Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #11

Kesalahan Fatal

Jim menunggu Kathy dengan sabar di dekat mobil. Setelah acara selesai, ia berencana mengajaknya berfoto sebagai kenang-kenangan dari sekolah yang ia duduki. Bagaimanapun juga, hal itu sangat perlu demi apresiasi pribadi. Sempat ada pemikiran tersebut di benaknya, namun ide itu tak tergenapi. Merasa tak berguna sebab tak akan dihargai, mengabadikan kenangan kelulusan dalam sebuah foto adalah sebuah kebodohan. Begitulah Kathy menyimpulkan maksud tersebut seandainya ia mengajukan tawaran itu. Dengan berat hati, Jim mengurungkan niatnya dan lebih memilih apa yang terbaik di mata Kathy.

Ia pun muncul bersama yang lain, dan berlari kencang untuk menemuinya. Bukan menyapa, Kathy malah langsung masuk ke dalam mobil.

"Hey!" panggilnya pada Jim. "Ngapain? Ayo cepat!"

Melihat Kathy yang tergesa-gesa, ia pun bergerak langsung dan pergi meninggalkan parkiran sekolah.

Dalam 5 menit, tercipta keheningan yang membekukan hati. Tak ada kata yang keluar dari mulut masing-masing. Sekalipun nyata di hati sebuah desakan untuk memulai pembicaraan, Jim seperti ditekan untuk tidak berkomunikasi dengannya. Hingga, Kathy pribadi yang memilih untuk bersuara.

"Kita ke kafe, ya?!" cetusnya.

"Buat apa?" Jim merasa heran.

"Udah, nurut aja!" desaknya.

Mereka pun bersama-sama berangkat ke sana.

****

Di tempat lain, Smith dan Bell berduaan di taman yang kerap mereka kunjungi. Duduk sambil memandang ke depan, mencoba menikmati momen-momen yang pernah hilang. Bukannya bermesraan, mereka justru mengheningkan diri masing-masing. Baik Smith dan Bell punya hal yang sangat perlu untuk dipikirkan. Bila dihubungkan, titik puncaknya berakhir pada sebuah pertanyaan: Apa yang akan terjadi dengan hubungan ini?

"Hah, indah, bukan?" puja Smith membungkam keheningan.

"Lebih indah dariku?"

Smith hanya bisa tersenyum mendengar itu. "Haruskah aku jujur?"

Ia menatapnya.

"Yah, semua yang ada di bumi ini indah."

Bell terlihat tak bahagia walau berusaha memaklumi. "Ternyata kamu susah memuji, ya?!"

Smith tak meresponi perkataannya. Ia malah memikirkan hal-hal yang lain. "Kau tahu, kadang aku berpikir tentang akan jadi apa aku ke depan. Cita-cita, harapan, keinginan, kau tahu ..., semuanya cukup membebaniku!" ungkap Smith.

"Lalu?"

"Banyak hal yang sulit terpecahkan, contohnya perkara kuliah. Memang aku memutuskan untuk berjuang bersama Alex, tapi, ... cih, aku nggak yakin ini akan berjalan baik-baik saja." Sambungnya.

"Kamu melihat perananku di sini, atau justru matahari itu?"

Smith pun menatapnya, begitu juga dengan Bell.

"Aku hanya berharap, sungguh berharap, kalo kita akan menemukan bahagia bersama!"

"Berarti aku penting bagimu?" tanya Bell mengonfirmasi.

"Kalo nggak, mungkin aku hanya sendiri saja bersama matahari ini."

Bell lalu tersenyum, kemudian dia mengarahkan pandangannya pada matahari tersebut. "Kita harus menghadapinya bersama-sama! Masa depan, hubungan kita, bahkan banyak hal dalam hidup, harus kita lalui bersama!" ajaknya pada Smith.

Hatinya tersentuh. Pelan-pelan, ia menggerakkan tangan menggunakan jari-jarinya, lalu memegang tangan Bell. Ia terkejut dan balik menatap Smith. Wajahnya terharu, melihat Smith sepertinya bisa menaklukkan identitasnya yang tercoreng.

