“Halo, apakah ini Alex?” Sophie menelepon ke rumahku.
“Ini Ibunya! Ini siapa, ya?” ibu bertanya balik. Terdapat sedikit rasa penasaran di hati ibu, terlebih atas apa yang disampaikan oleh Tony tak lama ini. Apakah gadis ini yang dimaksud?
“Saya teman sekelasnya Alex, Bu!”
“Oh, begitu! Ibu tadi sempat berharap, kamu itu pacarnya anak saya! Nama kamu siapa, sayang?”
Ia menyebut namanya pula, tetapi di dalam hati ia terkejut kala ibuku berharap kalau dia adalah kekasihku. Sophie tak percaya kalau aku diperbolehkan memiliki hubungan khusus dengan seorang perempuan di umur yang masih belia. Bagi dia itu cukup asing, sebab ia sendiri membuat aturan terhadap dirinya untuk berkencan kala berumur 21 tahun ke atas. Ada beragam alasan di balik itu, namun itu adalah angka yang menurutnya masuk akal dalam menjalin cinta.
“Sebentar, ya! Alex lagi di kamar.”
Karena aku sedang berada di lantai atas, ibu menjemput ke kamar dan memberikan telepon itu. Kami berada di dalam jaringan panggilan untuk beberapa waktu. Niatku, aku bakal menjemputnya dan kemudian kami belajar bersama di rumahnya. Akan tetapi, dia lebih memilih untuk menggunakan sepedanya dan berkendara ke rumahku.
Dengan menyandang tas dan memakai jaket putih, ia muncul dari kamar dan mendapati kedua orangtuanya di ruang tamu.
"Ehm, Pa, Ma!" sapanya.
Mereka berdua serempak terkejut. "Loh, mau ke mana, Sophie?" tanya ayahnya.
"Oh, udah rajin belajar sekarang?" ibunya masih tetap sama, menjaga gengsi demi tujuan pribadi. Selalu mencurigai apa yang ia lakukan.
"Iya," balasnya lembut, "aku mau ke rumah teman. Cowok, dan dia cukup pintar. Dia udah berjanji samaku untuk membuat aku lebih mengerti pelajaran di sekolah."
"Cowok?" ayahnya kebingungan. "Kenapa dia mau berjanji seperti itu?"
"Halah, pasti pacarnya itu. Iya, kan?" sindirnya.
"Bu-bukan, Ma-"
"Bohong lagi kamu." Tukas ibunya. "Gitu aja terus alasanmu. Sok-sokan belajar, padahal main-main, pacaran sekarang. Buat dalih kalo dia pintar, Mama udah tahu semua." Cibirnya.
Kecewa dan kesal, kedua kata itu yang hadir di dalam hatinya. "Apa lagi sih, Ma?" ujarnya kesal. "Dikasih tahu yang benar kok disangka berbohong?"
"KAMU UDAH NGEBOHONGIN MAMA-"
"SHUT UP!" bentak Robert. "Sophie, pergilah. Semoga dia bisa menolongmu." Pesan sang ayah dengan nada yang lembut.
"Iya Pa! Terima kasih!" sahut Sophie.
Ia pun pergi ke rumahku dengan rasa sakit di hati. Tapi selama perjalanan, walau berat menanggung ini semua, ia mencoba menaklukkan hal itu agar tidak membebaniku. Satu hal yang ia harapkan, bahwa semua problema ini bisa terselesaikan tanpa ada lagi perselisihan.
Untuk beberapa saat, aku berdiri di depan rumah dan menunggunya. Terlebih karena dia adalah perempuan pertama yanhg datang ke rumah, mungkin menyambutnya dengan baik dan ramah seperti ini akan mendapat penilaian yang baik. Aku pernah melihat Darren melakukannya, belum lagi di buku catatan tersebut tertera sikap seperti ini. Secara naluriah, aku menganggap bahwa ini adalah sebuah kebenaran.
Hanya, selama aku menunggu dia belum juga menunjukkan batang hidungnya. Aku jadi merasa sedikit bosan dalam menunggu. Jam belajarku secara mandiri jadi berkurang lantaran menunggu kedatangannya. Bahkan dengan menepuk lantai menggunakan telapak kaki tak berbuah apapun untuk membuatnya hadir di sini. Tiada pilihan lain; aku pun masuk ke dalam rumah untuk mengambil buku dan membaca di teras.
5 menit berselang, ia pun berhenti mendadak di depanku sambil tersengal-sengal.
"Ah, ka-kau akhirnya sampai."
"So-sorry! A-aku tadi sempat ..., sempat ...," ia bahkan bingung dalam menyatakan sebuah alasan.
Aku hanya menatapnya yang kelelahan, menunggu kata selanjutnya darinya.
