Sabtu hadir, dan aku membiasakan kembali kebiasaanku yang sudah biasa dilihat orang lain dan mereka sudah terbiasa dengan itu. Saking begitu sering mereka lihat, ini sudah tak menjadi buah bibir lagi. Belajar memang menyenangkan untukku, but not for the others. Jika dikatakan ini menghambat komunikasi, sesungguhnya tidak juga! Karena banyak dari mereka yang mengerti ketika datang padaku. Bukan menyombongkan diri, tapi berdampak merupakan sesuatu yang amat baik, bukan?
Walaupun demikian, hanya setengah saja yang kulihat tidak membuka bukunya di pagi hari. Ada juga beberapa yang belajar juga. Hal itu bukan sebuah keheranan, sebab sebentar lagi kami akan menyongsong ujian akhir. Sedia payung sebelum hujan. Menyicil sedikit lebih baik dari pada menggunakan sistem SKS: Sistem Kebut Semalam. Otak bisa stres kalau mengikuti cara ini, karena tidak punya kerangka yang jelas. Bingung mana yang lebih dahulu diutamakan untuk dipelajari. Jadi bagiku, ini adalah salah satu yang terbaik untuk dilakukan.
Smith tiba, dan ketika aku menatapnya sedang duduk di sampingku, ia melemparkan senyum. Dalam hati aku bergumam: "Apa masalahnya udah selesai?" Dan seperti biasa, pikiran kemarin menghantui. Yang menjadi petaka, bibir ini mengutarakannya.
"Kemarin kau ke mana? Bell nyariin. Kalian saling suka, ya?"
Dahinya mengernyit. "What you talking about?"
Sophie yang sudah di kelas tertawa kala mendengar pertanyaanku.
"No, I mean, dia kemarin nyariin kau. Jadi ...," aku jadi agak takut mengatakannya.
"Oh, kemarin itu dia pengen belajar bareng. Cuman karena aku punya kesibukan, dicarilah sampai dapat." Kilahnya.
Aku mulai mendekatkan wajahku ke telinganya. "Kenapa kau mencari Ibumu?"
Ia pun terkejut. Satu hal yang pasti ada, adalah sebuah pertanyaan tentang kenapa aku bisa mengetahuinya? Sejauh yang ia ketahui hanya 2 orang yang berada di tempat. Dia dan Bell. Nyatanya, ada orang yang lain selain mereka. Ia pun berusaha mengaburkan jalan pikiranku.
"Ah, ... a-aku cuman penasaran aja. Di mana Ibu bekerja sekarang. Nggak ada sesuatu yang spesial. Ahaha!" kembali, ia berkilah sambil menggaruk kepala.
Mendengar itu, aku langsung percaya. Sebab aku tak pernah mendengar kabar tentang ibunya. Ini adalah informasi pertama yang masuk ke telinga dan langsung dari sumbernya. Kerinduan terhadap ibu memang sangat sulit untuk ditolak. Demi menunjukkan sebuah sikap empati, aku mengelus-elus punggungnya dan menepuknya kemudian. Senyumannya menjadi sebuah topeng yang tak dapat dibuka.
Di samping itu, aku juga memahami apa perasaannya yang menyebabkan Bell menggerutu. Setelah mereka bertemu kemarin, kuharap Bell bisa mengerti kondisi Smith dan, yah, mereka bisa belajar kembali.
Baru saja aku membuka selembar halaman dari buku kimia ini, seorang siswa langsung menutupnya tanpa izin.
"Man, what did you do?"
Dia langsung mengunjukkan kedua jari telunjuknya. "Kudengar kau jago main ini. Gimana kalo kita tanding?" tawarnya.
Chad, murid kelas sebelah yang terkenal cukup jago masalah permainan yang baru. Apa pun permainan yang pernah ada dan dimainkan di kelas, rumor yang kudengar ia bisa langsung paham dan mahir memainkannya. Sekarang ia menantangku, dan semua murid di kelas pada bertanya-tanya.
"Ngapain dia di sini?"
"Nggak tahu. Udah gitu nantangin Alex lagi."
"Emangnya dia bisa? Belajar ajanya kerjanya kulihat."
"What the heck is he doing here?"
Bukan cuma siswa yang berada 2 baris di sampingku ini yang bertanya-tanya, Tony dan Smith juga bingung.
"Umh, sorry! Tujuan kalian apa, ya?" pertanyaan Smith mewakili rata-rata kami semua.
"Udah! Nggak usah banyak bacot. Pertanyaannya-"
Dengan satu tangan, Chad menghentikan ocehan orang di belakangnya.
