Di depan kantor, telah menunggu beberapa orang menggunakan jas hitam. Ayah menatap jam di tangannya, berpikir kalau rapat sudah dimulai dan ia terlambat. Dengan cukup tergesa-gesa, ia menitipkan mobilnya pada pengawal yang bertugas dan langsung menemui mereka.
"Apakah aku terlambat?"
"Tidak, Pak!" balas mereka. "Masih ada sekitar 5 menit lagi."
Ayah mengernyitkan dahi. "Bukankah seharusnya kalian menunggu di ruang rapat?"
Pemimpin perusahaan yang menjadi kolega ayah nanti di proyek selanjutnya tersenyum. "Kami berupaya menghormati Anda agar proyek ini berjalan mulus."
"Dan ini adalah sambutan tersebut?" tanya ayah.
"Correct, Mr. Nick!"
"Ah," ayah mengangguk mendengar jawaban mereka, "alright! Kalau begitu, mari kita mulai rapatnya." Ajak ayah.
Mereka semua pun bersama-sama menuju ruang rapat yang berada di lantai 9.
Setelah keluar dari elevator, CEO Jay Bricks Company bertanya pada ayah. "Pak, ada urusan apa tadi di luar?"
"Oh, tadi aku menjumpai seorang siswi."
"Tumben Anda melakukannya."
"Dia sudah menolong anakku." Ungkap ayah dengan jujur.
"Sepertinya Anda dikelilingi oleh orang-orang yang baik hati." Pujinya.
Ayah tertawa kecil mendengar pujian tersebut.
"Aku hanya bisa bersyukur untuk itu. Kau harus mencobanya!"
"Setelah apa yang Anda lakukan di masa lalu, mungkin ini saatnya bagi saya!"
"Berkat menjadi orang baik itu selalu ada." Terang ayah. "Kita sudah sampai."
Pintu di tutup, dan proyek selanjutnya pun mulai direncanakan bersama dengan pihak-pihak terkait.
****
Sejak usainya pelajaran Biologi hingga pukul 2 siang, Smith hanya diam menutup mulut. Tak ada sepatah kata keluar dari mulutnya. Ini semua diakibatkan oleh status lahirnya yang ia pandang terlalu hina.
Bagi sebagian, atau justru mayoritas penduduk Amerika, hamil di luar nikah adalah hal yang lumrah. Dan ini terjadi karena pola perilaku yang dianggap normal, bahwa pasangan yang belum menikah bisa tinggal serumah. Disamping itu, kehidupan intim pria dan wanita yang dibebaskan semakin meningkatkan peristiwa tersebut. Negara-negara lain juga mengadopsi perilaku demikian. Tidak heran jika banyak anak-anak yang lahir di luar sebuah pernikahan suci.
Jika menilik kepada penelitian, ada masalah besar yang 'memaksa' orang-orang untuk bertindak demikian. Satu hal yang pasti, ideologi liberal telah menjadi bagian utama penyebab hal tersebut. Ketika hak privasimu tidak diatur dalam undang-undang, kau bisa bebas melakukan apa aja. Meskipun demikian, ada hal-hal tertentu yang dibatasi di beberapa negara bagian. Seperti kepemilikan senjata misalnya.
Terlepas dari bagaimana politik mengatur kehidupan di Amerika, ada juga faktor lain yang menyebabkan hal itu terjadi. Secara agama, khususnya karena negara ini mayoritas Kristen, perceraian adalah salah satu yang dilarang. Jika demikian, maka sangat sulit bagi pasangan-pasangan tertentu untuk memutuskan masa depan keluarga mereka. Tak semua keluarga yang benar-benar adalah pasangan yang tepat. Ada di antara mereka yang karena cinta pada pandangan pertama, memilih langsung menikah. Namun di tengah perjalanan, kisah mereka kandas.
Tidak adanya komitmen secara utuh menjadi jerat bagi langgengnya pernikahan. Semuanya hanya berkutat pada cinta saja, sementara kasih diabaikan. Hidup menuruti hawa nafsu, dan akhirnya mencelakakan diri sendiri. Rumah tangga retak, anak-anak menjadi korban, dan tentu ini akan menjadi petaka turun temurun. Perceraian itu menyakitkan!
Beban spiritual membuat rasa tak nyaman dalam bahtera rumah tangga. Menanggung dosa yang demikian tentu tak diinginkan oleh banyak pasangan. Belum lagi, perkara ini akan terlimpahkan lambat laun kepada anak. Ujung-ujungnya, kebanyakan mereka akan masuk dunia prostitusi. Anggapan seperti itulah yang menjadi satu dari sekian penyebab. Walaupun sebenarnya, hamil di luar nikah demi menghindari perceraian juga adalah salah.
