Perayaan kelulusan kami semakin dekat, sekitar 6 hari lagi dari sekarang. Aku mempersiapkan diri untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi yang tak lain adalah universitas. Dari yang 3 jam sehari, belakangan aku meningkatkan jam belajarku menjadi 4 jam sehari di malam hari. Tentu, aku tidak ingin gagal dalam mewujudkan impianku, jadi aku berusaha semaksimal mungkin. Siang ke sore hari memang ada kalanya diisi dengan membaca koran, dan kadang menonton TV. Tapi malamnya, aku benar-benar fokus belajar.
Sophie mengikuti cara belajarku, di mana dia memfokuskan diri berada di kamar dan menghabiskan 5 jam lebih untuk belajar. Dia berusaha ekstra keras, menyadari kalau membidik jurusan Kedokteran Harvard University bukan perkara mudah. Kedua orang tuanya mengamati selama ini, bahwa Sophie berubah sejak dia belajar bersamaku.
Terdapat 2 kondisi hati yang berbeda di antara orangtuanya. Ibu Sophie di satu sisi tentu senang dengan pilihan dia saat ini, namun juga terdapat rasa bersalah yang menghantuinya karena sang suami. Di pihak sang ayah, kekhawatiran semakin menjadi-jadi, karena takut ia akan menjadi terlalu ambisius dan akhirnya menghancurkan diri sendiri. Pusatnya karena penyakit yang dia derita. Harapannya, semoga Sophie mengutamakan dirinya terlebih dahulu dibanding orang lain.
Kathy saat ini sedang membaca buku. Entah apa yang menghambatnya saat ini, sebab dia sering sekali melarikan diri bila ayahnya sudah pulang. Rumah besar dan mewah mereka sama sekali tak membuat dia betah. Hanya untuk saat ini saja, sulit baginya melangkahkan kaki keluar.
Dengan kamar yang terkunci rapat dan berada di lantai atas, ia bebas melakukan apa saja yang ia mau. Termasuk menelepon teman gengnya hanya sekadar melampiaskan amarah. Kali ini, Helen menjadi sasarannya.
"Woy, ngapain kau?" sapanya melalui sambungan telepon.
"Main laptop. Lihat-lihat informasi soal jurusan yang mau kutuju." Balas Helen.
"Udah dapat?"
"Ini lagi nyari universitas yang pas. Kau gimana?"
"Bingung aku," Kathy meremas jidatnya.
"Kenapa?" Helen mulai bosan dengan apa yang bakal dia katakan. Seolah-olah, Helen tahu ke mana arah pembicaraannya. "Masalah itu lagi?"
"Yang mana?" Kathy balik bertanya. Ia justru mengernyit.
"Ya, itu!" Helen mencoba membawa Kathy masuk ke dalam pikirannya. Karena sesungguhnya ia sudah malas mengatakan itu berkali-kali.
"Bukan itu, goblok!"
"Lah, terus apa?"
Akhirnya, ia mau berkata jujur. "Masalah kelulusan nanti!"
"Bapakmu yang nemenin atau bukan? Itu?" tebaknya.
Ia berdecak kesal. Sebelumnya, Jim menyarankan agar Will Jensen mau menghadiri upacara kelulusan Kathy. Ketika sampai ke telinganya berita itu, semua kata-kata makian keluar dari mulutnya. Sungguh, bahkan Jim sendiri menjadi sasaran kebencian Kathy. Tak ada muncul sebuah keinginan supaya sang ayah mau menemani event akbar tersebut. Tidak sedikit pun! Kebenciannya membuat Kathy menolak ayahnya untuk hadir. Prasangka buruk tumbuh subur bak rumput di ladang. Hal ini tidak terlepas dari ia yang langsung pergi tanpa mendengarkan secara tuntas berita itu.
Helen langsung memberikan sebuah nasihat bagi sahabatnya tersebut. "Nggak usah terlalu kau pikirkan kali! Makin stres kau nanti!"