"Maaf, kesannya kami kayak seperti preman, ya?! Tidak, aku cuma ingin bermain saja." Ungkapnya.
"Kalo cuman main aja, ngapain harus bawa mereka?" aku menunjuk 5 orang yang ada di belakangnya.
"Oh, ini pendukungku."
Semua siswa kebingungan. Dan tawa pun pecah karena itu. Untuk permainan seperti ini, bagi kebanyakan kami sangat berlebihan bila harus membawa pendukung.
"Woy, kenapa ketawa?" tanya salah seorang dari pendukung Chad.
"Chad adalah juara bertahan permainan ini." Timpal yang lain. Tapi wajahnya kelihatan begitu miris.
Semakin lama kami tertawa, mental mereka makin hancur. Aku mulai paham, sebenarnya rumor itu salah.
Tiba-tiba Tony dari samping mereka mencoba menghibur. "Bro, nggak usah terlalu pede. Jadi kocak kan jadinya."
"Bro, kau belum tahu aku siapa, ya?" Chad masih menjaga wibawanya. Tapi melihat wajah anggotanya, mereka mungkin grup lawak yang selalu gagal melawak. Namun herannya, justru itu membuat lawakan mereka bagus.
Tony hanya tersenyum mendengar kepercayaan diri itu. "Apa perlu kuceritakan sama mereka siapa kalian semua?" tawarnya.
Dari luar kelas, ada orang yang berseru. "PECUNDANG! Kirain jago, nyatanya bego!"
Kami semua tertawa, dan 5 anggotanya menangis sedih. Bos mereka ternyata kalah terus dalam permainan.
"Slogan yang cocok untuk kalian, 'Nggak papa kalah, yang penting gaya'! " celetuk Matthew.
Mereka pun meninggalkan kelas kami. Sulit dibayangkan, kenapa mereka datang ke sini? It just, it just so ridiculous! Dengan gaya yang begitu eksentrik, seolah-olah mereka adalah jawara dunia. Tetapi ketika tawa terhadap mereka datang, mentalnya menciut seperti balon yang bocor. Dengan waktu yang tersisa sedikit lagi, dan melihat bagaimana tingkah konyol mereka, rasa-rasanya menjadi pelawak adalah pekerjaan yang mumpuni. That's interesting!
Smith tiba-tiba menepuk pundakku. "Gimana? Kau sama Sophie?"
Jantungku berdebar sangat cepat. Damn, suaranya begitu kencang, sampai-sampai aku tidak berani menatap ke belakang. Hanya sekilas terlihat di ujung mata, namun Matthew tersenyum menggodaku.
"Jangan senyum kau, Matthew! Kalo nggak kuhabisi kau!" ancamku tegas.
"Sukakulah! Bibir, bibirku kok. Kenapa jadi situ yang repot?"
"Brengsek, kau mau manas-manasi?" begitu geramnya hati ini.
Sementara Sophie hanya tersenyum menatap kami. Annie yang mengerti langsung menyentuh lengannya.
"Kalo kamu ditanya gitu, jawabanmu gimana?" tanyanya berbisik.
Helen yang duduk di samping Annie langsung berdiri mendekat. Wajah mereka berdua menyatakan respon yang serupa. Itu membuat Sophie berpikir sejenak dalam membalas pertanyaan mereka.
Sophie mendekatkan kepalanya sambil menutup wajah. "Kamu tahu, yang terpenting bagiku adalah melihat dia bisa bicara dengan kita dan mulai berani mengungkapkan perasaannya." Balasnya dengan nada rendah.
"Kau sendiri gimana?" tanya Helen menguji dia. "Kau suka sama dia?"
"Yah, dia tampan sih. Pintar lagi." Sanjung Annie.
Untuk ini, Sophie masih belum menentukan pilihannya. Semuanya karena ada hal-hal yang lebih diprioritaskan, lebih penting, dan tepat guna. Ketegasannya mengenai waktu berpacaran serta beban tanggung jawab atas kesehatan ayahnya adalah yang paling utama. Walaupun demikian, Sophie tak menampik peluang cinta kami akan bersemi.
Belum sempat menjawab, guru seni sudah terlebih dahulu tiba di kelas. Percakapan mereka berakhir saat itu.
****
Selepas sekolah, aku pulang secepat mungkin ke rumah. Ibu memberitahu sebelumnya kalau bakal ada seseorang yang hendak menemuiku. Orang penting, dan mungkin bisa menolongku memikirkan masa depan yang kan menanti. Aku merasa bahagia. Dan itu sudah pasti, karena jalur kesuksesanku dimulai di sini. Setidaknya, gambaran akan jalan yang harus dilalui lebih mudah terlihat.
