Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #9

Pelangi Sehabis Hujan

Dalam suatu hari yang begitu membahagiakan, Smith menyusuri jalanan yang dipadati oleh banyaknya pejalan kaki. Meski tanpa Bell di sampingnya, ia tetap merasa aman dan tenang menikmati indahnya mentari sore hari. Hingga tampaklah di sebelah kanannya, cahaya oranye menyinari wajahnya. Terpukau, terpana, terpesona, keindahan cahaya sunset itu membuatnya tak bisa melangkahkan kaki tanpa memotretnya.

Satu jepretan, tapi masih kurang maksimal. Kedua kalinya, namun masih kurang untuknya. Hingga foto ketiga membuatnya merasa senang. Foto itu pun dia pasang di layar ponselnya.

Tiba-tiba ....

"S-Smith?"

Sapaan wanita dari belakangnya membuat Smith tersentak. Perlahan wajahnya memaling ke arah sumber suara, dan mendapati ibunya sedang membawa sebuah bingkisan.

"Ka-kamu masih main ke sini?"

Ungkapan ibunya membuat kenangan di masa lalu terproyeksikan kembali. Ketika dia masih kecil, ibunya sering membawanya menikmati keindahan sunset tersebut. Mereka tertawa bersama, bernyanyi bersama, bermain bersama, dan dalam memori itu ayahnya juga ikut. Tapi semuanya menjadi kenangan pahit baginya kini, terlebih ketika ibunya hadir.

"Ehm ..., kamu mau duduk di sana?" ajak ibunya. Tempat duduk yang ia tuju adalah tempat biasa mereka bermain dulu.

Bukannya mencoba melunak, ia justru mencurigainya. "Kau memata-mataiku? Makanya kau tahu aku di sini?"

"Bukan, nak! Semenjak kamu hadir kembali, Ibu jadi ingin pergi ke tempat kita pernah bermain-"

"Cukup!" selanya. "Lupakan kenangan itu! Apa pun yang kau lakukan sekarang takkan bisa memulihkan yang sudah lalu!"

"Smith," dia maju sambil memegang kedua pundaknya, "Ibu hanya ingin mengingatnya kembali, menjadikannya sebuah bingkai foto kenangan dalam hatiku tentangmu!"

"Mengapa kau masih bersikeras dengan ini?"

"Karena Ibu mengasihimu!" ungkapnya. Air mata mulai menetes perlahan demi perlahan.

"Apa itu senjatamu sekarang untuk melunakkanku? Tears?"

"Ibu melihatmu tadi tersenyum bahagia ketika memotret cahaya itu. Begitu indah, bukan? Hangat dan mempesona? Tapi kenapa Ibu berbeda darinya?"

"Karena kau menyerah, tapi dia tidak!" simpulnya. "Dia tak pernah berhenti bersinar, tak pernah berhenti membuat orang bahagia. Namun kau tidak!" sambungnya.

Ibunya terdiam. Kata itu keluar lagi. Tyler dulu pernah mengatakan hal yang sama. Dan kini, suara itu membungkam hatinya.

"Seandainya kau berjuang hingga akhir, aku pasti akan menjadi anak yang paling bahagia di dunia ini. Ibuku adalah orang yang sangat baik, sangat menyayangiku, dan mencintaiku. Tapi maaf, Ibu!" Smith menyingkirkan kedua tangan ibunya. "Kisah ini berakhir di sini. Terima kasih buat semua yang Ibu lakukan untukku. Pesanku hanya satu, tolong jangan paksa dirimu untuk membuka buku yang sudah usang, sementara Ibu telah menulis dilembar yang baru! Saya pamit dulu!" Smith pun meninggalkan ibunya yang kemudian jongkok menangisi kehidupannya dulu. Bingkisan yang ia persiapkan untuknya tak sampai ke tangan, bahkan ke hati Smith. Penyesalan silih berganti datang menghampiri batinnya yang terluka. Dia kini dihadapkan oleh dua pilihan; membuka lembaran lama atau tetap menulis dilembar yang baru!

Malam datang, dan Smith kini berhadapan dengan pintu rumahnya. Bel berbunyi, tapi tak ada respon. Ditekan berkali-kali pun hasilnya tetap sama. Hingga tanpa dia sadari, sesosok pria muncul di balik badannya.