"Gimana nggak kepikiran? Si berengsek bajingan itu bakal hadir nanti, apa nggak bakalan berantam kami?" tanyanya penuh kekhawatiran.
"Terus gimana menurutmu?" Helen mengajukan pertanyaan untuk mengajaknya berpikir. "Apa yang akan kau lakukan?"
"Ah, nggak tahu aku!"
"Yaudah kalo gitu. Kalo nggak tahu kenapa maksa?"
"Ah, bajingan! Jadi malas aku gara-gara kau!" tuduhnya.
"Malas ngapain?"
"Memikirkannya!" balasnya singkat.
"Oh, baguslah! Fokuslah kau nyari jurusan untuk kuliahmu nanti." Pesannya.
Percakapan mereka berakhir kemudian.
****
Keesokan paginya, seluruh siswa berangkat ke sekolah untuk mempersiapkan aula tempat acara kelulusan kami digelar, termasuk aku. Aula tersebut, menjadi saksi bagaimana kami pertama kali masuk St. Jacob’s High School, dan kini kelulusan kami akan terekam dalam memori aula itu. Aku duduk di kursi sembari membaca buku pelajaran. Smith datang dan menepuk pundakku. Kami bercengkrama tentang berbagai hal termasuk aku yang berubah secara drastis dalam hal membangun relasi.
Smith senang melihat aku yang mulai mau bergaul dengan perempuan yang ada di kelas, tetapi itu juga sedikit menyinggungnya karena dia dan yang lain jarang kuajak bergaul. Hal itu membuatku sadar, bahwa selama ini aku asyik dengan yang lain, sementara teman dan sahabatku tidak mendapatkan menit yang cukup dalam bersosialisasi.
Untuk pernyataan tersebut, aku meminta maaf padanya; namun, aku memang tidak bisa menahan lagi untuk tidak bergaul dengan perempuan. Mendengar itu, ia justru meminta maaf dan menganggap kalimat sebelumnya adalah candaan. Baginya kini, melihatku tumbuh menjadi pria sejati sudah cukup membuatnya senang.
Matthew datang dan berdiri di depan pintu kelas sambil memandang ke sekitar. Pria yang lebih tinggi dari aku, berkulit gelap, dan sangat menggemari rap. Jika aku bisa menebak, dia bercita-cita menjadi seorang rapper. Namun aku masih sedikit ragu karena rap-nya sama sekali tidak menarik.
Here it comes! Dia beraksi sambil menari-nari di depan. Banyak orang yang tidak menyukai rap-nya, termasuk aku; tapi dia tidak peduli dan malah semakin bersemangat. Dia berjalan dan berjalan hingga akhirnya Smith menyapanya. Di dalam pikiranku, Smith sengaja melakukannya agar dia berhenti bernyanyi. Nice idea, man!
“Kan udah kubilang jangan sebut nama itu lagi!” matanya bergerak perlahan menatap kami, bersama dengan nada datar yang keluar dari mulutnya. Dia berusaha bersikap untuk tampil stay cool. "Kurasa aku nggak perlu mengatakannya berulang-ulang sampai telinga kalian mampet."
"Something wrong with that?"
"I'm sure we don't make any mistakes!" aku juga turut menimpali.
Herannya, dia malah semakin mendekat dengan menampilkan a death stare. "Yes, you are!" dengan suara yang dalam serta dingin Matthew meresponi apa yang kami katakan tadi. "You're mocking me!"
“O-okay. You're right! Sorry, then!”
“Never do that again, or ....” Matthew memandang kami tanpa memberikan penjelasan pasti tentang apa yang akan dia lakukan.
"What? You're gonna kill us?"
"Put you in lyrics and sing it out loud to the air!" setelah berkata demikian, ia tertawa terbahak-bahak.
Dia membayangkan tangan kanannya memegang mic dan tangan kiri maju mundur seperti menggesek piringan DJ. Tubuhnya bergerak ke kiri ke kanan, menari mengikuti tempo musik yang beralun di pikirannya. Kami memandang dia yang sangat bersemangat sekali melakukan hal itu. Dalam hatiku, mungkin sedikit menjengkelkan merupakan kata yang tepat untuknya.