Selain dari pada itu, pengalamannya tentu menjadi bekal penting dalam menghadapi tantangan di depan. Terkadang ini diperlukan supaya dapat mempersiapkan mental, sehingga tidak terkejut dan akhirnya gugur. Meskipun, bagi orang lain ini akan menjadi sesuatu yang menarik. Merasakan sendiri akan jauh lebih nikmat dan segar dibandingkan telah mengetahuinya sebelumnya. Apa pun itu, aku berharap bisa memperoleh impian di masa depan.
Beberapa menit terkuras, dan akibatnya kami sampai di rumah. Tony ikut denganku karena ingin membicarakan sesuatu dengan ibu. Entahlah ayah datang atau tidak. Karena biasanya ia sedang bekerja di kantor. Dan itu bisa saja terjadi, mengingat ada proyek yang sedang dirancangkan.
"Serius itu kocak sih!" tuturnya sambil tertawa ringan.
"Gimana, ya?" bahkan aku sampai bingung mengatakannya. "Ternyata ada juga yang lebih konyol dari Matthew!"
"Udah terkenal memang mereka. Cuman kali ini lebih ..., lebih apa, ya ...?"
"Awkward?"
"Nggak. Lebih ke ..., mereka kayak udah sadar diri gitu." Terangnya. "Apalagi yang di belakang si Chad itu, yang 2 orang itu."
Aku mengingatnya. Mencoba bertahan, tetapi hati mereka tak bisa menipu. Begitu realistis, yang berujung pada gelak tawa seisi kelas.
"Yah, bagus juga ada hiburan gratis menjelang masa kritis."
"Masa kritis, ya?"
"Masuk, yok?!" ajaknya kemudian.
Di depan rumah, ibu menyambut kami dengan ramah. Dan tanpa mengerti kenapa, ada sesosok pria yang benar-benar sangat kukenali.
"Pa-Papa?" sapaku tercengang.
"Oh, ah, Alex! Oh, Tony datang juga?!" ia beranjak dan menyalam kami.
"Aku pikir Paman masih kerja sekarang."
"Iya. Aku pun gitu mikirnya." Kami berdua bersepakat dalam keheranan. "Dan udah ganti baju juga, kan?!" sambungku.
Terlihat di mata Tony kalau ayah masih memikirkan sesuatu. Seperti sebuah alasan. Aku telat mengerti hal itu. Kami masih mematung berdiri memandangi ayah. Untungnya, ibu sigap menyuruh kami untuk duduk dan makan siang.
Setelah semua selesai, baik aku dan Tony mulai membahas tentang sesuatu yang ada dalam benak ayah.
"Kalian berdua udah menentukan masa depan kalian?"
"Sudah, Paman!" jawabnya dengan penuh percaya diri.
"Ya, aku juga!"
"Alex juga?"
Aku mengangguk.
Ayah pun memusatkan perhatiannya kepada Tony.
"Kamu bakal meneruskan pelatihan itu? Nggak mau coba peruntungan di universitas maupun akademi?" ayah mencoba menawarkan beberapa pilihan.
Ia pun mulai menimbang kembali. Tetapi keteguhan dan ketetapan hatinya masih tetap berada pada porosnya. "Terima kasih untuk sarannya, Paman. Tapi menjadi atlet adalah pilihan yang menurutku sangat baik!" tolaknya dengan lembut.
"Kau udah bicara sama Nenekmu?"
"Udah. Ia setuju dan mendukung!" balasnya. "Ah, kalo Nenek apa pun didukung asalkan aku bahagia melakukannya!"
Ayah tersenyum. "Baguslah. Setidaknya aku sudah mendengar pilihanmu, dan berjuanglah dengan gigih!" bunyi pesan ayah.
Keheningan mulai muncul. Seharusnya, aku adalah orang selanjutnya yang ditanya. Karena Tony sudah memaparkan rencana dan keputusannya, giliranku kini yang memaparkan rencanaku. Sudah kupertimbangkan beberapa hari yang lalu, dan ini mungkin sesuai dengan kapasitasku.
Menunggu beberapa menit kemudian, ayah pun buka suara.
"Alex, apa cita-citamu?"
"Aku ingin menjadi tenaga ahli perusahaan energi terbarukan." Cetusku bangga.
"Wow, luar biasa! Cikal bakal bos energi baru, nih!" sentil Tony. "Potensinya untuk ke depan sangat menjanjikan."
"Yoi!" kami berada dalam satu kesepahaman. "Berhubung efek sampingnya yang kontras dengan fosil, ini bakal membuat bumi jauh lebih sehat."
"Berarti jurusannya?"
"Geologi!"
