Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #15

Berita Tak Terduga

Aku tak menyangka kalau Hannah menyimpan perasaannya terhadapku. Setelah selama ini, entahkah dia memang menyukaiku sehingga novel itu menjadi pembuka jalan baginya, aku agak terkejut dengan itu. Sulit menerima perasaannya sekalipun kami lumayan dekat. Dan bukan hanya dia saja, masih ada orang lain yang juga menaruh rasa.

Hatiku masih tetap kokoh pada porosnya. Sulit mengalihkan ke sisi lain, walau bisa saja itu lebih menarik dan menawan. Wajahnya tentu sedih, tapi hatiku hampir tak menaruh rasa iba. Mekanisme ini berjalan otomatis. Pernah kuperhatikan seorang pria yang ditolak cintanya, atau sebaliknya ia menolak cinta seorang perempuan. Ekspresi mereka menyatakan sebuah keprihatinan, sementara jawaban yang diutarakan adalah tidak. Tapi aku, sama sekali tak berekspresi!

Susah aku menerka isi hati dan pikirannya setelah ini. Apakah dia akan membenciku? Rasa-rasanya ini adalah reaksi alamiah semua manusia. Tidak ada satu pun yang senang ditolak, kecuali mereka memang sedari awal emang menolak. Dihargai dan diterima adalah impian semua orang. Namun pilihan adalah hak masing-masing. Dan aku sudah memilihnya. Yang menjadi persoalan, masih adakah yang kurang?

Hannah hanya bisa menutup mulut, sesekali terisak terhadap kejadian tadi. Sempat ia memandang seorang gadis memakai gaun merah di depan kafe, tapi ia langsung pergi. Hanya karena kesedihan itu ia berhenti berkeinginan untuk mencari tahu.

Merenung di kamar adalah kesempatan terbaik untuk mengistirahatkan perasaan dari luka tadi. Setidaknya itu yang ia pikirkan. Kekesalan tak dapat dihindari, apa lagi bila dibandingkan dengan semua perjalanan yang telah ditempuh. Hanya terkadang ia berpikir bahwa, memaksakan kehendak tentu bukan pilihan yang tepat.

Hal yang sama tampak serupa ketika masa lalunya muncul. Ia yang berbeda pendapat dengan sang ayah, harus menempuh jalan yang dianggap baik. Bisa saja ia menekan egonya dan hidup dalam kerinduan orangtuanya; satu pertanyaan, selalukah itu yang memang terbaik? Ia meyakini, di balik semua hal yang bersifat penolakan, jalan maju adalah yang paling memungkinkan untuk dikerjakan.

Hannah belajar memahami bahwa tak semua bisa memberi diri sependapat, sepihak, seia sekata, bahkan seperasaan dengannya. 3 bulan adalah waktu yang mungkin cukup lama membuatnya paham dengan semua ini. Perbincangan takkan bisa seperti dahulu, dan ia memaklumi itu. Yang ia pegang kini adalah pertemanan.

Mungkin kisah berbeda terjadi padaku. Dan ini yang kutahu, bahwa belakangan ini perubahan pesat pada profil diriku semakin menunjukkan hasil. Mulai dari komunikasi kepada sekitar, bagaimana sikapku di mata para dosen juga baik, dan yang lebih menarik, beberapa wanita di jurusan bahkan di departemen lain juga mengagumi dan menyukaiku, selain Hannah. 

Kebanyakan timbul karena bentuk fisikku, psikologis pun tidak terhindarkan, dan yang terutama karena aku cukup pintar. Smith juga tidak kalah menarik denganku yang juga mengalami hal yang sama. Tetapi baik aku dan Smith menolak mereka dengan lembut sebab aku mencintai yang lain. Smith beralasan masih ingin fokus pada pendidikan. 

Tetapi itu justru menjadi kemarahan bagi teman-teman di kelasku yang sangat prihatin dengan kompetisi kami. Mereka berpendapat akan lebih baik kalau kami juga turut memilki pasangan. Selain itu, yang menyatakan cintanya pada kami menurut mereka adalah primadona di kelas maupun departemen mereka. Jadi seandainya capek, maka bisa mendapatkan ketenangan serta kedamaian dari pacar. Smith dengan cukup bijak mengatakan pada mereka, bahwa cinta sering sekali membuat satu fokus yang kita terus menerus perjuangkan menjadi terganggu. Kalau itu dibiarkan begitu saja, maka baik aku dan Smith akan burn out, lalu tujuan kami pun gagal.

