Satu hal yang menjadi prioritasku untuk hari ini adalah belajar dan mengerjakan tugas. Meskipun aku menyadari bahwa tidak semua orang menyukainya. Kebanyakan orang akan berkata: “Nanti aja!” atau “H-1 ajalah. Ngapain cepat-cepat?” Kenyataannya? Aku bukanlah pribadi yang demikian.
Bagiku, belajar dan mengerjakan tugas adalah pekerjaan yang menarik. Saat itulah teman-temanku berkata bahwa aku sudah gila bila menyukainya. Tapi tak apa! Semua orang punya kegemaran dan pandangan masing-masing. Namun sesungguhnya aku tidak 'sebrutal' itu dalam hal belajar. Dalam padat dan runtutnya jadwalku, aku juga meluangkan waktu bermain basket. Kesimpulannya, meski belajar itu adalah hal yang baik, tetapi olahraga tidak bisa dikesampingkan.
Kegiatanku di sekolah tidak berbeda dengan murid-murid yang lain, terlebih yang menginjak semester terakhir. Semuanya sibuk untuk mempersiapkan diri ke jenjang yang lebih serius, tak terkecuali aku. Saat kelas sudah berakhir, aku cepat-cepat menuju ke mobil merahku yang kubeli dengan uang tabungan sendiri.
Desainnya mengingatkanku pada salah satu mobil sport di Grand Theft Auto: San Andreas, yaitu ZR-350. Mengendarainya seperti membawaku kembali ke kota Los Santos (tentu aku memainkannya ketika masih kecil, hanya sekadar bernostalgia saja.) Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas ke kamar untuk berganti pakaian.
“Alex, hati-hati! Nanti kamu bisa terjatuh,” ibu menasihatiku sambil mengelus-elus dadanya.
“Maaf, Ma!” sahutku tergesa-gesa.
“Kamu ini, jangan bikin Mama panik!”
Butuh beberapa menit saja hingga pakaian kini berganti. Setelah yakin sudah rapi, aku turun menuju ruang makan lalu menyantap BLT (Bacon, Lettuce, and Tomato) dan jus jeruk yang sudah tersedia di sana. Dalam waktu yang singkat, makanan itu ludes tak bersisa. Waktu semakin menipis, aku dengan terburu-buru pamit pada ibu dan bersiap pergi untuk kerja kelompok. Ibu geleng-geleng kepala melihat betapa semangatnya aku belajar.
"Alex, Alex. Demi kami berdua kamu harus berkorban begitu besar!"
Ada sebuah kafe di sekitar North Brookline, dan bisa dikatakan kalau aku adalah pelanggan setia mereka. Tempatnya tertata rapi, dan dengan suasana yang adem membuatku terkadang ingin setiap hari ke sana. Belum lagi pegawainya ada yang cantik, lumayan untuk sekadar 'cuci mata'. Begitulah kata orang-orang yang sering kujumpai di sana.
Sebagai orang yang lebih sering menghabiskan waktu bersama laki-laki, 'cuci mata' yang mereka maksudkan sama sekali tak kupahami. It is true bahwa ada pegawainya yang tampak berbeda dengan yang lain. Namun di mata dan yang dapat diolah pikiranku, 'cuci mata' serta hubungannya dengan pegawai tersebut tak masuk akal. It's kinda weird.
Aku memarkir mobil ketika sampai dan langsung masuk ke dalam kafe. Sesaat setelah pintu kubuka, beruntung meja nomor 10 sedang kosong. Aku menuju meja tersebut, menaruh tas di atas kursi, dan langsung memesan kopi moccacino, kopi terbaik yang pernah kuminum di tempat ini. Selang 3 menit, dari arah pintu aku melihat seseorang, yaitu Sophie. Dia kemudian duduk di depanku sambil terengah-engah.
“S-sorry, I'm late! Nggak apa-apa, kan?” ujarnya sambil mengatur tempo pernapasannya. Selain itu, kedua tangannya bertumpu pada lutut karena terlalu bersemangat berlari ke dalam kafe.
“Ah, C-chill!” jawabku ringan. Gerogi mulai menggerogoti. Bagaimana ini? What should I do?