"Owh, Geologi. Berarti universitasnya udah ditentukan?"
"That's the problem, Dad!" ungkapku penuh kegundahan. "Aku bingung menentukan antara ke Harvard atau MIT!"
"Yeah, itu pilihan yang sulit!" Tony memahaminya juga.
"Right?!"
"Mungkin bisa dilihat dari karakter kamu. Apakah lebih ke arah teknis atau non teknis? Teori atau praktik? Kantor atau lapangan?" saran ayah.
"Mungkin MIT akan lebih cocok denganmu." Timpal Tony.
Aku memikirkan apa yang baru saja dia katakan. Tapi belum beberapa lama, Tony merasa kalau perkataannya kurang tepat.
"Kenapa?" tanyaku.
"Enggak. Kayaknya nggak cocok kalo kau kerja lapangan, soalnya di sekolah kau doyan belajar."
"Loh, aku senang-senang aja belajar di alam bebas. Bukannya sama aja konsepnya sama bekerja? Yang penting kan menghasilkan?"
"Balik samamulah!" simpulnya. "Yang penting kau bisa melakukan sesuatu yang menurutmu terbaik dan berdampak bagi orang lain." Pungkasnya.
"Memang pada akhirnya akan kembali juga keaku. Nantilah kupikirkan! Yang penting rencana dan kerangkanya udah ditemukan!"
Raut wajah ayah senang. Tapi hatinya tidak. Sekali lagi, karena perusahaan saat ini seperti tidak mempunyai titik tujuan yang pasti. Karena aku memilih kerja di bidang yang lain, dan bukan ke arah Manajerial atau pun setidaknya Teknik Sipil.
"Eh, berarti, perusahaan bakal jatuh ke tangan Darren?" Tony mencoba berargumen.
"Darren?" aku menimbang-nimbang dalam hati. "Gimana Pa? Dia bakal mau?"
Ayah mendengus. "Kalau itu Papa tidak tahu. Yang terpenting, kamu sudah menentukan pilihanmu dan kami pun turut mengetahuinya. Sekarang, tugas kalian adalah bersiap-siap menghadapi tantangan di depan. Jalan yang kalian lalui tidak akan mulus." Pesan ayah sekaligus peringatannya.
Ya, itu penting sekali! Ayah yang sudah berpengalaman paham betul mengenai jalan menuju masa depan. Dan aku berharap, bisa menemukan jalan yang menurutku baik demi mereka berdua, yaitu ayah dan ibu.
Kemudian, teringatlah aku akan agenda malam ini. Sebenarnya, aku ingin meniadakannya karena malu. Bagaimana tidak? Rumor aku menyukai dia sudah diketahui beberapa orang. Belum lagi Sophie blak-blakan menyebut kalau aku menaruh hati padanya. Apalah kekuatanku untuk tetap berdiri? Selain bahwa aku harus menghargai waktu dan kesepakatan yang sudah dijalin. Oh my gosh!
"Ehm ..., Pa?" panggilku.
Ayah mengarahkan pandangannya ke arahku. Tony pun turut memperhatikanku.
"Aku ... boleh ... pergi nggak, malam ini?"
Respon ayah hanya terheran-heran. Tetapi Tony yang langsung sadar mencoba untuk menahan tawa. Karena cukup jelas terdengar, aku menjadi kesal dan berusaha menyuruhnya diam.
"Kenapa, Tony?" ayah langsung bertanya padanya.
Gawat! Hatiku benar-benar dilanda kegalauan. Apakah dia akan berkata jujur atau tidak? Demi menghalangi, aku memukuli bahkan mencubit pahanya.
"Lebih baik, Paman bertanya pada Alex saja!"
Sialan! Dalih yang dia ucapkan semakin mempertegas kepanikanku. Sungguh, aku sudah mulai goyah.
"Hmm? Alex? Kamu mau pergi ke mana, sampai-sampai Tony ketawa gitu?"
Ibu yang mengintip mulai menebak kalau ini pasti tentang Sophie. Dan kemungkinan terbesar soal dia yang mengatakan tentang film.
"Aku mau nonton ... film dengan ...," sulit bagiku melanjutkan.
"Dengan ...?" ayah sudah mulai curiga. Sebab, ia mendengarnya juga kala itu.
Tony semakin tertawa dan menimbulkan ketidaknyamanan dalam batin.
"Diam dulu!" tegurku dengan begitu kesal. Tiba-tiba ...
"Nonton film sama Sophie?"