Perlahan-lahan semua ajakan teman-teman kami menyusut bak air laut yang surut setelah kala pasang surut berakhir. Tidak ada lagi rumor tentang ketertarikan lawan jenis pada kami. Aku sampai saat ini masih menyimpan perasaan pada Sophie, dan ini juga yang menjadi alasanku mengapa menolak yang lain. Fokus kami kembali pada track-nya, mengejar gelar sarjana dari universitas yang keren ini. Setelah itu? Berpacaran mungkin rencana yang baik. 

Di tempat lain, Kathy yang sebenarnya tidak terlalu menyenangi Kimia, belajar dengan sangat serius. Metode yang digunakannya ketika belajar Fisika, dia pakai kali ini untuk menunjang ambisinya. Ibarat usaha takkan mengkhianati hasil, yang didapatkan oleh Kathy pun berbuah manis. Dia menjadi mahasiswi yang disegani dan menjadi ikon untuk jurusannya. Ia dikenal banyak dosen sebagai wanita yang rajin, cerdas, dan juga berbakat. Dalam situasi ini, dia tidak ingin terjatuh ke dalam obsesi pujian. Kathy tahu itu akan menghalangi semua rencananya.

Di tahun ketiga kuliah ini, semakin spesifik bidang yang dipilih, semakin sulit dan rumit juga dalam mempelajarinya. Namun, aku dan Smith berhasil setidaknya untuk mengikuti pembelajaran dengan baik. Kami sering sekali belajar mandiri di apartemen masing-masing, dan itu membuat pemahaman kami jauh lebih tajam dibanding hanya mendengarkan sekali saja lewat dosen. 

Melihat kami yang semakin maju di depan dalam pemahaman, beberapa teman sedikit meniru cara belajarku dengan membaca terlebih dahulu preview tentang materi hari ini; misalnya dari catatan kemarin, maupun apa yang akan diajarkan hari ini. Dengan demikian, setidaknya mendapat pengertian tentang jalan pelajaran yang akan berlangsung.

Hari ini, perkuliahan dimulai pukul 08.00 AM. Aku menaiki mobil kesayanganku dan melaju dengan kecepatan sedang menuju kampus. Bila di sekolah dulu aku biasa duduk di bagian tengah, namun saat kuliah lebih sering sedikit ke belakang. Hal ini sengaja kuputuskan karena sejujurnya aku tidak terlalu tertarik menjadi pusat perhatian. Duduk di dekat dosen, aktif menjawab pertanyaan, atau singkatnya, jadi anak kesayangan. Again, perbedaan sikap yang sangat kontras dibandingkan masa-masa SMA dulu. 

Aku meletakkan tas di samping kursi kuliah dan segera membuka buku. Teman-temanku asyik mengobrol dengan yang lain, dan terkadang telinga ini samar-samar mendengar pembicaraan mereka yang sepertinya menarik. Hati ingin sekali mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun pikiranku ternyata jauh lebih kuat untuk memerintahkanku lanjut membaca. Namun sekilas terdengar, kali ini sangat jelas terdengar, bahwa mereka membicarakanku. 

Untungnya, mereka tidak iri dan benci oleh sebab mereka juga merasa terbantu dengan kehadiran bukan hanya aku saja, tapi juga Smith. Sekali lagi, ilmu yang Sophie berikan tentang komunikasi dengan orang lain sungguh sangat bermanfaat. Komunikasi di antara kami, khususnya saat belajar bersama membuat pemahaman semakin tajam. Peran Smith juga begitu kentara di dalam perkembangan pengertian mereka akan materi yang dipelajari. 

Smith menyambut pagiku lewat sebuah sapaan. Wajah riang gembira terpancar begitu terang, membuat hati bertanya-tanya apa gerangan yang telah terjadi semalam dengannya. Dia mengaku bahwa setiap hari, khususnya Senin haruslah disambut dengan bahagia. Karena kalau tidak, bagaimana kita dapat menjalani jam-jam berikutnya jikalau kita selalu mengeluh akan hari Senin. Masuk akal juga! Seharusnya mengawali sesuatu itu dengan yang baik, agar akhirnya juga baik. Kalau Senin mengeluh, bagaimana dengan Selasa, Rabu, Kamis dan seterusnya?