Sophie Andrew, teman sekelasku yang teramat ramah terhadap semua orang. Ke mana pun ia melangkah, tiada senyum yang ia tidak tebarkan. Selain itu, perempuan ini sangat mudah bergaul. Semua tipe-tipe kepribadian yang berjumlah 16 menurut MBTI, ia mampu masuk dan dapat menjalin komunikasi dengan baik, tak terkecuali aku. Wanita idaman sekali, and to be honest banyak pria yang jatuh hati terhadapnya. Namun, semua ditolak oleh perempuan berpostur 5'6" ini. Tapi untukku, rasanya bakal tetap sama.
“A-aku baru aja 3 menit yang lalu sampai di sini." Jawabku dengan penuh rasa malu dan takut.
"Kenapa Alex? Kamu tadi bilang apa?" dia sampai tercengang mendengar perkataanku.
"Ng-nggak. Aku cuman bilang kalau," wajahnya tiba-tiba mendekatiku.
"Kalau?"
"A-aku baru sampe 3 menit yang lalu." Pungkasku.
"Hmm, I see!"
"Co-coffee, no?” aku mencoba menawarkan.
“Regular, 1!”
Dengan sopan, aku memanggil pelayan tersebut lalu memesan 1 kopi biasa. Pesanan kami akan tiba 10 menit kemudian ujar si pelayan. Sophie mengeluarkan dompetnya, berpikir kalau pembayarannya akan dilakukan saat itu juga. Untung pelayan itu mewakilkan jawabanku agar melakukannya nanti ketika minumannya sudah masuk ke dalam perut.
Kami masuk ke topik pembahasan terkait tugas Fisika yang akan dipresentasikan besok hari. Karena mungkin ini akan menjadi yang terakhir kami lakukan, baik aku dan Sophie berusaha semaksimal mungkin agar tampil sempurna. Setidaknya, aku meninggalkan sedikit legacy di kelas ini. Sophie membuka laptopnya, sementara aku mengeluarkan buku dan mengisi peluru ilmuku.
“Gi-gimana? Udah dikerjakan?” tanyaku memastikan.
“Nah, itu dia! Udah nyoba nih, tapi nggak ke mana-mana. Nyebelin! ”
Demi meredakan rasa bingungnya, daku mencoba menawarkan bantuan. Sophie menggeser laptop tersebut dan memberitahukan di mana letak permasalahan itu. Setelah kupelajari, aku menyiapkan beberapa poin penting di otakku dan kusampaikan padanya dengan bahasa yang sederhana. At very least, dia paham akar permasalahan serta solusinya.
Tetapi, reaksinya membuatku bertanya-tanya. "Be-belum paham, ya?"
"Aku jadi bingung." Simpulnya.
"Ya-yang mana?"
"Kenapa kamu ngomong sama cowok lancar, ngomong sama cewek terbata-bata, dan yang lebih mengherankan lagi, kamu menjelaskan materi kayak pesawat tempur. Kencang banget!"
"A-aku jelasinnya kecepatan, ya? Maaf!"
Dia mengangguk membalas ucapanku tadi. Ia pun mulai mendekat dan memandangiku. Aksinya membuatku semakin ingin menjauh.
"Hey, look at me!"
Aku masih menolak. Dan tiba-tiba dia menggenggam tanganku. Spontan aku pun menatapnya kemudian. Ada sekitar beberapa menit lamanya Sophie mengamat-amatiku. Sementara aku masih berusaha menjauh, dan akhirnya menarik tanganku kembali dari genggamannya.
"Alex, aku minta maaf kalau kamu nggak nyaman." Ujarnya tiba-tiba.
"Ah, nggak, nggak! Ng-nggak apa-apa!"
Sekilas tadi aku melihat matanya, tampaknya hidup rasa iba terhadap kondisiku. Entahkah dia tahu atau tidak, tetapi harapanku bahwa kenangan yang lalu jangan terungkit kembali. Apalagi saat kami berdiskusi sekarang.
"Yakin? Kamu masih mau ngelanjutin ini?" ia mencoba memastikan.
"Ka-kalau nggak selesai, nilai kita pasti jelek." Tutupku.
Pada akhirnya, kami pun melanjutkan diskusi.
Atas sarannya, aku mencoba untuk menenangkan diri, lalu menyampaikan materi sambil mengetuk meja sebagai penentu tempo. Perlahan-lahan, gaya bicaraku mulai melambat serta artikulasiya menjadi semakin jelas. Hasil akhirnya, ia mengerti kini apa yang kusampaikan.