"Aku di sini!"

Smith menoleh dan mendapati ayahnya sedang membawa bingkisan untuknya.

"Ini, untukmu!"

Tangannya terulur menerima bingkisan tersebut.

"Berapa lama kau belajar di perpustakaan?" tanya ayahnya.

"2 jam lebih." Balas Smith lembut. "Dan aku memilih jalan dari pada naik taksi."

"Foto mentari itu membuatmu bahagia?"

Kalimat yang ayahnya ucapkan menyadarkannya bahwa ia ada di sana. "Sedikit! Aku hanya ...."

"Mendekatlah!" pinta ayahnya. "Ayo, kemari!"

Smith menuruti dan berjalan ke arah Tyler. Ia tak tahu apa yang akan terjadi. Entah sebuah tamparan yang masuk, entahkah sebuah pukulan, yang jelas, karena kenangan yang mungkin ia coba ungkit menimbulkan rasa kesal di hati ayahnya.

Smith menutup mata, dan seketika Tyler memeluknya.

"Aku mengasihimu!"

Smith menangis sejadi-jadinya. Ungkapan tulus seorang bapak terhadap anaknya, membuat Smith kehilangan kontrol atas kelenjar air matanya. Namun bukan hanya itu saja, perkataannya tadi terhadap ibunya juga turut menyiksanya. Malahan lebih besar dari apa yang baru saja dia dengar dari ayahnya. Smith hanya tidak mengerti! Ibunya dahulu begitu mencintainya, menyayanginya, mengasihinya, begitu peduli dengannya.

Di suatu momen di masa lalu, ketika dia sakit demam. Kehadiran ibunya begitu terasa. Kasih, kecupan, kalimat penyemangat, dekapan, semua ia peroleh. Pernah dalam suatu waktu, ibunya sampai tidak makan dan mandi hanya untuk memastikan Smith sehat terlebih dahulu.

Momen yang lain, ketika ia terjatuh karena kenakalannya. Bukannya marah atau memukul, ibunya malah tersenyum.

"Nggak apa-apa! Tangan kamu memang terluka, mari biar Ibu obati!"

"Ibu, Smith minta maaf!" ujarnya.

Tangan yang lembut itu membelai kepalanya. "Anak Ibu memang hebat!" pujinya. "Kalau bermain, harus hati-hati, ya?"

Smith pun mengangguk.

Ia kembali kepada kesadarannya. Masih tidak habis pikir dengan apa yang sudah terjadi. Kehilangan seorang ibu membuat Smith sangat terpukul. Hingga ia tak tahu harus melampiaskan pada siapa semua kemarahan itu.

Tyler mengusap air mata Smith, lalu mulai menceritakan apa yang ia alami tak lama ini.

"Aku menemui Ibumu, Smith! Setelah kau pergi meninggalkannya!"

Ia hanya diam. Perasaan bersalah dan keengganan untuk merendahkan hati sedang menuduhnya saat ini.

"Dengar aku baik-baik! Aku dan Ibumu tidak saling membenci. Yang tak kusuka adalah situasi yang membuat kita terpisah. Tapi hati kami selalu ada untukmu! Terimalah dia kembali, Smith! Aku nggak memintamu untuk memaksanya kembali kepada keluarga kita, tetapi cintailah dia sama seperti dia mencintaimu! Bingkisan itu, dia persiapkan hanya untukmu. Sebuah rahasia antara kau dan dia, ada dalam bingkisan itu!"

Dalam kamarnya, ia hanya duduk termenung. Rahasia yang hanya ia dan ibunya saja yang tahu. Smith masih mengingat hal itu, namun belum mengerti apa makna yang sesungguhnya. Hanya sebuah perjalanan wisata yang menyenangkan, dan sesungguhnya ia benar-benar menikmati itu.

Pada akhirnya, Smith pun membuka bingkisan itu lalu menemukan 5 lembar foto ia dan ibunya. Seperti yang muncul dalam pikirannya, ke-5 foto itu adalah 5 tempat wisata yang berkesan baginya. Pemandangan sunset di Florida, Sungai Mississippi, ladang jagung di Iowa, bioma Taiga di Idaho, serta Houston Museum of Natural Science. Kadang senyuman terpancar dari wajahnya karena foto tersebut.