“Alright, Matt!” sindirku sambil menirukan gayanya.
"Cool! See y'all later!"
Dia duduk kemudian di kursinya, dan aku senang dia tidak melakukannya lagi. Akan menjadi problem besar bila hal itu dilanjutkan.
"Awh, screw you!" umpatku dengan berbisik-bisik. Hanya perkara belajar saja aku masih mentoleransi tingkah lakunya. Sungguh, di luar itu, dia benar-benar menyebalkan.
Smith tiba-tiba menepuk pundakku tanpa alasan yang jelas. "Mau ke mana?"
Hal itu mengejutkanku, sebab pikiranku masih berkutat pada dia yang membuatku kesal hari ini. Smith kemudian berinisiatif mengulangi pertanyaannya, berhubung pendengaranku masih terdistraksi oleh seeorang Matthew. Herannya, aku justru semakin bingung dan terpaksa harus bertanya balik. "Apa? Ke mana apa?"
"Owh, come on, man! Masak nggak tau?"
"Yah, emang gak tahu." Aku dengan sedikit kesal menjawab pertanyaannya. Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan! Sebuah percakapan yang sangat aneh.
"Itu, lho. Jurusan, jurusan. Kau mau ke universitas mana dan jurusannya apa?"
"Ha-ah, bilang dong!" akhirnya, maksudnya selama ini terungkap juga setelah melalui rintangan dan jebakan yang menyesatkan. "Geologi. Cuman univ-nya masih belum clear. Pusing nentuinnya. Antara MIT atau Harvardlah pokoknya!" balasku dengan penuh kebimbangan.
"Weh, kok sama?" Smith terkejut mendengar rencanaku berikutnya. "Kau tahu," dia kemudian mendekat sambil merangkul pundakku, "aku juga bingung antara MIT atau Harvard."
"Damn, you make it worse!" pernyataan itu membuatku semakin bertambah bingung.
"Masih ada waktu. Nggak perlu terburu-buru!"
"Huh, well, that's true!"
Kami cukup beruntung karena 2 universitas tersebut berada di kota Boston, Massachusetts sehingga kami tidak perlu pindah ke negara bagian lain. Aku berpikir pula andai kami nanti bergabung di satu universitas yang sama, persaingan kami akan bertambah 4 tahun atau bahkan lebih. Tapi tak mengapa! Kehadirannya akan membuatku semakin bersemangat untuk belajar dan meraih cita-cita yang kuharapkan.
Dari arah pintu kelas, the Girl gang datang dengan membawa suara yang merusak gendang telinga; seperti bunyi marching band dan telingamu tepat sejengkal di dekatnya. Mereka tertawa terbahak-bahak, seakan-akan dunia ini adalah milik mereka semata. Aku mendengar dengan jelas pembicaraan mereka, tentang ke mana mereka melanjutkan studi selanjutnya. Kathy dengan lantang berkata kalau ia mengambil jurusan Ilmu Alam. Yang lain tidak terlalu heran dengan pilihan Kathy, sebab mereka melihat potensinya yang cocok menjadi saintis; cerdas, rajin, dan juga kritis.
Tetapi itu hanyalah permulaan. Ketika Kathy mulai menyatakan yang sesungguhnya, hal itu justru menimbulkan rasa heran dan penasaran. Kathy menyebutkan kalau ia memilih banting setir dari Fisika ke Kimia. Mereka bertiga terkejut mendengar pernyataannya, sebab mereka berpikir kalau Kathy akan mengambil jurusan Fisika. Ia sangat menyukai jurusan tersebut, dan aku mengakui kalau ia memang salah satu pesaingku untuk bidang ini selain Smith.
Rasa penasaran membuat mereka mempertanyakan alasan mendasar Kathy mau merelakan pilihan yang secara matematis sudah berada dalam genggaman, dan malah memilih jurusan Kimia yang belum tentu bisa diraih. Ia beralasan ingin mencoba tantangan baru, apakah akan semenarik Fisika atau malah lebih sulit.