Fakta lain, perkara ekonomi adalah yang juga menyebabkan maraknya bayi-bayi yang lahir di luar nikah. Ketimpangan pendapatan serta langkanya lapangan kerja menimbulkan pola pikir baru dalam benak pemuda-pemudi Amerika. Menikah itu sulit, dan membutuhkan biaya yang besar. Untuk memikirkan jauh ke depan, kita memerlukan sejumlah uang yang besar. Nah, bagaimana cara yang terbaik untuk mencapai hal itu?
Inilah yang menjadi sumber petakanya, terlebih bagi mereka yang tidak mendapatkan pendidikan yang optimal. Mengingat bahwa rata-rata pekerjaan membutuhkan tamatan yang mempunyai gelar setidaknya strata 1, ujung-ujungnya semua berakhir pada mereka yang terdidik. Pilihan terbatas, sementara keinginan memiliki anak juga tinggi. Tak heran mengapa banyak pasangan memiliki anak terlebih dahulu, ketimbang harus menikah seperti yang seharusnya. Komitmen jangka panjang, itulah yang kerap dihindari.
Kembali kepada pernyataan awal; karena kasus ini sudah cukup lama terjadi, maka orang menganggap hal itu adalah normal. Anak-anak yang lahir pun tak merasa terbebani dengan status illegitimate child, atau bahasa kasarnya, bastard. Ada banyak orang-orang yang menopang satu sama lain, yang sakit meminta pertolongan sama orang yang sakit. Akhirnya? Kedua-duanya menjadi sakit, bahkan lebih parah. The blind, leading the blind! Inilah yang tak disenangi Smith.
Dalam perenungannya di jalan, ia kerap menjumpai orang-orang yang lahir di luar nikah. Beberapa mereka juga sudah merasakan memiliki seorang anak yang juga di luar nikah. Ada juga yang bergabung di dunia prostitusi, karena tak ada pendidikan yang benar dari orangtuanya. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Smith tak punya keinginan sama sekali untuk berakhir demikian. Tapi respon hatinya salah dalam menyikapi hal itu! Ia masih tetap membenci dirinya!
Bell yang datang dengan penuh kebahagiaan langsung menghampirinya.
"Hey, best friend!" sapanya sambil merangkul lengannya. "Or ..., lover?"
Tapi Smith hanya membeku.
"Hmm? Ih, udah mulai sombong dia." Sindirnya halus. "Biasanya kalo nggak malu-malu, ya tersenyum!" sambungnya lagi.
"Leave me alone!" pintanya.
"Nggak mau!" tolak Bell santai. "Sendirian itu nggak baik!" timpalnya.
"Bell!" desak Smith sambil menunjukkan kegerahannya. "Lain kali aja! Atau mungkin nggak perlu!"
"Kamu kenapa?" dia sampai kebingungan. "Masa aku nggak bisa dekat samamu? Sekalipun kita sahabat, kan kita saling menyukai?!"
"Tinggalin aja perasaanmu itu. Aku nggak mau melanjutkan. Sorry, aku nggak bisa melanjutkan itu." Terangnya. "Aku malah bingung dengan kisah ini. Apa yang kusukai darimu, dan apa yang kausukai dariku?"
Smith yang langsung pergi ditahan oleh Bell dari belakang. Wajahnya semakin bertambah kesal, begitu juga dengan Bell yang sama sekali tidak mengerti mengapa kekasihnya bertindak demikian.
"Pertanyaanku belum kamu jawab!" tegasnya. "Kamu kenapa? Kenapa kamu menginginkan ini semua berakhir? Apakah ini salahku? Atau kamu sendiri yang merasa terbebani?"
"Bukan urusanmu!" balasnya ketus.
"Bukan urusanku? Jadi kamu nggak mau terbuka samaku?" tanyanya kesal.
"NGGAK!" bentaknya.
Setelah berkata demikian, dia benar-benar bisa pergi tanpa dibuntuti Bell.
"Uh, dammit!" umpatnya.
Di malam hari, waktu yang cukup bagus untuk belajar dan mengerjakan tugas, malah menjadi ajang pencarian umpatan terbaik. Di kamarnya, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih, padahal beberapa hari sebelumnya ia mampu menanggulangi pikiran tersebut.