Fokusnya berpindah kemudian kala ada secarik kertas putih yang terbungkus bersama foto tadi. Ia membukanya, lalu membaca isi tulisan tersebut. Tulisan tangan ibunya pun mulai menceritakan bahwa ada makna di balik ke-5 foto itu.

Yang pertama, foto sunset di Florida menggambarkan kebahagiaan. Dengan mengambil abjad huruf S, ibunya berpesan biarlah Smith menjadi orang yang penuh dengan kebahagiaan dan memancarkan kebahagiaan seperti cahaya mentari sore di pantai Florida.

Foto kedua ialah Sungai Mississippi. Abjad yang diambil adalah M, dengan pesan agar Smith menghadirkan peace atau kedamaian di antara lingkungannya. Tak lupa juga, agar kedamaian tersebut bisa bersemayam dalam jiwa sehingga kehidupan menjadi jauh lebih bermakna.

Ladang jagung di Iowa merupakan foto diurutan ketiga. Mengambil abjad I pada Iowa, pelajaran yang disampaikan ibunya adalah kerendahan hati. Banyak orang menilai bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang kurang diindahkan. Tapi kenyataannya, tanpa petani hampir semua manusia tak mungkin bisa makan.

Menilai rendah sesuatu tanpa memikirkan sisi lain di baliknya adalah sikap tinggi hati. Terkadang hal yang dianggap sederhana justru merupakan bagian penting dalam kehidupan. Ibunya ingin Smith memiliki sikap rendah hati, karena sikap rendah hati mendatangkan sukacita dan pujian.

Nomor empat ditempati oleh bioma Taiga di Idaho. Hutan hijau yang diisi oleh satu spesies pohon dengan jenis konifer seperti pinus dan cemara, mengajarkan kepada Smith tentang Unity. Ibunya ingin Smith punya sense of unity, hidup dalam suatu kesepahaman, kesatuan, tidak membeda-bedakan satu dan yang lain, karena pada dasarnya manusia adalah sama. Hanya karena berbeda dari sudut pandang perekonomian, lifestyle, maupun penampilan, tidak menjadikan manusia yang satu berbeda dengan yang lain. Ia ingin Smith memperlakukan semua orang setara. Huruf abjad yang diambil adalah T.

Dan terakhir, Houston Museum of Natural Science. Museum yang berisi tentang astronomi, geologi, paleontologi, serta budaya-budaya Amerika mengajarkan Smith untuk tetap bersyukur. Semua yang terekam di sana menunjukkan betapa kayanya bumi ini dengan segala yang ada. Rekaman di masa lalu tentang keindahan dinosaurus, konstruksi bumi yang tersusun cukup akurat dalam pemahaman geologi, bagaimana kinerja ruang angkasa dalam menciptakan keseimbangan di ruang hampa, menceritakan kalau bumi dan luar angkasa ini spesial. Dan termasuk manusia yang di dalamnya adalah spesial. Dengan pemahaman tersebut, ibunya berharap agar Smith menjadi pribadi yang tidak gampang kecewa akan hidupnya. Tapi belajar mensyukuri sebab dia adalah ciptaan yang spesial. Huruf terakhir yang diambil adalah H.

Ketika masing-masing digabungkan, Smith terpukau akan susunannya.

S-M-I-T-H.

Jadi selama ini, ibunya telah merencanakan ini sebelum mereka berpisah. Dan ini merupakan bentuk penyesalan ibunya yang tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun ketika pergi. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, ia mendapatkan apa yang sesungguhnya patut dia terima.

Ia pun membaringkan badannya di atas kasur. Memandangi langit-langit rumah, sementara cahaya rembulan masuk dan menemani waktu tidurnya. Tak ada respon yang ia tunjukkan. Hanya diam, membisu, tak ada satu kesimpulan pun yang dapat ia tentukan. Yang jelas, ia hanya ingin tidur dan memikirkan hal itu nanti.

****

Setelah melewati masa-masa yang sukar dan juga senang, Sophie kembali kepada latihan yang sudah menunggu. Perlombaan tinggal menunggu waktu, namun persiapan semakin mepet. Mau tidak mau, Sophie bekerja keras untuk meraih penghargaan. Ini juga akan menjadi akhir dari perjuangannya selama ini yang telah dia pertahankan begitu lama. 