Helen hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya mendengar alasan Kathy. "You know, bercanda juga ada batasnya."
"Kau pikir aku ngelantur apa?" kekesalannya sedikit mencuat keluar. "Enak aja bilang-bilang bercanda!"
Ketika Helen ingin kembali mengungkapkan pendapatnya, Bell langsung memegang pundaknya yang secara tidak langsung memintanya untuk tidak memperpanjang perkara. "Biarin aja, itu pilihannya yang kuyakini telah dipertimbangkan matang-matang."
Kathy bukan hanya tersenyum, tetapi juga mengerlingkan matanya membalas apa yang disampaikan Bell. "Love you, Bell!"
Bell mengungkapkan kalau ia ingin mengambil jurusan Biokimia, karena menurutnya itu adalah jurusan yang menarik. Ia mengakui kalau Biologi dan Kimia adalah 2 mata pelajaran favoritnya di sekolah. Dalam beberapa bulan yang lalu, ia bingung memilih antara salah satu yang harus ia perjuangkan nanti di bangku perkuliahan. Setelah berkonsultasi dengan kedua orang tuanya, ia akhirnya memutuskan untuk menggabungkan keduanya di dalam jurusan Biokimia. Ia juga sudah memutuskan untuk berjuang masuk ke Harvard University, sama halnya dengan Kathy.
Kathy bertanya kepada Helen tujuannya selanjutnya. Ia mengungkapkan kalau Arsitektur adalah pilihan yang paling masuk akal baginya. Mungkin untuk sesuatu yang lebih modern dan cakupannya luas, Planologi adalah pilihan kedua yang cukup sesuai dengan kemampuan dan bakatnya.
Detik dia selesai menjelaskan semuanya, aku bersepakat dan yakin kalau ia pasti masuk ke jurusan yang ia inginkan. Aku tak memungkiri bagaimana tangan Helen yang sangat mahir dalam menggambar sesuatu. Tetapi jurusan Graphic Desaigner juga bukan pilihan yang buruk untuk dituju. Yah, keputusan tetap pada dia; aku hanya dapat menyarankan dalam hati.
Bell secara spontan meminta Helen agar suatu hari nanti mendesain rumahnya. Ia mengatakan kalau hal itu akan jauh lebih mudah, cepat, dan murah karena mereka berdua sudah saling kenal. Helen dengan mudahnya mengiyakan permintaan Bell tersebut. Dia tidak menyadari kalau Helen pada akhirnya menjebaknya dengan mengatakan harga murah baginya bukanlah harga teman. Namun demikian, rasa senang Helen dijatuhkan oleh Annie dengan nada merendahkan mengatakan agar terlebih dahulu lulus ujian masuknya dulu, baru bisa berbicara biaya.
Perbincangan mereka kali ini cukup menarik dibandingkan yang sebelumnya. Setidaknya, aku mendapatkan gambaran dari teman-temanku tentang ke mana pilihan mereka nanti untuk masa depan. Namun aku tersadar, kalau masih ada satu orang yang belum mengungkapkan ke mana ia akan berlabuh. Annie yang sedari tadi terdiam kemudian disadari oleh Bell bahwa ia belum berbicara. Mereka menebak kalau ia akan bersama-sama dengan mereka berkuliah entah di dalam negeri, maupun di negara bagian lain.
Tebakan mereka semua benar, namun tidak akurat seperti yang dia inginkan. Ia mengaku ingin menjadi seorang pramugari, yang berarti melanjutkan studi di Sekolah Penerbangan. Tidak ada satu pun dari mereka yang percaya akan pengakuan itu. Annie menambahkan lagi kalau ia tidak terlalu menonjol di salah satu bidang Ilmu Alam kecuali Bahasa. Komunikasi mungkin menjadi penopangnya untuk bisa memperjuangkan diri demi satu slot di sekolah yang berbiaya besar tersebut. Baginya, pramugari adalah pekerjaan yang elegan dan sedap dipandang mata.