"Ah, bukan. Tadi aku ketiduran. Jadi aku cepat-cepat ke sini. Berhubung juga kamu adalah orang yang menghargai waktu." Sophie berkilah di depanku.
Luar biasa! Tak kusangka dia bisa ketiduran, padahal dia yang butuh bantuanku. Tapi ya sudahlah. Walau pikiranku kerap membayangkan apa saja yang telah ia lakukan sampai-sampai bisa ketiduran. Hanya karena waktuku yang harus kumaksimalkan dengan baik, aku mencoba membuang itu jauh-jauh. Aku pun mengajaknya masuk ke dalam.
Ketika aku berbalik, Sophie dalam hatinya meminta maaf karena telah membohongiku. Bahwa semata-mata apa yang ia lakukan ini karena paksaan ibunya. Fakta bahwa ia kurang pintar Biologi adalah sebuah kebenaran. Namun Sophie tidak ingin membicarakan perkara keluarga yang kerap sekali terjadi.
Kami pun masuk dan langsung mulai belajar dengan keras.
****
Pagi berlangsung dengan begitu ceria. Aku datang dengan penuh semangat di pagi hari, karena pelajaran Biologi akan segera dimulai. Entah kenapa, aku cukup percaya diri dengan tugas hari ini. Sepertinya pengalaman belajar bersama dia telah meningkatkan mood di pagi hari. Dia memang cukup unik, berbeda dengan perempuan yang ada di kelasku.
Sophie juga datang dengan penuh senyuman. Hari-harinya cukup bahagia, dan langkah sepeda tersebut sudah cukup menjadi petunjuk tentang suasana batinnya. Meliuk ke kanan dan ke kiri, bersiul sepanjang perjalanan, seakan-akan kehati-hatian bukan lagi sebuah peringatan yang harus diperhatikan. Dan semua ini karena belajar bersama!
The Girl gang memerhatikannya!
Bell dan Helen penasaran akan rasa bahagia itu. Sementara Annie dalam hati berpendapat kalau itu adalah hal yang biasa. Melihat aksi keduanya, Annie jadi merasa terganggu.
"Biasa aja, kali!" tegurnya sambil menepuk pundak mereka.
"Shhh, diam, Annie!" Helen malah balik menegurnya.
"Emang kenapa kalau dia bahagia? Iri banget!"
"Apa karena Alex, ya?" tebak Bell.
Dari belakang mereka, Kathy hanya bisa tertawa geli dengan ujaran Bell. "Cih, emang apa yang bisa diperbuat si brengsek itu?" hinanya.
"Nggak ada kata yang lebih bagus selain itu, sial?" Helen benar-benar dibuat kesal karena sikapnya.
"Kathy, dia itu orang yang baik." Bela Bell.
Respon Kathy hanya tertawa.
Helen yang sudah muak melihat sikapnya terhadapku memilih untuk tak menanggapi hinaannya. Begitu pula dengan Bell dan Annie.
"Masuk, yuk!" ajak Annie pula.
Mereka semua pun beranjak pergi ke kelas.
****
Sepulang sekolah, semua siswa berhamburan mencari jalan untuk pulang. Kebanyakan di antara mereka memilih untuk menaiki bus. Ada juga yang menggunakan sepeda, mobil, dan beberapa orang malah berjalan kaki. Pernah sekali aku bertanya pada mereka, dan jawabannya adalah karena jarak yang cukup dekat. Namun satu orang yang bagiku sangat mengherankan, meski jarak yang begitu jauh hanya demi ilmu terpaksa memilih jalan kaki. The one and only, Mike. A strong guy, diligent, smart, and the most important, orang yang sangat gigih untuk mengangkat moral keluarga.
Kadang kala, dengan semua yang aku miliki, aku merasa seperti cukup nyaman dan terlalu bersantai ria. Sementara ia yang tak punya apa-apa, dengan tekad yang menggebu-gebu menerjang semua keterbatasan demi mencapai sebuah dunia tanpa batas.
Beberapa minggu ini aku terus membuntutinya, dan satu tempat yang pasti dia tuju setelah pulang sekolah adalah perpustakaan. Satu hari pernah kuluangkan waktu demi menghitung berapa jam ia habiskan untuk belajar di sana. Butuh waktu 3 jam baginya untuk merasa cukup menimba ilmu di rumah ilmu. Dan jika dibayangkan dengan malam hari, betapa besar pengorbanannya terhadap masa depannya dan keluarga. Oleh karena itu, saat itu juga, aku menjadikannya role model.
