Academy of Death

Lusi Solona
Chapter #3

Chip

Jingga yang meredup dari kuncup lampu di atas langit-langit mengawasi Dylanesa yang tak bisa menolak sesuatu dipasang di tengkuknya. Aura gelap dari tembok-tembok tebal pembatas ruangan mencegah siapa pun ikut campur dalam ritual tersebut. Proses pemasangan hanya memakan waktu satu menit. Benda itu melekat sudah tanpa menimbulkan efek apa pun. 

“Jangan mencoba untuk melepasnya. Ini adalah bagian dari aturan akademi. Ikuti saja dan jangan banyak bertanya kalau kau ingin selamat.” Kalimatnya tegas dan kaku. Itu mirip sebuah peringatan. Keramahan hilang dari raut lelaki itu.

“Ta – tapi, mengapa saya perlu memakainya? Untuk menyelamatkan saya dari apa?”

“Bukan kau tapi kalian. Seluruh intelijensia dipasang chip.”

“Jadi. Benda ini sebuah chip?”

“Ya.”

“Untuk apa? Mengapa kalian perlalu memantau kami? Lagi pula, kami tinggal di asrama dan tidak akan ke mana-mana.”

“Aku bilang jangan banyak bertanya.” Kali ini ucapannya meninggi. Dan itu berhasil membungkam Dylanesa. “Kau boleh keluar.”

Dengan gontai gadis itu menyusuri kembali jalan yang lebih layak disebut terowongan itu karena suasana gelap dan seram. Ia meraba-raba tengkuknya. Tak ia temukan sesuatu yang mengganjal. Benda itu mungkin sudah terserap ke dalam tubuhnya. Tetapi, bagaimana bisa? 

“Nona, silahkan lewat sini.” Dylanesa tersentak. Perempuan tadi mengarahkannya kembali ke aula. Ia tak punya pilihan selain melakukan instruksinya.

Aula kosong, tak berpenghuni. Semua intelijensia telah pergi. Tak meninggalkan jejak petunjuk. Dylanesa kebingungan mencari-cari. Ekor matanya menangkap sosok pemuda yang tak lain adalah Lanzo tengah duduk bersandar pada kursi di atas panggung.

“Kau mencari sesuatu?”

“Di mana mereka semua?”

“Di ruang makan. Kau sebaiknya segera menghadiri jamuan.”

“Kau sendiri tidak ke sana?”

“Aku tentu tidak akan melewatkan jamuan sebagai bagian dari upacara penyambutan.” Pemuda itu melompat turun. Langkah kakinya panjang hingga dalam beberapa detik, mereka sudah berdiri berhadapan. “Kalau begitu, ayo kita pergi ke sana,” ajaknya sopan.

“Baiklah.”

Ruang makan berada di dalam gedung sayap kiri. Itu artinya mereka harus melewati lorong panjang berkanopi dengan tiang-tiang tinggi menyapa lewat kulit gelap mereka. Tak ada yang dapat dinikmati selain badan gedung-gedung lain. Dylanesa sebisa mungkin mencoba mensejajari langkah Lanzo yang begitu gesit. Tubuh Dylanesa yang mungil seakan hilang ditelan oleh tubuh raksasa pemuda itu dengan tinggi 190 sentimeter sehingga orang ain yang berpapasan dengan mereka tidak akan menyadari keberadaannya. 

Mereka sudah mencapai pintu lobi. Pintu lift di sebalah kanan lobi yang membuka hampir menutup kembali. Dengan cekatan, tangan lanzo menyambar pintu itu dan mempersilahkan Dylanesa massuk.

Lihat selengkapnya