Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #4

Perenang Atau Dokter?

Di tiap Sabtu dan Minggu sore, aku sering sekali bermain basket dengan anak-anak remaja di sekitaran rumah. Lapangan yang kami gunakan memang sedikit jauh, tetapi aku sudah terbiasa berjalan kaki ke sana. Di saat-saat seperti itulah aku bisa melepaskan semua rasa penatku dari semua kegiatan yang kulakukan di kamar hanya untuk belajar, belajar, dan belajar. Hah, melelahkan sekali! 

Jumlah kami memang tidak banyak, paling hanya 6-8 orang. Tapi, disitulah letak keseruannya. Karena kami rata-rata seumuran, permainan yang kami lakukan sering sekali diselingi dengan canda tawa. Ada satu dua orang yang sejatinya di dalam permainan adalah seorang loser, yang sangat membenci kekalahan. Seru sekali melihat reaksi mereka ketika kalah dalam permainan. Dan mereka sudah seperti pelanggan setia bursa candaan di antara kami.

Permainan pun kini segera dimulai. 

Danny berlagak seperti seorang kapten tim dan mulai mengajak Tony untuk memilih rekan-rekannya. Entah mengapa, Tony memilih aku dan Hilbert sebagai satu tim. Aku bertanya-tanya di dalam hati, apa yang sebenarnya ia rencanakan. Serasa seperti 3 saudara melawan 3 sahabat. Namun aku tersadar kalau ini adalah sebuah kegiatan untuk melemaskan pikiran, maka aku berhenti menanyakan hal yang tidak perlu ini.

Dengan nada penuh kesombongan, Max meledek untuk meruntuhkan mental kami. Ia yakin sepenuhnya kalau kami akan kalah, bahkan sebelum bertanding. Tim juga sependapat dengan ia, karena mereka punya Danny yang posturnya cukup baik sebagai pemain basket. Selain itu, Max punya lompatan yang tinggi sehingga mereka cukup yakin kalau permainan ini akan berakhir dengan cepat. 

Namun Hilbert tidak percaya pada hal itu. Kami bertiga adalah pemain yang gesit dan lincah, jadi dari fakta itu ia berujar kalau kami yang akan menang dengan mudah. Tensi semakin panas, namun masih dalam batas wajar. Hal itu hanya untuk memanaskan suasana agar seperti sebuah pertandingan basket sungguhan.

Kedua tim sudah berada di lapangan dan berdiri di pos masing-masing. Hari ini, kami hanya beranggotakan 7 orang, dengan 1 orang sedang bepergian ke luar kota. Aku memang sengaja membawa buku ke lapangan, bukan untuk kubaca di sana. Tapi untuk seseorang yang tidak punya fasilitas lengkap di rumahnya. Walau demikian, aku mengagumi semangat pantang menyerahnya dalam belajar untuk memperbaiki kondisi keluarganya. Pikirannya itu cemerlang sekali!

Namanya adalah Mike. Beruntung dia tidak memakai kacamata. Akan sangat menyedihkan bila ia berpenampilan demikian. Bukan tanpa alasan aku berkata seperti itu, karena ibuku sangat memerhatikan kesehatan mataku dan saudaraku. Dan aku sangat berharap kalau ini akan bertahan lama. Aku melihat Mike sudah duduk dan membuka buku pelajaran kimia di sana. Dengan terpaksa, aku memintanya untuk menjadi wasit dalam pertandingan ini. Yang tak kumengerti adalah, ia tanpa mengeluh mau mengambil tugas tersebut.

Peluit yang baru sudah ada di tangannya, bersama dengan bola basket kami yang sudah kusam, tapi masih bagus untuk digunakan. Aku menanyakan keputusan Danny untuk lebih memilih Max sebagai pemain yang merebut bola pertama. Tapi ia menyebutkan kalau itu adalah bagian dari strategi. 

Max vs Tony; ini akan menjadi langkah awal mengenai gambaran permainan serta hasil akhirnya. Aku sungguh tidak sabar menantikan dan memainkan game ini. Mereka juga bersepakat dengan hasrat hatiku. LA Lakers vs Golden State Warriors; siapakah yang bakal menang?

“Sudah siap?” Mike memastikan.

Dua laki-laki yang menjadi tumpuan tim mengangguk secara serempak. Dalam satu hembusan bunyi peluit, mereka berdua meloncat bersama dengan bola itu. Seperti yang diharapkan Danny, Max berhasil meraih bola itu dengan mudah berkat tungkai kakinya yang cukup kuat untuk mendorong tubuhnya terbang vertikal ke udara.