Topik kami beralih kemudian ke tugas yang telah diberikan dosen beberapa hari yang lalu. Dia mengaku sempat kesulitan dalam menemukan penyelesaian kasus tersebut. Tetapi setelah mengulangi apa yang disampaikan dosen, titik terang mulai ditemukan. Aku mengaku padanya bahwa kejadian yang sama juga terulang padaku. Bahkan aku sampai mengundang salah seorang dari teman agar dapat menemukan jawaban dari kasus yang diberikan. Rasa senang bercampur emosi kami ekspresikan begitu gila ketika akar permasalahan ditemukan dan solusi pun didapatkan.

Di tengah-tengah perbincangan, seorang mahasiswi mendekati kami ke belakang. Sejauh yang kuketahui, dia tak pernah berniat naik ke belakang kelas (posisi kursi di kelas kami menanjak, bukan sejajar. Sehingga kalau mau ke belakang, harus menaiki anak tangga yang ada.) Pergaulannya hanya berkutat di barisan depan, tempat di mana semua orang dengan hasrat mencari perhatian educator. Kini dia menuju ke belakang, apa yang ia harapkan? Ini menjadi sesuatu yang menarik.

Morning, boys!” sapanya dengan begitu santai dan tenang pada kami.

“Weh, tepuk tangan dulu!” Smith membalas wanita tersebut dengan sebuah pujian 'menyindir'. "Butuh berapa tahun bagimu biar bisa setidaknya datang ke belakang ini?"

Sontak aku kaget dibuat Smith. "Kok jadi baku bahasamu?"

Sejenak ia berpikir bahkan sampai menaikkan alis bagian kanan terhadap pernyataan Smith. “Kurasa tidak ada aturan valid terkait barisan depan dan belakang.”

“Tetapi kehadiranmu mengundang tanya banyak orang, bukan hanya kami. Tidakkah itu sesuatu yang harus dijelaskan saat ini juga?” Smith kembali mengutarakan pertanyaan yang lain padanya.

Jujur, aku menganga dibuatnya. "Buddy, are you serious?"

“Oke, oke! Kalian sangat sinis sekali,” ujarnya dengan rasa kesal karena terlalu dicurigai. 

Anne Chen, mahasiswi dari Tiongkok yang menjadi salah satu orang terjenius di kelas ini. Tidak seperti orang culun dan lugu pada umumnya, meski dia sangat suka belajar dan menjadi pusat perhatian, dia cukup peka dan update juga terhadap perkembangan fashion. Tak heran dia selalu memilih di depan agar auranya terpancar ke mana-mana. Banyak juga mahasiswi lain yang berkonsultasi perihal kecantikan dan pakaian modern dengan perempuan 5’7” ini.

“Aku hanya ingin bertanya tentang tugas yang diberikan dosen waktu itu,” akunya kalem. 

Seketika kami merasa awas terhadap pernyataannya barusan. “Apa kau ingin mengimitasi milik kami? Itu kecurangan namanya,” tukas Smith. 

Anne Chen tak menyangka kalau dia akan tertuduh ketika bertanya pada kami. Dengan tenang dia memberitahu kalau tugas yang dia kerjakan sudah selesai sejak lama. Maksud dari pertanyaannya adalah untuk mengetahui apakah kami bisa mengerjakannya. 

Perkataan itu malah merendahkan kami, seakan-akan kami terlalu bodoh dan ia akan memberikan bantuan sukarela. Aku bergantian mengambil peran dan menegurnya atas dasar kebanggaan diri di depan kami. Anne Chen kembali lagi memberi pengertian kalau kami sudah ia anggap sebagai rival. Jadi menurutnya, akan lebih baik bila ia membangun komunikasi dengan kami, lalu menjadikan itu sebagai motivasi diri untuk jadi yang terutama.