"Bisa nggak, kau memegang tanganku seperti ini ketika aku down?" pintanya.

Bell menggenggam erat tangan Smith, lalu kembali melemparkan senyuman. "Nggak perlu takut! Aku ada untukmu!" ujarnya dengan lembut menenangkan Smith.

Di saat senyuman saling bersahut-sahutan, ibunya datang menghampiri mereka.

"S-Smith?"

Sapaan itu mengejutkan mereka berdua. Bell berbalik menatap beliau, sementara ia hanya mematung.

"Bibi?" tuturnya tak percaya. "A-Apa yang Bibi lakukan di sini?"

"Oh, ah, cuman ..., Bibi hanya sekadar berjalan-jalan biasa!" bahkan mengucapkan alibinya pun, ia terbata-bata.

"Oh, maaf kalau begitu!"

"Nggak usah minta maaf!"

"Bukan, Bi! Saya merasa tidak enak bila Bibi ada di sini, sementara kami berduaan-"

"Cukup, Bell!"

Spontan Smith berdiri dan menatap ibunya. Dengan teliti dia memperhatikan seluruh perlengkapan yang dikenakan ibunya. Tapi hanya satu yang cukup janggal di matanya. "Di mana anak itu? Kenapa kau nggak membawanya?"

"Ibu tak ingin membawanya!" balas ibunya.

"Bukankah seorang Ibu harus membawa anaknya agar tidak jauh dari jangkauannya? Apakah Anda menjadi sekejam itu-"

"Smith!" sela ibunya. "Ibu ingin bertemu denganmu. Hanya untukmu, bisa kan?" tawar ibunya. "Ibu bisa kan, nak, bertemu denganmu tanpa harus ada sangkut pautnya dengan Dave?"

Bell secara naluriah meminta izin untuk pergi meninggalkan mereka berdua. Bukan pulang ke rumah, hanya menjaga jarak saja.

"Itu tulus? Atau sekadar alibi?" Smith bersikap curiga, hanya untuk mengetahui apa tujuan ibunya.

"Nak, aku adalah Ibumu! Apa wajar menurutmu, jika aku mendatangimu dengan niat yang jahat? Tentu Ibu ingin bertemu denganmu bersama niat yang tulus!"

Mendengar jawaban itu, Smith berhenti bersikap dingin dan curiga terhadapnya. Tapi, bukannya mencoba membiarkan ibunya berbicara, Smith justru mendahuluinya dengan pertanyaan.

"Surat dan foto yang kau berikan lewat Bapak, itu adalah bentuk perpisahan yang tak bisa kau selesaikan? Sehingga kau meninggalkan pesan-pesan sambil mencoba mencocokkannya dengan namaku?"

"Jadi kamu sudah membacanya?"

"Apa gunanya aku bertanya?!"

Triphosa hanya menggelengkan kepala. "Ibu menuliskan itu bukan sebagai ucapan perpisahan. Namun kenang-kenangan dari semua momen-momen manis kita bersama. Ibu mengasihimu nak, dan membawamu berliburan bersama-sama menjadikan Ibu sebagai wanita yang sangat bahagia. Ingat kembali foto itu; bukankah kamu tersenyum?" jelasnya.

"I see!" balasnya datar. "Jadi, apa tujuanmu ke sini?" Smith kembali ke topik yang semula.

"Selamat sudah lulus!" ucap ibunya pada Smith. Di bagian yang lain, Bell tersenyum melihat dan mendengarkan pengakuan itu. Harapnya dalam hati, bahwa Smith belajar untuk bisa menerima kembali ibunya walau tak mungkin memisahkan keluarga baru tersebut.

"Just it?"

"Ah, Ibu tidak tahu apa yang cocok sebagai hadiah untukmu. Karena kesukaanmu adalah melihat pemandangan yang indah, jadi ...," ibunya menyerahkan sebuah buket, boneka beruang cokelat kecil, dan sebuah arloji tangan, "ini mungkin bisa menghiburmu!"

Smith melihat dengan jelas foto mereka berdua semasa ia kecil dulu. Di sebuah perkebunan jagung di Iowa, dan saat itu Smith sungguh bahagia berjalan-jalan sambil menikmati jagung bakar yang sungguh sedap rasanya.