Sesaat setelah Danny mendarat di tanah, aku meminta Mike untuk kembali membaca buku dan menyerahkan tugas menghitung skor padaku. Mendengar hal itu, ia senang dan langsung berlari serta duduk kembali untuk membaca. Hal ini dengan rela kulakukan agar apa yang Mike harapkan tidak menjadi sia-sia karena mengurusi pertandingan kami. Jujur, aku bangga mengenal Mike. 

Kembali ke permainan, Max yang memiliki keuntungan dari bola pertama mulai menggiringnya melewati hadangan kami. Hilbert adalah orang pertama, kemudian aku, lalu bola berpindah ke Danny yang sudah menunggu di sudut lapangan. Sempat mendapat hadangan Tony yang tidak ingin kebobolan, tapi triknya tidak mampu dibendung olehnya. Layaknya pemain basket profesional, ia melakukan gerakan slam dunk untuk mencetak skor perdana. 2-0! Melihat itu, kami semakin bersemangat untuk menunjukkan kemampuan kami.

Tony mengirim bola padaku, lalu aku berlari dengan kencang sambil melirik ke kanan untuk menemukan posisi Hilbert. Aku mengirimkan long ball padanya, lalu mulai menjelajah wilayah lawan. Aku bergerak diagonal menuju daerah tengah untuk menunggu, sementara Tony sudah mengisi pos yang ditinggalkan Hilbert. Ketika bola sampai pada Tony, Tim berusaha memotong arah bola dengan tangannya. Tetapi usahanya gagal ketika bola itu sampai padaku, dan dengan satu tembakan, 2-3!

Trik yang sudah-sudah gagal diantisipasi oleh tim Danny. Ia terlihat tidak senang, namun bukan berarti menyerah begitu saja. Pertandingan yang kami lakukan semakin sengit, bukan hanya soal taktik dalam menyerang maupun bertahan, terlebih lagi karena skor kami pun saling kejar mengejar. 

Baik Danny juga Hilbert tidak habis-habisnya dalam mendulang poin utama bagi masing-masing tim. Karena begitu ketatnya permainan, membuat kami kelelahan. Tapi tak mengapa, yang penting hasilnya membuat tubuh kuat dan jiwa senang.

Di lain tempat, Sophie berlatih untuk menggapai impiannya menjadi perenang. Sophie datang dengan semangat juang tinggi ke tempat latihan menggunakan sepeda miliknya. Walaupun jarak rumah ke kolam renang tempat ia menimba ilmu sedikit jauh. Ayahnya terkadang menawarkannya untuk berangkat ke sana dengan mobil. Tetapi baginya alangkah lebih baik untuk menggunakan sepeda dengan maksud menambah jam pemanasan sebelum terjun berlatih. Ia juga berkata kalau bersepeda membuat dirinya tenang dan damai. Berkat alasan itu, Sophie secara mandiri pergi latihan dengan bersepeda.

Good afternoon, Coach!” sapanya ketika sudah sampai.

“Oh, Sophie!” sahut pelatihnya. “Bagaimana kabarmu? Baik?” 

I'm good, thank you!” Sophie membalas dengan sopan. 

“Hmph. Persiapkan dirimu dalam 10 menit.” Pelatihnya kembali kepada kesibukannya mempersiapkan diri sebelum memulai sesi latihan. 

“Ada gaya baru yang akan dipelajari? Atau pengembangan dari gaya yang sudah di pelajari sebelumnya?” tanya Sophie penasaran.

“Tunggu saja di tempat. Nanti bakal tahu juga.” 

Sophie menahan hasratnya dengan mengikuti perintah pelatih Brad. Dia memasuki ruang ganti dan langsung melakukan pemanasan ringan. 10 menit kemudian, dia masuk ke dalam kolam renang untuk melakukan pemanasan lagi. Setelah merasa cukup, pelatih Brad langsung mengambil aba-aba dengan bertepuk tangan. Ada cukup banyak peserta yang berlatih di bawah kepelatihannya. Namun yang paling menonjol di antara mereka adalah Sophie. 

“Oke, semuanya! Hari ini kita akan mencari tahu potensi terbaik kalian. Kalian akan melakukan renang satu putaran dengan gaya apapun yang kalian suka. Setelah itu, saya akan mendata kalian masing-masing, dan mengelompokkan kalian berdasarkan data tersebut. Jangan malu bila hanya kamu sendiri yang menyukainya. Mengerti?”

“Mengerti!” jawab mereka serempak.