Namun, dalam sekejap saja, memori kembali diputar dan kekesalan tak terbendung mengalir deras di dalam jiwa. Bahkan sudah memakan korban, yang tak lain adalah Bell sendiri. Foto ibunya masih saja ia temukan di dalam lemari, dan pemicu itu sudah meruntuhkan tembok pelindung yang ia bangun agar tak terkontaminasi lagi, yaitu fokus belajar.
Tak ada pelajaran yang masuk ke otak. Walau bisa membaca sebanyak 2 halaman, anehnya pikiran itu hadir kembali. Banyak cara telah ia lakukan, sampai-sampai menyiksa diri sendiri, tetap saja tak membuahkan hasil. Ditambah lagi sikapnya terhadap Bell, membuat ia ingin menghilang sesaat karena itu semua. Tiada yang tahu, tiada yang peduli, tiada yang menolong; kesendirian merajalela bak lumut pada kayu busuk.
Sebuah ide muncul, tapi agak beresiko karena sudah malam. Hanya, Smith enggan menaruh peduli pada hal itu, dan memilih melakukannya asal tak dibayang-bayangi kembali. Ayahnya menyetujui, dan Smith pergi keluar dan berjalan-jalan menikmati indahnya malam dengan gemerlap bintang terang.
****
Malam ini, Sophie sedang sibuk belajar. Dari selepas pulang sekolah hingga sekarang dia mengurung diri di kamar untuk belajar dan mengerjakan tugas. Buku yang kuberikan padanya juga tak luput dari pengerjaan yang dia lakukan. Karena isinya ialah soal-soal latihan, itu sangat membantunya sekali dalam memahami pelajaran yang sesuai dengan bidang yang dia ‘hendak tuju’.
Terkadang dia merasa lelah, tapi dia tetap berusaha. Dia mengikat kepalanya dengan sebuah hachimaki agar lebih termotivasi lagi dalam belajar. Waktu senggang yang ia tetapkan hanya sekadar untuk makan malam. Beberapa menit kemudian, ia bergegas masuk kembali ke kamarnya dan belajar kembali.
Meskipun demikian, masih ada hasrat tersimpan di hati untuk menjadi perenang profesional. Jika pun tidak dapat, setidaknya menggabungkan keduanya tidaklah buruk: tim medis renang nasional.
Ibunya sedari tadi memerhatikan perilaku Sophie yang berubah drastis semenjak dia datang ke rumahku. Sophie yang dahulu selalu dicurigainya setiap malam, selalu menganggap kalau dia hanya main-main saja di luar, dalam seminggu ia benar-benar terganggu. Rasa sinis seolah-olah mulai dapat diragukan, karena Sophie benar-benar serius belajar. Tapi tetap saja, tidak tenang sudah seperti menjadi makanannya sehari-hari. Kegelisahan tersebut dirasakan suaminya. Seketika pikiran negatif masuk, dan dengan satu kalimat ia ingin isterinya menghentikan tindakan bodohnya nanti.
"Ngapain?" pertanyaan tersebut membuat dia terkejut.
"Eh, ah, nggak ngapa-ngapain!"
Tetap saja, wajah masam itu terlihat jelas di depannya. "Jangan ganggu anak itu! Dia lagi belajar."
"I-iya, tapi aku pengen mastikan!"
"Nggak ada yang perlu dipastikan." Jawabnya tegas. "Dia melakukan ini semua demimu. Dia terbeban karenamu. Kalo sampai lagi dia menderita, tanggung sendiri kegagalannya."
"Robert," desahnya, "ini semua demi kamu. Apakah seperti ini reaksimu terhadapku?"
"Jangan salah paham! Yang memintanya menjadi dokter adalah kau, jadi semuanya demi kepentinganmu."
"Inikah yang kamu inginkan, membiarkanku sendiri merawat dia?" tanyanya pada suaminya. "Kamu bersalah pada dirimu sendiri, dan aku berusaha menebusnya lewat anak kita. Kenapa kamu tak pernah merasa bersalah? Aku ingin kamu tetap hidup!"
"Benar, aku salah!" balasnya. "Aku mengakui itu! Aku minum alkohol setiap hari sebanyak 3 botol selama 20 tahun. Bukan waktu yang singkat. Tapi apakah tepat melimpahkan kesalahanku kepada anak yang tak tahu apa-apa, tiba-tiba harus menanggung beban sedemikian berat? Kalau itu terjadi, aku membunuh hatinya, Marie! Aku membunuhnya!"
"Tidak, tidak, sayang!" tolaknya. "Kamu membunuhnya ketika kamu meninggalkan kami berdua. Ingat baik-baik, kamu berjasa terhadapnya. Dengan semua yang telah kamu lakukan, ia takkan melepaskanmu begitu saja."