Kathy yang terkejut dengan pernyataan tersebut, langsung menatap Annie dengan saksama. Atas sampai bawah, Kathy menunjukkan ekspresi yang tidak yakin Annie bakal lulus jadi pramugari. Namun, justru aku melihat Annie cocok dengan profesi tersebut, karena secara fisik dia cukup mumpuni untuk mewujudkannya. Wajahnya juga simetris, sesuai dengan standar mendasar pramugari. Tubuhnya sangat proporsional baik secara tinggi maupun massa tubuh; tidak mengalami kelainan atau pun cacat juga akibat luka berat maupun ringan. Dan yang terutama juga, kemampuan komunikasinya cukup bagus, jadi tidak ada keraguan sedikit pun bagiku untuk melihat dia sukses.
Kedatangan berikutnya ialah Sophie dan Nancy. Mereka saling berbagi cerita indah yang terlihat dari wajah ceria itu. Aku melambai kepada mereka untuk mengajak baik Sophie maupun Nancy, berbagi cerita menarik yang membangun. Karena sudah sering bercengkerama dengan Sophie, seakan-akan aku merasa kalau hanya ada kami berdua di dunia ini, persis seperti kisah mula hadirnya manusia. Nyatanya, itu bagian dari trik Smith dan Nancy untuk menjodohkan kami berdua. Pikiranku yang lumayan logis menyadarkanku bahwa kami berdua sedang dipermainkan.
“Sekali lagi kalo kau buat kayak yang tadi, kupukul kepalamu, Smith!” aku mengancamnya dengan sedikit rasa kesal.
“Hah?” mereka berdua berpura-pura bodoh. Aku paham dengan pasti, melihat bagaimana Smith mengedarkan matanya ke mana saja. Nancy hanya mengernyit, namun sama saja.
“Lho, kok nuduh? Aku diam aja dari tadi.” Smith dengan santainya menampik tuduhanku padanya. Tetapi kerlingan matanya sangat jelas kulihat terhadap Nancy.
“Kan sedari tadi hanya kalian berdua yang bicara.” Nancy menimpali pernyataannya. “Jadi, kami nggak punya kesempatan untuk masuk ke dalam perbincangan.”
Akhirnya permainan anak-anak itu berakhir sendirinya ketika aku mulai membicarakan soal masa depan. Mereka cukup tertarik, dan ini sungguh menjadi kesempatan besar agar bisa memetakan potensi tujuan teman sekelasku. Sebagai pribadi yang pertama mengajukan, Geologi adalah pilihan top dari tier list rancanganku. Smith juga sepakat denganku, bukan hanya perihal jurusan, termasuk juga universitas.
Baik Sophie maupun Nancy tercengang mendengar hal itu. Sukar dipercaya bagi mereka melihat kami yang tidak bosan untuk saling bersaing selama hampir 5 tahun. Smith membeberkan alasan pribadinya mengenai hal tersebut. Sementara itu, aku asyik sendiri menimbang-nimbang kembali pilihan terbaik antara Harvard maupun MIT.
Secara lantang aku pun memutuskan untuk berkuliah di MIT. Memang sangat berat menentukan 1 di antara 2 universitas ini mengingat reputasi mereka. Namun satu keunggulan MIT dari Harvard; ini hanya opini, tetapi MIT rasanya jauh lebih cocok denganku. Dan seperti biasa, Smith pun bersepakat denganku. Jelas sudah kini, rivalitas kami akan berlangsung hingga kurang lebih 9 tahun.
Nancy memuji kami, tetapi wajah cemberut Sophie dikenali dengan sangat baik oleh Smith. Ia pun berkata kalau jarak Harvard ke MIT tidaklah jauh. Dengan sepeda sekalipun ia dapat menjangkaunya dalam belasan menit saja. Ia kembali semringah dan membuatku juga turut senang. Kali ini Sophie yang memberitahukan tujuan selanjutnya yang tak lain menjadi dokter.