 Pelatih Brad membunyikan peluitnya, dan mereka langsung berenang dengan gaya masing-masing. Kebanyakan peserta di sana senang menggunakan gaya bebas, dan salah satunya Sophie. Sophie menyelesaikan putaran tersebut lebih cepat melebihi peserta lain. Seperti biasa, dia tampil mencolok dalam melakukan gaya tersebut dan membuat sang pelatih terkesan. Tak hanya itu, banyak dari mereka yang mengagumi kemampuan Sophie. Sering sekali mereka meminta saran kepadanya agar gerakan mereka bagus dan gesit seperti dirinya.

“Kerja bagus semua! Saya telah mendata masing-masing kalian dan gaya yang kalian peragakan. Setelah ini, saya akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok, agar kalian bisa saling belajar dan mengasah diri.” Pesan pelatih Brad. 

“Ya, Pelatih!”

Ia mulai mengelompokkan orang-orang yang ikut pelatihan renang saat itu menjadi 4 kelompok. Hanya Sophie yang merupakan siswi kelas 12, sisanya adalah juniornya. Mereka mulai bergabung dengan kelompok masing-masing dan mulai saling berbagi untuk mengasah skill mereka. Untuk kelompok Sophie, semuanya begitu fokus mendengarkan apa yang ia sampaikan untuk adik-adiknya.

“Sophie!” panggil pelatih Brad tiba-tiba.

Sophie yang terkejut dengan suara itu, menoleh ke sumbernya. “Ya, Pelatih?”

Come with me!” ajak pelatih Brad.

Sophie berpamitan sembari menitipkan pesan kepada salah satu di antara mereka untuk melanjutkan pelajaran dan segera bergegas meninggalkan kolam yang satu ke kolam yang lain. Di atas kolam, pelatih Brad bertanya tentang sesuatu yang khusus kepadanya.

“Kamu mengesankan hari ini!” pujinya.

Kebahagiaan bersinar di matanya. “Terima kasih!”

“Kalau boleh tahu, apa cita-citamu?” tanyanya penasaran.

Sophie terdiam sejenak, lalu berbicara. “Aku sebenarnya ingin menjadi perenang,” ungkap Sophie dengan perasaan terbeban. "Ya ..., perenang."

“Sebenarnya?” ia semakin penasaran.

“Iya. Tapi ibu melarangku menempuh jalur itu. Ia berkata: “Kamu tidak akan sukses kalau jadi perenang! Kamu harus jadi dokter!” Jujur, aku nggak paham dengan pemikiran mereka. Nilai Biologiku padahal jelek, lebih jelek dibanding yang lain. Jadi gimana caranya aku bisa jadi dokter?” umbarnya sedih, marah, kecewa, semuanya bercampur aduk dan menjadi satu. 

Pelatih Brad mengetahui letak permasalahan Sophie. Kalau dipikir-pikir, memilih antara mengikuti passion dan nasihat orang tua adalah keputusan yang sulit. Dalam situasi ini, pelatihnya mencoba untuk menyimpulkan sebuah jawaban tanpa membebani Sophie. Karena percuma kalau ia terpaksa mengikuti salah satu pilihan, tapi ending-nya kegagalan.

“Sebaiknya kamu harus mengikuti nasihat orang tuamu,” saran pelatihnya. "Itu adalah pilihan yang terbaik!"

Mendengar itu, Sophie berdecak kesal dengan siapa pun yang kerap meremehkan potensi karier yang sedang dia bangun. “What? Hah ... mengapa Anda tidak mendukungku? Bukankah potensiku sudah Anda lihat?” keluh Sophie kecewa.

“Bukan begitu, sayang!” Brad mencoba menenangkannya. “Menjadi perenang profesional itu tak semudah yang kamu duga! Lagi pula, menjadi dokter bukanlah hal yang buruk, malahan aku akan menyarankannya. Orang tuamu pasti punya alasan kenapa mengatakannya.”

Sophie hanya terdiam, bingung dengan apa yang harus dipilihnya. Satu-satunya orang yang dapat ia andalkan untuk meyakinkan orang tuanya kini memilih jalan yang berbeda. Jika ia memutuskan untuk kecewa, ia berhak untuk melakukannya. Tapi di satu sisi, Sophie sangat menghormati pelatihnya yang telah membuatnya hingga ke tingkat ini. Sophie pun memutuskan untuk terjun ke dalam kolam, menahan napas sejenak di dalam air dan kemudian muncul kembali ke permukaan.

“Akan kupertimbangkan!” balasnya datar.

“Bukan maksudku untuk membuat hatimu remuk tentang impian tersebut! Tapi bagaimanapun juga, mereka telah memilih yang terbaik. Just for you!

“Aku mengerti!” jawab Sophie pasrah. “Jadi, untuk itukah Anda menyuruhku ke sini?”