Dugaan ayah membuatku diam tanpa seribu bahasa. Di sisi lain, Tony mulai menggodaku sambil berdeham. Ibu tersenyum bahagia, dan ayah juga bersikap yang sama. Saking hebohnya, ibu berlari secepat mungkin ke arah meja. Tapi aku, tidak perlu ditanya! Sudah dapat ditebak bagaimana reaksiku!
"Kamu pergi malam ini, kan? Sama Sophie, kan? Filmnya seputar romantis, kan? Terus kamu jemput dia ke rumahnya, kan?" segudang pertanyaan diberondong ibu padaku. "Nak, kami mengizinkanmu pergi. Sangat-sangat mengizinkanmu!"
"Betul-betul! Kami akan menolongmu dalam mempersiapkan acara nanti. Oh iya, itu di bioskop, kan?"
Setelah itu, ayah dan ibu asyik berdiskusi.
Aku hanya bisa pasrah. Menghadapi pergolakan cinta yang tiada habisnya mengharubirukan hatiku. Mungkinkah ini menjadi sebuah takdir? Atau aku justru jatuh dalam sebuah khayalan?
"Gimana? Senang, dong!" godanya dengan nada rendah.
"Apanya! Makin sulit kusembunyikan mukaku ini!" tampikku.
"Santai aja, belum tentu sebesar itu kan, perasaan malumu nanti?"
"Hah?" aku sampai mengernyit dibuatnya.
"Lagi pula, kau yakin dia juga suka samamu?"
Oh, pertanyaan yang bagus! Saking terlalu percaya diri, aku lupa kalau cinta itu 2 arah.
"Masa kau gede rasa karenanya?"
"Iya, juga sih!" aku tercengang. Selama ini aku terjebak. "Benar juga ternyata. Kok aku kepedean, ya?"
Tampak orang tuaku masih berdebat.
Hany saja, Tony malah balik menggodaku supaya masuk kembali ke kubangan. "Eh, tapi dia senyum terus loh samamu. Mencubit mukamu, mau menolongmu, bahkan sampai pernah dilap air matamu. Ya, kan?"
"Dammit, kau malah mancing-mancing lagi!" tegurku.
"Bisa jadi loh dia juga suka samamu."
Sungguh! Semua yang ada di hadapanku benar-benar menjengkelkan. Karena tidak tahan, aku terpaksa masuk ke kamar. Begitu malu! Sungguh malu!
Baik orang tuaku dan Tony hanya mampu tertawa. Setelahnya, wajah mereka kembali tenang dan mulai memikirkan tentang bagaimana hal itu bisa terjadi.
"Tony, terima kasih udah memperkenalkan perempuan ini!" tutur ayah berterima kasih.
"Jika aku boleh jujur, aku sangat lelah Paman. Lelah menyembuhkan kepahitan di hatinya." Ungkap Tony terang-terangan.
"Sulit memang menghadapi kasus seperti ini. Parahnya, dia sudah menghindari perempuan selama bertahun-tahun!" timpal ibuku.
"Maaf merepotkanmu, Tony!"
"Paman, apa yang Anda lakukan jauh lebih besar dari pada yang telah aku terima. Bahkan status serta kondisiku saat ini sungguh berharga bagiku. Anggaplah ini sebagai bentuk balas budi, serta bentuk pengabdianku untuk Paman dan Bibi yang menerimaku apa adanya."
Ibu mengelus pundak ayah. Kisah yang begitu dramatis. Itulah kesimpulan yang terdapat dalam pikiran mereka. Ketika sebuah trauma dapat dikalahkan oleh kasih, telah menjadikan sebuah kisah inspiratif yang bisa saja menolong orang lain. Mereka yakin, apa yang kualami kini bukan saja memulihkan statusku kepada yang semula, tetapi juga akan menjadi obat bagi beberapa orang dengan kasus sepertiku.
****
Sementara itu, Sophie sedang duduk makan bersama ibunya. Dia asyik menikmati makanan siang yang ada sembari menyusun rencana agar masuk ke Harvard University. Peluang tentu ada ketika hasratnya untuk menjadi mahasiswi Kedokteran di salah satu universitas terbaik di Amerika meski tekanan dan ujiannya begitu berat. Namun, keyakinannya begitu tinggi sehingga dia tidak gentar demi menyembuhkan ayahnya. Sang ibu memerhatikan dengan saksama wajah Sophie yang terlihat serius, dan mencoba untuk mengobrol dengannya.
“Makanannya enak, Sophie?” tanya sang ibu dengan lembut.
Ia tercengang. Setelah pertikaian tiada henti, untuk kali ini suara ibunya begitu lembut terdengar. Tapi karena terasa sedikit emosi negatif, Sophie berpikiran kalau ibunya pasti menginginkan sesuatu. “Enak.” Jawab Sophie datar.