Isterinya lalu menaiki tangga untuk bertemu Sophie.
"Hey, Marie!" seru ayahnya. "Marie, tunggu ...."
Di dekat meja, ia meluapkan semua perasaan yang ada dalam hatinya. Marah, kesal, simpati, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tak mengerti akan apa yang terjadi pada putri semata wayangnya itu.
Beberapa langkah di depan pintu kamarnya, Marie mencoba mempersiapkan diri. Kalau menghadapi putrinya dengan sikap marah dan kesal, bisa jadi pertikaian yang terjadi. Sementara tujuannya jelas: Sophie harus menjadi dokter. Tak mungkin ia mau menyetujui keinginan tersebut dengan cara yang demikian. Akhirnya, ia berupaya melembutkan bahasanya.
Tok, tok, tok!
Bunyi ketukan itu membuyarkan konsentrasinya.
"Siapa?"
“Kamu lagi belajar, sayang?” tanya sang ibu dengan lembut.
Sophie mendengar suara itu, walau samar-samar. “Iya, Ma!” sahut Sophie dari balik kamar. Perasaannya menjadi negatif. Seolah-olah mengetahui kalau kedatangannya hanya menambah perkara.
Ibunya masih tetap berdiri di depan pintu. Dia kebingungan. Haruskah ia menceritakan kepada Sophie yang sebenarnya terjadi di dalam keluarganya? Di balik sebuah perenungan, beliau sejujurnya masih tidak mampu membayangkan respon apa yang akan diberikan Sophie padanya setelah memberitahukan itu. Semua skenario yang ada diputar terus menerus untuk melihat seberapa besar kesedihan yang akan Sophie tanggung. Sementara Sophie tak berniat membukakan pintu. Ia tahu ini akan menjadi sebuah pertikaian yang menyebalkan.
Selang beberapa lama, ia mendatangi Sophie lagi dengan keyakinan bahwa ia akan tetap tegar meski mendengarkan ini.
“Sophie, Mama bakal mengganggu nggak kalau masuk?”
“Ada apa?” sahutnya dari dalam. Ini yang kedua kalinya. Kecurigaan muncul, tapi dia berpikir akan lebih baik kalau menghadapinya secara langsung. Ia memberanikan dirinya. “Bentar!” Sophie lalu membuka kamarnya.
“Mama ingin memberitahukan sesuatu!” ujar ibunya dengan begitu besar rasa cemas di dalam hati.
Sophie mendadak penasaran dengan suara ibunya. Intonasi ini seperti bukan kebahagiaan. Ada hal aneh yang sedang ia rasakan. Dugaannya benar, tapi Sophie lebih memilih untuk tetap diam dan menunggu ibunya mengatakan yang sebenarnya.
Sebelum dia bercerita, sang ibu bertanya tentang dia yang akan menonton Sabtu malam nanti. Alibi itu dijawab dengan santai olehnya tanpa menyebutkan namaku. Lagi-lagi Sophie enggan menyebutkan namaku kepada kedua orang tuanya karena ia lebih senang mengungkapkannya ketika saatnya tiba. Berhubung baginya hal itu berkaitan dengan perasaannya.
Sophie yang sedari tadi berdiri langsung duduk kembali untuk belajar dan berlatih soal. Sang ibu menatap anaknya yang sibuk mengeruk ilmu dari tanah buku. Kesulitan tetap tidak meninggalkan Sophie begitu saja. Terkadang ia suka bingung dalam menjawab beberapa soal. Namun dia tidak kehabisan akal untuk bisa mendapatkan pengertian dalam upaya menjawab soal-soal tersebut. Di dalam sebuah catatan ia menuliskan berbagai soal-soal sulit yang menghambatnya. Rabu depan akan menjadi waktu baginya untuk mendapatkan jawaban dariku.
Merasa terganggu oleh kehadirannya, Sophie mencoba bersabar. Tetapi waktu berjalan begitu saja tanpa sepatah kata pun keluar. Dengan terpaksa ia harus menggunakan cara yang kesannya 'kasar', tapi disampaikan secara kelemahlembutan. “Hanya itu yang mau Mama bilang?” tanya Sophie. “Bolehkah Mama meninggalkanku sekarang? Masih banyak hal yang harus kupelajari di dalam keheningan dan kedamaian.” Sophie mendesak ibunya secara halus.
“Apa pilihanmu masih kayak kemarin-kemarin … atau menjadi seperti yang Mama dan Papa inginkan?”