Ibunya mendekat, sementara ia hanya mematung memandangi arloji tersebut. Kedua tangannya menepuk pundak Smith, dan gejolak ingin menyingkirkan itu mencuat dalam batinnya.

"Smith, Ibu bisa menciummu untuk sekali saja?" pinta sang ibu. Perkataannya membuat dia terharu, setelah begitu lama anaknya tersebut lepas dari dekapannya.

Tapi ekspresi Smith jelas sekali terlihat di mata Bell. Ia tidak mau lagi menyambungkan benang yang sudah putus. Dalam hatinya, terdapat sebuah keyakinan kalau Smith pasti menolak itu.

Dengan sebuah ketenangan yang memakan energi dan perasaan, ia berhasil mengangkat sedikit kepalanya, menyingkirkan kedua tangan ibunya dengan lembut, dan berbalik membelakanginya. Penolakan yang ia lakukan memancing respon Triphosa yang rindu sekali menyampaikan bahasa kasihnya lewat sebuah kecupan. Reaksi itu spontan dibalas dengan mengangkat telapak tangannya.

"Tidak!" jawabnya teguh. "Aku hanya akan menerima ini, tapi tidak dengan ciumanmu!"

"Smith-"

"Aku bukan menolakmu karena benci, tapi Anda harus sadar, bahwa keluargamu kini lebih layak menerima itu dibandingkan aku." Terangnya.

"Tapi nak, kamu tetap anakku-"

"Hentikan!" kali ini ia berkata tegas sambil membalikkan kembali badannya. "Jangan persulit situasi ini. Aku nggak mau menambah perih lagi di hati. Yang sudah lalu, biarlah berlalu. Kalau kau mencium keningku, pertimbangkan efek sampingnya. Bukankah kau akan merindukanku lebih dari pada anakmu sendiri?"

Ibunya hanya bisa menangis.

"Inilah fakta yang harus kita terima. Sekalipun secara darah dam daging aku adalah anakmu, tapi hubungan itu sudah berakhir secara hukum. Hormati dan hargailah keluargamu! Itu adalah satu-satunya pilihan terbaik." Simpulnya.

Bell meninggalkan tempatnya dan menemui Smith. Sambil memegang pundaknya, ia menunjukkan kesedihan karena pilihan tersebut. Namun Smith enggan berkomentar tentang itu, dan menegaskan secara teguh bila ia tidak mau terintervensi oleh perasaan batin.

"Aku ingin kembali kepada pertanyaanku tadi. Aku berterima kasih buat pesan-pesan itu. Setelah kupikir-pikir, itu cukup membantu agar aku bisa bertumbuh dewasa. Dan balasan dariku adalah, terima kasih untuk semua yang kau lakukan. Terima kasih buat kasih sayangmu, perhatianmu, masakanmu, kenangan kita bersama, dan juga teladanmu. Aku yang selama ini dibutakan oleh kebencian dan kebodohan, kali ini dibuat mengerti olehmu. Aku ... meminta maaf, atas ... tindakanku yang berlebihan padamu. Harapanku, tetaplah bahagia dengan keluargamu, dan cintailah mereka sama seperti kau mencintaiku."

Smith maju dan akhirnya memeluk ibunya. Dalam pikirannya, ia berharap kalau ini akan menjadi yang terakhir dan kenangan yang dulu biar tergenang tertutupi waktu.

"Terima kasih! Aku mencintaimu, Ibu!" pamitnya. Mereka berdua pun meninggalkan ibunya di sana.

Perjuangannya membuahkan hasil. Bagi Smith, itu adalah akhir yang pantas diselesaikan. Cerita yang dulu menyisakan ruang hampa di mana-mana, dan yang mengisinya justru kepahitan, namun ia lega ending yang ia mau terealisasikan dengan baik. Bell mengusap-usap punggungnya sambil menatapnya penuh perhatian, dan respon Smith hanya tersenyum.