Ada rasa sedih terlebih sakit di hati karena pilihannya untuk masa depan bukanlah dari hobi yang ia tekuni bertahun-tahun. Situasi memaksa dia untuk berubah haluan menjadi sesuatu yang sangat sulit ia jalani sebagai pelajar. Tetapi dia mencoba untuk tetap berusaha, karena kesehatan ayahnya adalah prioritas nomor satu untuk saat ini.

Ia betul-betul merancang semua jadwalnya setiap hari, hampir persis seperti yang kumiliki agar semuanya terkendali. Sophie berekspektasi tinggi dalam perlombaan kali ini yang tampak dari waktu latihannya yang cukup lama dibandingkan sebelumnya. 

Akhir tak bahagia dengan pulang tanpa juara 1 bukanlah keinginannya. Semua yang ia pelajari selama ini dipertaruhkan di hari-hari mendatang. Satu pemikiran penting, semua yang ia pernah ketahui dianggapnya nol, sehingga ia bisa memulai dari awal dan detail-detail yang terlewat dapat dia mengerti sekarang.

Hari ini pukul 05.00 PM, saat-saat di mana aku berjuang ekstra keras demi satu kursi di Harvard atau pun MIT. Di dalam pikiran, saingan terberatku mungkin sedang menyendiri di kamarnya bersama paman, atau justru mungkin paman sedang pergi bekerja sehingga meninggalkan Smith sendirian belajar di perpustakaan. Tentu di satu sisi itu adalah hal yang baik agar dia mampu untuk fokus. Tapi, dukungan dari orang tua adalah salah satu resep utama untuk mencapai kesuksesan. Bagaimanapun, kuyakin dia tetap akan bekerja keras baik saat paman ada maupun tidak ada.

Hanya saja, pikiranku tentang semangat Smith ternodai dengan potongan cerita antara aku dan Sophie. Dahulu, aku bisa fokus berjam-jam dalam belajar. Kini, 2 jam saja sudah batas maksimalku karena dia. Aku pun menyadari bahwa ini adalah efek samping dari jatuh cinta. Jika dilihat sisi positif maupun negatifnya, itu bergantung pada perspektif orang.

 Cinta baik, namun jika berlebihan yang ditakutkan adalah ketika jatuh. Rasa sakitnya sangat dalam bahkan mampu mencabut nyawa seseorang. Untukku secara pribadi, dalam waktu-waktu ini cinta rasanya seperti sesuatu yang 50:50. Aku baru saja menikmatinya setelah dikekang oleh masa lalu dan gambar diri yang rusak.

Ia dulu pernah berkata kalau kolam renang tempatnya berlatih tidak jauh dari rumah. Hal itu membuatku penasaran, apakah di hari Kamis ini dia datang berlatih atau belajar keras demi menggapai masa depannya? Di dalam hati, aku berkata kalau mungkin meluangkan waktu untuk melihatnya berlatih tidaklah salah. Entah mengapa, ada sebuah keyakinan timbul kalau ia akan berada di sana. 

Jika aku mendapatkan inspirasi agar belajar lebih giat lagi dengan motivasi yang benar, kurasa aku takkan merugi dengan waktu. Kuputuskan kemudian kalau niatanku melihatnya berlatih adalah satu hal yang perlu diselesaikan hari ini. Ibu mengizinkanku pergi dengan catatan tidak terlambat untuk makan malam. Thank you, mom! 

Ada sebuah sepeda hitam di garasi rumah yang belakangan jarang kupakai. Dengan menggunakan kain lap yang tergantung di paku, debu-debu dan kotoran yang menempel kubersihkan dari sepeda tersebut. Aku mencoba untuk mengayuh pedal sepeda itu dengan tanganku demi melihat apakah chainwheel-nya masih berfungsi dengan baik atau sudah berkarat. Dengan sedikit tambahan oli, akhirnya roda gigi tersebut sudah lebih lancar berputar dibandingkan yang sebelumnya. Aku berangkat setelah itu menuju kolam renang yang ia sebutkan sebelumnya.