“Oh, tidak! Kamu akan mengikuti lomba renang yang diadakan 1 bulan lagi. Kamu bakal mewakili sekolah ini untuk turnamen tersebut. Setuju?”

Sophie hanya mengangguk membalas sang pelatih. 

“Terima kasih!” ia tersenyum lega mendengarnya. “Ayo, kita lanjutkan latihannya!”

Mereka pun melanjutkan latihan mereka untuk persiapan lomba. Sementara itu, aku masih asyik bermain basket dan Mike hampir menghabiskan 1 bab buku kimia yang kubawa. Pertandingan kedua, skor sementara 56-57 untuk keunggulan tim kami. Tony mencoba menggiring bola melewati Danny, kemudian mengirimnya kepada Hilbert. Dia dengan tenang mengeksekusi bola tersebut menjadi skor. Permainan berakhir, 56-59!

Karena permainan yang diperagakan masing-masing tim begitu mencengangkan, kelelahan meliputi seluruh tubuh kami. Ada yang duduk dan ada yang memilih untuk berbaring di lantai. Kesimpulan yang kami dapatkan? Sukacita! Namun saat itu kami tidak berniat untuk mengejek para pecundang pertandingan. Waktu sudah menunjukkan pukul 5.56 PM, yang membuat kami secara naluriah dipanggil pulang ke rumah masing-masing. 

Sophie sampai di rumah dan langsung menuju kamar tanpa menyapa sang ibu. Dia berbaring di tempat tidur sambil menatap lampu kamar yang berada tepat di atas kepalanya. Pikirannya dipenuhi oleh kebingungan tentang masa depan yang harus dia pilih. Sesekali dia mengamati semua penghargaan yang diraihnya selama mengikuti kompetisi renang. Baginya, semua itu menunjukkan kalau ia punya bakat di olahraga ini. Hanya yang membuat dia tidak mengerti, hal itu dipandang tidak relevan oleh orang tuanya.

“Ya Tuhan, gimana ini? Aku harus berbuat apa?” gumamnya dalam stres yang menekan berat. Setelah berpikir beberapa saat, dia memutuskan untuk keluar dan berjalan-jalan sejenak. Ia dengan segera membersihkan diri, menggunakan kaus berwarna pink kesukaannya dengan celana slim fit jeans

Sophie keluar dari kamar lalu menuruni setiap anak tangga dengan langkah ketidakpastian, dan hendak meninggalkan rumah. Ibunya yang dari tadi menonton acara televisi, melihat dia dan mencoba menghentikannya pergi berkeliaran keluar rumah. Meski ibunya memaksa untuk mengerjakan tugas rumah, dia tetap bersikeras pergi untuk mencari udara segar.

 Ayahnya menyadari secara tidak langsung kalau Sophie dalam keadaan stres, frustasi, dan seperti kehilangan arah. Masalah yang sering sekali dijumpai pada anak muda ketika beranjak dewasa. Dia mencoba menenangkan ibunya agar tidak bertindak lebih jauh, dan membiarkan dia sedikit waktu untuk merenungi dan menenangkan pikirannya. Ibunya kembali lagi duduk dengan kekhawatiran yang belum juga hilang.

Sophie berjalan menyusuri jalan sekitar rumahnya. Pikirannya campur aduk, antara memilih mengikuti saran orang tuanya, atau mengikuti passion itu sendiri. Pelatih yang dia percaya juga mendukung keputusan orang tuanya agar ia menjadi seorang dokter. Situasinya saat ini tidak berpihak padanya sama sekali. Ditambah lagi kalau sebentar lagi bakal lulus, menjadikan dilema di dalam pikiran bertambah berkali-kali lipat.

Sehabis permainan tadi, aku berjalan mencari vending machine langgananku. Aku biasanya sering membeli beberapa minuman ringan ketika selesai berolahraga. Beberapa koin dan uang kertas kukeluarkan untuk membeli beberapa soda pop demi memuaskan dahaga ini. Di dekatnya terdapat sebuah kursi yang dapat kugunakan sejenak untuk beristirahat sambil menikmati cita rasanya. Aku tanpa sengaja memandang Sophie sedang berjalan sambil menundukkan kepala. Dengan percaya diri, aku menemuinya meskipun masih bau keringat sehabis pertandingan tadi. 

“Uhm ..., hai, Sophie!” sapaku. Namun dia tidak menyahut panggilanku. “SO-SOPHIE!” aku mencoba lebih keras.

 “Oh, ya! Maaf!” lirihnya.