Ada kalanya segala sesuatu yang dimiliki menjadi kekang bagi otak untuk lebih lagi berkembang. Semua fokus tertuju kepada sumber daya yang tiada habis, sehingga tiada tempat untuk memacu diri semakin lebih baik dalam keterbatasan. Dan banyak sekali sifat manja ditemukan, ketika segala sesuatu secepat kilat langsung menolong. Di situlah nilai positifnya kekurangan. Memang tiada yang salah akan kelebihan, tetapi karakter tangguh kerap kali terbentuk saat dalam keterpurukan, keterbatasan, kelemahan, tak punya apa-apa, dan terbelakang.
Mengacu kepada kehidupannya, aku seperti tertampar. Jika aku sempat sekali saja menganggap remeh dia yang tanpa kusadari berjuang mati-matian, I'm the biggest fool on earth! Dunia ini maju, dan akan selalu bergerak maju. Ketika aku stagnan, maka aku akan tertinggal. Aku harus berusaha lebih keras, supaya bukan aku saja, tetapi Mike juga akan berjalan bersama-sama denganku meraih mimpi. Mungkin juga Sophie.
Sontak aku terkejut dibuatnya.
"Man, are you kidding me?" gumamku dalam hati. Hatiku bertanya-tanya tentangnya. Mengapa dia muncul?
Aku tahu dia gadis yang baik, ramah, pandai bergaul, dan jujur aku mulai lebih terbuka bila bersamanya. Aku berkomunikasi dengannya sudah jauh lebih baik dibanding waktu itu. Dan memang benar kalau kami belajar bersama semalam. Tapi aku menyangkal kalau gara-gara itu namanya terlintas di pikiran. Terlalu prematur! Seharusnya ada sebuah alasan mendasar yang bisa membuat itu terjadi.
Di lain tempat, Sophie yang berkendara pulang dicegat oleh Kathy.
"Kathy, ngapain berdiri di jalan?" tanyanya kebingungan.
"Menepi bentar." Pintanya."Aku mau ngomong."
"Lama, nggak?"
"Udah, nurut aja."
Sophie pun terpaksa mengikuti perintah Kathy. Di dekat sepedanya, mereka berdua membahas sesuatu yang menarik.
"Belajar kau sama si brengsek itu?"
"Brengsek? Siapa?"
"Nggak usah pura-pura nggak tahu."
"Alex?" tebaknya. "Si brengsek yang kamu maksud itu Alex?"
"Diapain kau?" Kathy pun memegangi lengannya. Merasa risih, ia dengan lembut menyingkirkan tangannya.
"Pertama, dia bukan brengsek! Dan yang kedua, aku nggak diapa-apain!" Balas Sophie. "Kami cuma belajar bareng."
"Yakin?" Kathy ingin mengonfirmasi lebih lanjut.
"Iya, aku sehat-sehat aja. Nggak kenapa-kenapa. Alex mana mungkin memakanku!" tutur Sophie.
"Suatu saat, kau akan tahu kalau dia bisa menelanmu hidup-hidup. Tanpa kau sadari!"
"Kamu kenapa, sih? Kok sinis banget sama dia?"
"Aku mencoba menolongmu!" balas Kathy.
"Dari apa? Dari dia? Memangnya dia orang jahat? Jujur aku pengen tahu. Ayo, coba ceritain samaku kejahatan apa yang ia lakukan, sehingga kamu dengan tanpa malu membuang-buang tenaga, mencegatku di sini, dan bersikap seolah-olah bak seorang pahlawan!" Sophie berharap Kathy segera jujur dan mengungkapkan segala sesuatu di hadapannya.
"Yang jelas, dia orang yang berbahaya. Dan aku nggak akan berbicara lebih dari ini. Kalau kau mau hidup bahagia, menjauhinya adalah pilihan terbaik." Pungkas Kathy.
Sophie langsung menyingkirkan peringatan konyol tersebut dari kepala. "Ah, kelakarmu berlebihan, Kathy! Berhenti menyesatkanku!" tegurnya. "Cuma nanya itu doang kan? Aku pulang dulu, ya?!" pamitnya.
Kathy hanya bisa berkata dalam hati agar Sophie mewaspadaiku. Sebab, yang tak ingin dia lihat adalah ketika keterpurukan menghujani keluarga mereka. Kathy menggumam kalau ia sudah mengalami hal yang buruk. Jadi maksud dia menahan Sophie semata-mata agar ia tidak terlalu mendekatkan diri terhadapku yang mungkin bakal menghancurkannya diam-diam.
"Udah ada gilamu kurasa!" sembur Helen.
"Awh, senang lihat dia bahagia tadi belajar Biologi." Bell mensyukuri apa yang terjadi pada Sophie.
"Kukira udah pulang kalian." Kathy terkejut melihat kedatangan mereka.
Sambil menenteng 4 buah es krim, Annie mendatangi mereka sambil memikirkan apa yang baru saja Kathy lakukan.