Sembari aku asyik mengerjakan presentasinya dan Sophie mencatat penjelasanku, pelayan datang membawakan 2 cangkir kopi pesanan kami. Sungguh, kopi adalah kombinasi terbaik ketika bekerja dengan laptop. Aku dengan rasa waspada menyeruput kopi moccacino-ku karena dia, tapi berbeda sensasinya ketika itu masuk ke dalam kerongkongan. Sungguh nikmat, serasa semua beban hidup terlepas begitu saja.
Muncul tiba-tiba keinginan di hati untuk mengamatinya saat telingaku merasa Sophie sedang berkomat-kamit. Ternyata, apa yang ia lakukan membuatku cukup senang, karena mau mengulangi apa yang aku ajarkan barusan. Di dalam hati aku bergumam: “Apa iya dia sering nggak fokus, makanya sulit menangkap pelajaran apa pun?” Penasaran akan hal itu, aku mencoba untuk bertanya langsung padanya.
"So-Sophie!"
"Ya?" sahutnya. "Kenapa?"
"Ka-kau susah fokus, ya?"
"Huh, begitulah."
"Se-sebaiknya kau harus lebih me-merhatikan guru." Saranku. Entah kenapa, kepercayaan diriku seolah-olah muncul kembali.
Dia tersenyum mendengar hal itu. Selama kami berada di kelas yang sama, ia menyimpulkan kalau inilah pertama kalinya aku berbicara dengan 'agak' berani terhadap perempuan. "Thanks, Alex!" responnya.
Topik seketika berubah menjadi sebuah acara gosip. Tampaknya hari ini dia tidak hanya membawa beban tugas presentasi, tetapi juga beban ibu-ibu ketika sedang arisan. Dia menceritakan dengan detail bagaimana Josephine dan Luke sedang berduaan di taman St. Peter. Dalam sekejap, matanya menjadi seperti mata elang yang mampu melihat kejadian sedetail itu.
Dalam hatiku, apakah mungkin ini juga yang dia lakukan sehingga waktu untuk belajar habis percuma? Bagiku secara pribadi, sangat aneh di masa-masa akhir sekolah, Sophie masih sibuk mengurusi urusan orang yang menurutku tak penting. Tapi, ya sudahlah! Kalau memang pilihannya, mau bagaimana lagi?
Aku mencoba mengikuti ceritanya, dan entah kenapa aku seperti terkena sihir. Wanita ternyata sangat persuasif dalam bercerita. Luar biasa! Ya, meskipun pada akhirnya aku hanya berpikir supaya kebenarannya dipastikan terlebih dahulu, baru mulai disebarkan. Ia mengaku kalau itu sesuatu yang sangat menarik di kalangan perempuan. Bisa dipastikan, hampir semua wanita punya satu kebiasaan yang akan terus melekat di hatinya, GOSIP! Dan Sophie adalah salah satunya.
Sejujurnya, aku tidak mahir dalam urusan cinta, antara seorang lelaki dan perempuan. Ketika dia bertanya, aku dengan polos menjawab bahwa otakku hanya bekerja untuk hal-hal yang berbau ilmu pengetahuan. Aku selalu gagal memahami apa itu cinta, bagaimana proses terjadinya cinta, dan apa yang akan dilakukan selanjutnya bila sudah saling mencinta. Pengalaman masa laluku membuat segala sesuatu jadi serba sulit. Aku hanya bisa pasrah mengatakan padanya bahwa itu di luar akal.
“Bohong! Mustahil kamu nggak ngerti dan ngerasakan apa itu cinta,” sangkalnya. “Pernah nonton film romantis, nggak?”
Aku menggelengkan kepalaku.
"Drama romantis?" Sophie mencoba variasi lain.
"Ti-tidak."
"Oke, oke." Sophie mulai gelisah dan mencoba mencari acara yang lain. "Novel romantis? Opera? Atau dengar lagu-lagu romantis?"
"Ehm-" belum selesai berbicara, ia langsung mengeluarkan sebuah iPod dari tasnya.
"Aku punya banyak di sini!" tawarnya dengan senang hati.
Aku menatapnya sambil terheran-heran. Mengapa dia sesemangat itu demi membuatku mengingat sedikit saja tentang cinta. Lucu sekali. "Aku ... nggak pernah ... mendengarkannya!" ungkapku jujur dengan jelas, artikulasi yang benar, dan terstruktur.
“Sekali pun?” dia bertanya seakan tidak percaya. "Masa, sih?"