“Ada masalah, ya? Kok cemberut gitu?” tanyaku penasaran. Aku sedang tidak melihat Sophie yang biasa kutemui di kelas. Dia membalasku dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu, aku dengan sangat jelas melihat dia agak pasrah dan sorot matanya mengarah ke kanan bawah dariku. Tapi aku tidak tahu apa artinya secara utuh. 

“Beneran?” aku mencoba memastikan. "Aku niat membantu soalnya. Anything!"

“Ah, nggak apa-apa!” dia tersenyum sambil menutup kedua matanya. “Maaf Alex, aku ingin sendiri.”

Begitu cepatnya ia pergi meninggalkanku. Aku cukup yakin kalau itu bukan karena bau keringat ini. Sontak aku dikejutkan oleh sebuah pertanyaan dalam batin, "Dia ngapain di sini?" Aku heran sambil berkacak pinggang, masih berpikir betapa kuatnya dia berjalan hingga sampai ke tempat ini. Wanita tangguh! Jikalau boleh membandingkan, bisa saja aku kalah telak. Aku akhirnya pulang dengan tertawa tak percaya. 

Sophie yang sedari tadi berjalan-jalan akhirnya memutuskan untuk rehat sejenak. Ternyata selama berjalan sedari tadi pun tidak menyelesaikan masalahnya. Malahan, kakinya semakin penat menopang tubuhnya yang begitu banyak menanggung beban. Ia memandang ke depan, dibantu oleh cahaya remang dari lampu taman itu. Orang-orang asyik berjalan-jalan, menikmati keindahan taman di sekitar meskipun tidak besar. Sementara Sophie adalah kebalikan dari senyuman dan tawa manis mereka.

Bell keluar dari rumahnya untuk mencari hawa segar. Ayahnya mengizinkannya pergi dengan jaminan tidak pulang larut malam. Bell menyanggupi permintaan tersebut, lalu berpamitan pada ayahnya. 

Ia mengayuh sepedanya mengelilingi kota North Brookline sambil memandangi gemerlap lampu kota. Dia mengamati mobil-mobil lalu-lalang melintasi jalanan kota, sembari mencari tempat untuk bersantai dari dunia penugasan yang tiada akhirnya. Gedung-gedung saling berhadap-hadapan dengan cahaya mereka turut saling beradu, memperlihatkan siapa yang lebih indah dan menarik untuk dikenang setiap orang yang melewatinya.

Bell memarkir sepedanya, lalu berjalan di sekitar taman. Dan ketika dia menoleh ke kanan, terlihat olehnya Sophie yang sedang duduk termenung di sebuah kursi. Semakin dekat, ia mengamati bahwa Sophie tampak bermuka murung. Dia duduk di sebelahnya dan berusaha mengajaknya berbicara dengan harapan dapat meredakan keluh kesah itu.

“Kamu datang ke tempat yang tenang dan menyenangkan, tapi wajahmu tidak menunjukkan hal yang serupa. Ada yang bisa kubantu?” 

Sophie hanya terdiam tak menjawab pernyataan Bell. Sophie sibuk dengan dirinya sendiri karena yakin bahwa ia akan mendukung orang tuanya bila ia menceritakan segala sesuatu yang menghimpit dirinya. Dalam hati, ia sudah paham kalau semua orang akan memusuhi rencananya. 

“Maaf kalau aku mengganggu waktumu sampai-sampai merusak suasana hatimu!” Bell mencoba meminta maaf, menyimpulkan kalau ia terlalu sulit untuk membicarakan ini.

“Ah, nggak,” balasnya dengan sedikit tawa. "Maaf membuatmu tersinggung."

Bell pun tersenyum mendengar hal itu. “Tahu nggak, kamu bisa cerita apa saja, lho!” tawarnya lagi. 

Telinga kanannya mendengar apa yang diucapkan sahabatnya tersebut, namun hatinya enggan untuk mengizinkan otaknya mengirim sinyal ke mulut, lalu berbicara terus terang kepadanya. Sophie berusaha menahan diri agar tidak menceritakannya karena tau hasilnya bakal tetap sama. Bell memandangnya dengan penuh perhatian. Ia merasa kasihan karena tekanan itu membuatnya sangat sedih.

“Makin lama kamu pendam, makin sulit untuk diselesaikan!” ujar Bell menasihatinya. 

Sophie tetap bungkam sambil mencubit pahanya. Ia sungguh sangat paham dengan kondisi sahabatnya tersebut, sehingga ia berusaha membuat Sophie membuka celah di hati agar ia mengerti dan masuk memberikan saran.

“Masalah itu ibaratnya seperti sampah. Semakin ditumpuk, semakin sulit dibersihkan.”

Lihat selengkapnya