Malam itu, seperti malam sebelumnya. Arsya tidur satu kamar dengan kedua orang tuanya dan juga adik perempuan satu-satunya. Mereka menginap di rumah nenek Arsya yang berada 1 jam jauhnya dari tempat tinggalnya di Jogja. Bercengkrama dan saling bertukar cerita mengenai apa yang terjadi pada hari itu.
Arsya masih duduk di bangku SMP. Adiknya, Naya duduk di bangku SD. Mereka keluarga bahagia. Dengan Bapak yang sabar dan begitu menyayangi mereka. Ibu yang memiliki hati seluas samudra. Oh dan jangan lupakan adiknya, Naya. Gadis manis yang serupa tapi tak sama dengan diri Arsya. Naya pribadi yang lebih pendiam daripada Arsya apabila di hadapan orang lain. Jangan tanyakan bagaimana cerewetnya Arsya kalau sedang berbicara.
“Tadi aku beli soto di kantin tapi lupa belum bayar, Bu.” Naya, adik Arsya seketika membuat Bapak dan Ibunya melongo. Arsya yang kala itu sedang memijit kaki Bapaknya sontak tertawa kencang.
“Gimana bisa sih, dek?” Arsya tidak habis pikir dengan Naya yang bisa sampai lupa tidak membayar sotonya.
“Namanya lupa, tadi tuh aku buru-buru karena jam istirahat habis dan ada ulangan,” Naya mengerucutkan bibirnya lucu.
“Tapi adek pas inget langsung bayar, kan?” Aminah, Ibu mereka bertanya dengan nada lembut.
“Udah dong, Bu. Habis ulangan aku balik ke kantin buat bayar,” Naya menjawab dengan nada bangga.
“Pinter anak Bapak,” Haryo bangkit dari tidurnya dan menepuk kepala Naya sayang. Haryo berjalan keluar kamar dan menuju kamar mandi.
Arsya menatap punggung sang Bapak dengan hati tidak tenang. Langkah Bapaknya terlihat tidak sekuat biasanya dan terdengar lemah saat berbicara.
“Bapak kemarin nggak jadi periksa ya, Bu?” Arsya mengalihkan pandangannya ke Ibunya yang saat itu sedang merapikan pakaian.
“Enggak, besok baru Ibu antar balik ke rumah sakit buat kontrol.”
Arsya hanya mengangguk paham. Karena telat datang ke rumah sakit kemarin, Bapak Arsya jadi tertunda cuci darah rutinnya. Mereka memanfaatkan jaminan sosial dari pemerintah untuk pengobatan Haryo, yang sudah sejak SMK menderita gagal ginjal. Jangan ditanya bagaimana hancurnya hati Aminah dan kedua putrinya ketika Haryo kini harus rutin menjalani cuci darah seminggu sekali. Andai bisa, Arsya ingin menggantikan Bapaknya. Arsya tahu raga Haryo sudah tidak sekuat dulu. Dan malam ini Arsya takut. Benar-benar takut. Entah apa yang dia rasakan, dia bahkan terlalu dini untuk merasakan perasaan aneh yang menghinggapinya sejak sore tadi. Tidak tenang dan rasanya hampa.