Ia memilih jurusan Kedokteran Harvard yang dikenal sangat baik dan mengesankan. Ada sedikit rasa khawatir di hati Smith tatkala tekad itu diungkap olehnya. Namun sebagai orang yang mengasihi Sophie, Smith kutenangkan agar dia percaya pada apa yang selama ini dia perjuangkan. Sophie berterima kasih padaku untuk hal itu.
Tersisa satu orang lagi yang belum menceritakan tentang kisah selanjutnya di dalam catatan perjalanan hidupnya. Smith lalu bertanya kemudian kepada Nancy karena dia belum bercerita apa pun. Dia membuat kami terkejut bahwa dia tidak akan kuliah di Amerika, namun pergi terbang ke Jerman. Keluarganya sudah pindah 1 minggu yang lalu ke kota Munich agar bisa tinggal lagi di kota kelahirannya. Nancy memilih untuk tetap tinggal di North Brookline dengan alasan perayaan kelulusan yang tak bisa dikesampingkan. Kami bersedih hati karena dia akan pergi jauh, namun mustahil kami memaksanya tinggal. Yang terpenting dia tetap bersemangat.
Perbincangan kami berempat rupanya tak luput dari pandangan Kathy.
"Brengsek! Ngapain dia ngajak Sophie ngomong?" Rasa jengkel dan dongkol terhadapku yang tak ingin dia ungkapkan alasannya, merebak bak akar serabut yang menjalar ke mana-mana. Helen, Bell, dan Annie sudah merasa bosan dengan sikap Kathy yang sangat kekanak-kanakkan.
"Kathy, aku udah bosan lihat kamu begitu!" ungkap Annie jujur. "Tapi terpaksa aku harus bertanya sekali lagi. Kamu benci sama Alex karena cemburu dengan Sophie atau nggak? Ini sesuatu yang sederhana atau rumit?"
"JAWAB, sial!" Helen memerintahkan Kathy untuk segera berbicara terus terang. "Atau kau mau aku pake caraku sendiri?" Helen mulai serius mengancamnya.
Kathy justru tidak mendengarkan perintahnya dan melanjutkan semua gerutu yang tiada habis-habisnya.
"KEPARAT!" makinya dengan lantang sambil memukul meja. Semua siswa melihat, tak terkecuali aku dan Sophie.
Helen dengan nekat berinisiatif sendiri menyelesaikan masalah ini sekali untuk selamanya. Semua ini dia lakukan demi Kathy meskipun sering sekali hatinya resah dan disakiti. Bell dan Annie berusaha menahan dia agar tidak melakukan hal tersebut, namun dia sudah terlebih dahulu sampai padaku.
“Alex, ikut aku!” perintahnya ketus. “Masalah kalian berdua harus selesai di depanku SEKARANG JUGA!”
Wajahnya yang kesal membuatku berpikiran yang tidak-tidak. “He-Helen, tunggu dulu!” pintaku untuk menyuruhnya berhenti. "Lepaskan!"
“JANGAN MELAWAN!" dengan tegas Helen membentak sembari menunjuk ke arahku. "Ini demi kebaikan kalian berdua dan kedamaian serta kenyamanan hatiku.”
“Here it comes!” gumam beberapa murid yang melihat kami. "Let's see what's gonna happen!"
Kathy yang sadar akan kedatanganku mencoba untuk pergi dengan rasa jijik seperti memegang sampah organik yang busuk.
"KAU DUDUK SITU! JANGAN COBA LARI KAU!" Helen dengan keras melarang dia untuk pergi meninggalkan kursinya.
"Bell, Annie, tahan dia di situ!"
Bell dan Annie tidak punya pilihan lain kecuali menahan dia dan mendudukkan dia kembali di kursinya. Duduklah kami bertiga, dengan disaksikan oleh beberapa orang yang mengelilingi meja tersebut. Ada yang penasaran sambil menjulurkan lehernya melihat kami, namun tidak kelihatan karena banyak sekali yang menudungi kami.