Dari kejauhan, masih di tempat yang sama, ibunya mencoba untuk kembali tenang. Sekalipun ciuman yang ia inginkan tak terjadi, namun mendengar anaknya memanggilnya ibu kembali sudah memulihkan luka lama yang tak kunjung selesai. Walau tinggal dalam keluarga baru, tapi darah dagingnya takkan pernah hilang dari jiwanya. Kenangan itu akan terus mengikuti sampai hembusan napas terakhir. Dan Triphosa berjanji, sepanjang itulah ia akan terus mencintai anaknya tersebut.

****

Malam tiba, Kathy sedang bersiap-siap untuk mengikuti pesta Matthew. Ketika membuka pintu kamarnya, tampak Jim dan ayahnya sedang bercakap-cakap. Karena penasaran, ia perlahan mendekat sampai keberadaannya tak terdeteksi.

"Apa Anda tidak tertarik dengan prestasinya?" tanya Jim prihatin.

"Apa untungnya?" balasnya merendahkan. "Anak sialan itu hanya membangkang kerjanya, melawan, memberontak, untuk apa dipedulikan?"

Kini, hati Kathy perlahan mulai membatu. Tak ada lagi tetesan air mata mendengar pernyataan yang kurang benar tersebut. Hanya ada kebencian, dan kepahitan baik di hati, pikiran serta ekspresi.

"Tapi Pak, dia tetap anak Anda!" belanya lagi.

Kathy tak habis pikir, mengapa Jim bertindak sedemikian rupa hanya supaya dirinya benar-benar mendapatkan kasih yang sesungguhnya?

"Sebelum dia mencium kakiku ini, aku nggak akan menghormati anak itu!" cetusnya tegas. "Orang bodoh, tolol, malas, suka melawan, hanya menjadi batu sandungan bagiku."

"Halah, bacot kau, sial!" balas Kathy setelah merasa sakit di telinganya karena ocehan barusan. "Sadar diri kau, munafik! Ke gereja rajin, tapi berbuat jahat pun rajin! Fuck you!"

"APA KAU BILANG?" ayahnya menjadi sangat murka. "You daughter of the bitch!"

Ia pun melarikan diri dari rumah tanpa mampu dikejar ayahnya. Selang beberapa menit, Helen datang dan membawa ia dan yang lain ke tempat Matthew.

Matthew sudah mempersiapkan pesta dengan baik. Sebagai jaminan kalau pestanya aman, ia sudah mendapatkan izin dari pihak tetangga. Jadi, tidak akan ada kesalahpahaman dengan para tetangga sekitar mengenai pesta yang dibuatnya. Kalaupun ada, maka tanggungannya terletak pada Matthew sendiri. Dengan keyakinan yang teguh, dia yakin kalau pesta yang diadakannya bukan hanya ramai, tetapi aman terkendali. 

Aku sedang memilih dress mana yang cocok untuk bisa berdansa dengan Sophie. Pilihan yang kupilih adalah yang terbaik menurutku; kaus merah ditambah kemeja lengan panjang hitam putih kotak-kotak. Celana jeans hitam sebagai pasangannya, ditambah sepatu sport merek Nike berwarna hitam putih juga. Agar tampil elegan, kemeja ini tidak kukancing seluruhnya dengan lengan kemeja itu kusingsingkan. Rambut duri ini kurapikan agar tidak mengganggu penampilan.

"Aku nggak boleh mengecewakannya hari ini!" tekadku.

Ibu sedang asyik menonton TV ketika aku turun dari tangga.

Hati ibu terheran-heran sesaat melihatku mendekatinya. “Kamu mau ke mana, Alex?” tanyanya. Tetapi setelah berpikir singkat, ibu mulai menggodaku. "Hehhh ...." Ibu kemudian membenturkan bahunya ke arahku. "Apa kamu mau menemui Sophie? Sampaikan salam Mama padanya, ya!"

“Ma ...," aku merespon ibu dengan sedikit kesal, tapi ujungnya malah senyum. "Matthew lagi ngadain pesta kelulusan di rumahnya. Kecil-kecilan, sih!" sambungku. 

"Yah, tapi dia ada, kan?" tanya ibu kembali sambil menggodaku. "Lihat, kamu senyum-senyum, tuh!"

Lihat selengkapnya