di seluruh galaxi Andromeda. Apa yang kau inginkan dari sebuah sekolah atau pendidikan? Fasilitas terbaik, pengajar hebat, lulus dengan berbagai kemahiran? Pekerjaan dan beasiswa melanjutkan ke universitas? Atau mungkin kenyamanan hidup seperti dalam cerita dongeng? Academy of Haut menawarkan itu semua. Apa yang tidak sanggup dibayangkan pikiran atau terlintas di benak, kau akan menemuinya di sini. Oleh karenanya, ribuan aplikasi masuk setiap tahun.
Dylanesa memasuki mobil jemputan dengan daya tampung dua puluh intelijensia. Pendingin ruangan menghembuskan kesegaran ke segala penjuru. Tirai-tirai yang terpasang sengaja dibuka agar para penumpang dapat menikmati pemandangan yang menyejukkan di luar. Tempat duduk yang Dylanesa pilih tepat di dekat jendela kaca. Pohon-pohon juga rerumputan yang terhampar di sepanjang jalan menjadi daya tarik tersendiri. Sangat disayangkan, ia lupa membawa kameranya.
Bangunan menjulang nan gagah perkasa bak raja menyambut langkah Dylanesa. Academy of Haut dilindungi gerbang emas yang kian menyilaukan dalam terpaan semburat mentari. Sedangkan, kulit serta pilar-pilarnya bernuansa putih salju. Langit kelabu adalah warna atap-atap yang memayungi gedung raksasa itu.
Academy of Haut memiliki beberapa gedung utama. Gedung pameran seperti namanya memamerkan diri di bagian paling depan sebagai pembuka, tepat berhadapan dengan gerbang. Bentuknya melengkung seperti koloseum. Di belakangnya merupakan gedung informasi yang bersebelahan dengan aula. Gedung sayap kanan terdiri dari kelas belajar juga laboratorium. Sementara ruang makan, perpustakaan dan klinik akademi terletak di dalam gedung sayap kiri. Sedang, yang di tengah merupakan gedung pusat, kantor kepala akademi dan para akademika – sebutan untuk para guru di Academy of Haut. Ruang ganti dan olahraga termasuk kolam renang terdapat di gedung paling belakang sebelum gudang.
Meski tidak terkesan gersang, tanaman yang tumbuh hanya berupa pohon tabebuya kuning yang menaungi gedung informasi dan ketapang kencana dengan daun kecil-kecil dan jarang yang mengawal gedung pameran. Taman hanya dihuni oleh bunga-bunga Azalea dan beberapa gerombol Dahlia. Kelihatannya, akademi ini tidak berfokus pada pelestarian tumbuhan atau semacamnya.