Kini bertambah satu orang yang berniat bergabung ke dalam rivalitas kami berdua. Aku dan Smith tidak tahu apa yang membuatnya tertarik untuk bersaing dengan kami. Tetapi ya sudahlah! Lagi pula ia sudah pergi ke kursinya kembali setelah membuat pengakuan yang aneh itu. 

"Kenapa kau pake bahasa baku samanya?" rasa penasaran di dada sudah tak terbendung.

Dia menatapku untuk beberapa saat, lalu melihat Anne Chen yang beberapa kali melirik ke belakang. "Anggap aja latihan. Entar dipake juga kok waktu kerja."

"Hanya itu alasanmu?"

"Enggak, sih!

Ponsel Smith bergetar tiba-tiba dan ia melihat sebuah pesan:

“Jika kalian ingin menjadi yang terbaik, duduklah di depan bersamaku! Mari kita buktikan siapa yang paling jenius dan disegani oleh educator.

Begitulah isi pesannya. Di akhir, terdapat emoticon wajah dengan satu mata ditutup diiringi lidah yang terjulur keluar.

“Sialan!” ejek Smith sambil tertawa. "Huft! Ngomong sama dia harus formal soalnya. Jadi, harus adaptasi."

"Oh, aku baru tau! Okelah, kalau gitu!"

Baik aku dan Smith kembali melihat pesan itu. Tanpa diskusi, serentak kami menyeringai sambil menggelengkan kepala mendapati betapa bodohnya maksud pesan tersebut. 

Dosen pun datang pula ke dalam kelas untuk memberikan materi Teknik Eksplorasi pada kami. Semua mahasiswa menyiapkan catatan mereka, termasuk juga laptop untuk menyerap semua informasi yang disampaikan. Sekadar informasi, dosen yang mengajar kami ini adalah yang terfavorit menurut beberapa mahasiswa. 

Meski sudah berumur 50-an tahun, uban sudah mendominasi rambut kepalanya, namun semangat beliau bak seorang pejuang muda di medan perang. Ilmu yang disampaikan juga dibungkus dengan begitu baik, sehingga tidak memelar ke sana dan ke mari. Presentasi yang menjadi salah satu senjata para dosen, milik beliaulah yang terbaik. Jadi tidak salah kalau semua mata benar-benar fokus terhadap penjelasan beliau.

Tak terasa waktu sudah mendekati akhir yang mana memberatkan hati kami. Jika mampu berharap, semoga beliau terus mengajari kami dari hari pertama hingga selesai. Bahkan sang dosen juga sedikit geram karena masih memiliki begitu banyak ilmu untuk dibagikan. 

Aturan tetaplah aturan! Kami harus menghargai itu, bukan menomorsatukan ego. 10 menit waktu tersisa, jadi beliau meminta kami untuk mengumpulkan semua tugas yang ada. Cukup 2 menit waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan semua tugas. Sisanya, beliau bercakap-cakap dengan kami seputar prospek pekerjaan kami.

Bel berbunyi, dan beliau pun pamit undur diri dari kelas. Aku dan Smith memutuskan pergi ke kantin departemen untuk membahas sesuatu yang sangat penting. Tetapi ketika lewat dari kursi Anne Chen, dia meletakkan kakinya tepat di depan ujung kaki Smith hingga ia terjungkal. Beruntung dia tidak terjatuh ke lantai dan menabrak meja di depannya. Hal itu membuat Smith marah dan ingin membalas. Anne Chen justru tidak merasa bersalah dan lebih memilih menambah rasa kesalnya dengan membuat gestur ‘My eyes on you!’ Dalam hati saja aku bisa tertawa heran melihat tingkahnya. 

Di kantin, aku dan Smith membicarakan sesuatu yang terbentuk begitu lama. Perasaan ini, apakah masih sama seperti yang dahulu? Dalam situasi ini, ketika dia menunggu kejelasan kisah cintaku dan Sophie, aku terdiam untuk sementara waktu. Beberapa bulan terakhir tidak ada komunikasi antara aku dan dia. 

Nomornya yang ada di ponselku sampai sekarang tidak aktif lagi. Aku pikir ini aneh; sebab jika memang dia mengganti nomornya, aku sangat yakin dia akan berusaha untuk menghubungiku. Bahkan ketika aku mendatanginya di Harvard, selalu saja aku terlambat untuk bertemu dengannya. Ada sesuatu yang terjadi padanya, itu yang sangat kuyakini. Karena itu, sebisa mungkin aku sendiri yang akan mencari tahu. Untuk sekarang, aku mengungkapkan yang sudah ada saja. 