Setelah beberapa saat, dengan bertanya kepada beberapa orang yang berada di blok tersebut, aku pun berhasil menemukan kolam renang yang kucari-cari. Aku hanya heran, bahwa kolam sebagus ini tak pernah terdengar ke telingaku. Tampak depannya sudah cukup membuat orang tertarik berlatih di sana. Aku memerhatikan semua detail-detail yang ada di kolam tersebut, hingga sekilas aku melihat seseorang sedang berlatih di sana. Dia berenang cukup jauh dari satu titik ke titik yang lain, dan aku mencoba mengkalkulasi seberapa tahan napasnya untuk menjangkau jarak tersebut.

Terselip di tasku sebuah catatan yang bisa kupakai untuk mengukur ketahanan orang itu, hingga tanpa sadar kalau dia sudah berada cukup dekat untuk melihatku. Ketika aku mencoba melihatnya lagi demi mendapatkan informasi waktu yang dibutuhkannya meraih titik tersebut, ternyata aku sudah diperhatikannya. Dengan refleks aku menyembunyikan diriku berharap kalau dia melihat ke arah yang lain.

“Nggak usah sembunyi!” seru orang itu. "Aku udah lihat, kok!"

Aku masih menyembunyikan diriku. Kurasa dia sedang berbicara dengan orang lain yang mungkin juga bersembunyi di tempat lain.

“Alex Stevenson, nggak perlu malu,” bujuk orang itu dengan senyuman. 

Setelah kedua kalinya dia memintaku untuk keluar, aku menyadari kalau dia adalah Sophie. Aku perlahan-lahan menunjukkan batang hidungku. Ia masih berada di dalam kolam ketika aku memanggilnya dan aku perlahan-lahan mendekat untuk melihatnya dengan jelas. 

“Dengan catatan itu, aku bertanya-tanya apa yang sedang kamu tulis atau hitung di situ?” tanya Sophie keheranan.

“Y-yah! A-aku cuman ngitung seberapa tahan napasmu dari titik awal ke titik akhir,” jawabku padanya. 

Mendengar itu, dia hanya bisa tertawa menganggapku sebagai orang yang terlalu rajin. Saking rajinnya, sesuatu yang bersifat tidak perlu seperti ini sampai harus kuhitung. Aku jadi malu sendiri ketika mengakuinya. Ya, mungkin aku terlalu rajin untuk menghitung hal ini. Tapi tak mengapa, mungkin saja ini akan berguna nantinya di masa yang akan datang. Ketika aku mengatakan itu, dia hanya menggelengkan kepalanya. Setelah beberapa saat, aku memintanya untuk melanjutkan lagi latihan yang sedang dia jalani.

Aku tidak memercayai apa yang dilihat mataku kala dia berenang sangat indah bak seekor ikan lumba-lumba di laut. Lekukan tubuhnya yang naik turun permukaan air sangat menyegarkan mata. Dia juga sangat cepat, hingga aku yang terpana dengan keindahan gerakannya tidak menyadari kalau dia sudah berada di titik semula. Ia memandangiku yang bengong sedari tadi. Akhirnya, dia menyipratkan air kolam itu hingga kesadaranku kembali.

“Bangun, ini masih sore!”

"Ah, ahahaha!” aku tertawa karena kesalahanku sendiri. “Kamu sungguh … bagus tadi,” aku pun menirukan gerakan ikan lumba-lumba dengan tanganku sebagai gambaran, “gerakannya.”

“Gerakan tadi namanya gaya kupu-kupu,” jelas Sophie. "Dengan tambahan dolphin kick trick."

Aku pun mengerti setelah selama ini aku sangat jarang berenang. Yang kutahu hanyalah gaya batu, di mana kau melompat tinggi ke udara dan turun seperti meteor ke dalam kolam. Ilmu yang kupelajari dulu kini dapat kulihat aplikasinya. Dia lalu naik ke atas dan mengajakku untuk duduk di kursi yang tak jauh dari tangga kolam. Ia mengeringkan tubuhnya dengan handuk, dan di situlah aku menyadari kalau dia sangat mengesankan. Sophie begitu indah dan cantik. Hanya itu yang kupikirkan. Mengapa ada wanita secantik ini yang ada di dekatku, terlebih peduli denganku?

Dengan sedikit rasa kesal di hati, Sophie mencubit mukaku. Aku memintanya untuk berhenti melakukan itu karena rasa sakit yang ia timbulkan begitu menyiksa.

Lihat selengkapnya