"Ini esnya. Kamu bicara apa samanya?"
"Bukan urusanmu!" balasnya datar. "Mau belajar lagi, nggak? Mumpung masih banyak waktuku."
"Banyak waktu?"
"Nggak dicariin si Jim kau nanti?" tanya Helen.
"Mending kamu pulang aja dulu Kathy!" bunyi nasihat Bell. "Kami juga mau pulang rencananya, gerah pake seragam sekolah."
"Yang masih berantamnya kau sama Bapakmu?" tebak Helen tiba-tiba.
Sontak mereka tercengang oleh informasi barusan. "Kamu ada masalah sama Ayahmu?" Annie turut mempertanyakan hal yang sama.
Kathy dalam hati mengumpat Helen karena sembarangan mengumbar perkara orang lain. Tapi dia memikirkan alasan untuk berkilah dari pertanyaan mereka. Baginya, lebih banyak orang tahu akan semakin mengurangi dendam dalam hati.
"Yah ..., yah, biar cepat aja. Kalo pulang dulu kan makin banyak waktu yang habis?" tutupnya.
"Iya juga, sih."
"Tapi aku kegerahan!" desak Bell.
"Masa nggak bisa nahan, sih?" Kathy menjadi tambah kesal dengannya. Bukan karena kegerahan Bell, tapi jikalau mereka masih mempertanyakan hubungannya dengan sang ayah.
"Oke, oke!" serunya. "Aku sama Bell dan Annie pulang. Kau carilah kafe yang cocok sama kita. Kami nyusul. Nggak bakal lama."
"Ah, memang kau!" cela Kathy.
Dari belakang, Annie menarik baju Helen untuk berhenti sejenak. "Aku sama Kathy aja." Pintanya.
Helen menangguk, lalu mereka berpisah kemudian.
****
Sehari kemudian, Sophie mendatangiku untuk belajar bersama-sama lagi. Dan ini berlangsung selama 4 hari berturut-turut waktu sekolah. Hanya di hari Minggu saja ia tidak datang. Namun sisanya, ia kerap mendatangiku demi menanyakan sesuatu atau pun minta diajari.
Dari sisiku, aku sesungguhnya tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut. Teman-temanku juga tidak merasa terganggu; lagi pula, mereka juga ikut-ikutan belajar bersama. Ada yang duduk dan ada yang berdiri. Beberapa menguping pembicaraan, dan sebagian lagi bertanya-tanya. Ada kalanya terjadi perdebatan dalam rentang waktu tersebut; ada juga momen di mana aku kurang teliti dan mendapat penilaian. Tapi secara keseluruhan, waktu-waktu tersebut cukup menyenangkan.
Rasa canggungku terhadapnya juga sudah mulai berkurang. Tak ada lagi muncul ingatan-ingatan masa lalu yang menyakiti hati. Rasanya seperti terlahir kembali. Smith juga mensyukuri hal tersebut, terlebih lagi Tony. Mengingat semua yang telah mereka lalukan, rasa penat dan letih demi menggapai sebuah perubahan, waktu yang lama adalah bayaran yang tak tergantikan. Tetapi ketika peran mereka tergantikan oleh pribadi yang tepat, membuat mereka enggan menyesali apa yang sudah terjadi. Satu hal yang pasti, hatiku mulai sembuh.
Siang harinya, selepas pulang sekolah, baik aku dan Sophie berjanji untuk belajar lagi malam harinya. Dia menjadi lebih bersukacita dibandingkan sebelumnya. Dan bila kubayangkan ekspresinya kala itu, wow, sungguh berbeda. Dia yang kini sudah lebih pandai dan bisa menyelesaikan beberapa soal dengan baik. Kemajuan yang baik, bukan? Aku bersyukur, dia juga menyadarinya. Tekadnya yang kuat memacu diriku juga untuk lebih giat lagi.
Malam pun tiba, dengan semua rencana yang terplot dengan baik. Ia kembali diizinkan belajar bersamaku walau tak memberitahukan identitasku yang sebenarnya. Ayahnya penasaran, ibunya yang masih sinis terhadapnya, menghadirkan rasa penasaran juga dalam benak. Siapa teman belajar Sophie?
Dia mengambil sepeda pink miliknya dan mengayuh menuju alamat yang telah ia ketahui. Dia sampai dan menemukanku sedang duduk di teras rumah. Tiada lain dan tiada bukan selain belajar.
"Ya Tuhan! Bahkan menunggu aku pun kamu harus sampai duduk di teras dan belajar?"
Aku sedikit tersenyum mendengar itu. "Ah, aku bosan nunggu dalam. Dan sepertinya belajar di sini juga menarik."