“Aku masih mencintainya. Masih tetap! Dan kurasa, ini saatnya aku mengatakan yang sebenarnya. Aku nggak bisa menunggu lebih lama!” kilahku menutupi kegelisahanku yang sebenarnya.

“Berarti kau langkahilah aku kali ini!?” akunya. "I'm a little bit jealous. Soalnya, aku masih nyaman kayak gini samanya."

“Melangkahi? Cemburu?” berarti selama ini, dia mempunyai rasa terhadap seseorang. Bell, kah? Atau yang lain? Kupikir karena dia ingin fokus saja pada perkuliahan, sehingga enggan mencari pasangan. Dasar, aku tertipu! "Siapa yang kau suka? Bell?"

Dia tidak mau memberitahukan padaku siapa yang telah mencuri hatinya. Bagi Smith, kerahasiaan kisahnya sangatlah penting untuk dijaga. Karena dia berkata demikian, maka aku menghargai keinginannya untuk tidak menjadi serba tahu. 

Kembali lagi ke topik sebelumnya, ia pun memberi tips bagaimana aku dapat menyatakan cintaku. Beli sekuntum mawar, mengajak wanita tersebut ke tempat yang romantis, bisa ke taman atau pun dinner date di restoran mahal. Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah berlutut di hadapannya sambil menyerahkan mawar tersebut. Dia dengan yakinnya mengatakan kalau Sophie akan menerimaku sebagai kekasihnya apabila aku melakukan persis seperti yang ia jelaskan.

Aku mampu membayangkan itu di dalam pikiranku. Tetapi, kisah ini adalah kisahku sendiri. Pendapatnya memang sangat baik, namun aku tak bisa mengandalkan pendapat orang untuk menyatakan cinta pada Sophie. Seperti yang sudah kutetapkan, aku akan menyelidiki keanehannya dan menyatakannya sendiri dengan caraku. Saran itu kuterima agar pembicaraan beralih ke hal yang lain.

"Kau tahu, kalo jadian nanti kalian, pikiranmu bakal bercabang."

Aku terdiam terhadap pernyataannya. Tidak ada yang salah akan hal itu. Kesepakatan sudah terjalin di dalam batin, tapi cinta sulit untuk ditinggalkan. Tujuannya jelas: kekhawatiran akan sesuatu yang variabelnya bergantung pada kondisi emosi pencinta. Kalau stabil, hubungan pasti akan sehat walau di tengah badai. Tapi jika tidak? Seperti yang sekarang kualami! 

"Huh ...! Sulit mengakuinya, tapi mau gimana lagi? Aku juga butuh soalnya. You know what i mean?"

"Of course, of course! Itu hakmu. Paling aku cuman mau bilang satu aja." Dia mendekatkan wajahnya ke arahku. "Jangan sampai turun nilaimu. Aku jago nge-bully soalnya."

Baik aku dan Smith tertawa mendengar kalimatnya yang terakhir. Itulah yang membuat persaingan kami menarik. Akan selalu saja ada candaan yang keluar kalau kami saling mengalahkan. Memang, dia sangat hebat mengenai makian. Ada beberapa momen di mana aku tersinggung dibuatnya. Tapi, itu justru semakin memantik semangatku untuk mengalahkannya. 

Kembali lagi ke topik yang sebelumnya. Berpacaran adalah hakku. Dan itu benar. Tetapi sarannya membuat pikiran menyelidiki kembali keputusan, walau sesungguhnya itu lebih condong ke arah jokes. Sungguhkah aku sanggup mengemban kedua hal ini? Saat ini mana yang lebih penting bagiku? Kondisinya atau cintaku? Jika kondisinya lebih penting, maka fokus pada gelar tetap terjaga. Berbanding terbalik pula bila yang terfokus adalah cinta. Sepertinya, mungkin kondisinya yang lebih urgent bagiku untuk diketahui. Setelah itu, mungkin melihat pada situasi. 

Kelas pun tiba kemudian pada pukul 10.40 AM. Seperti biasa, Anne Chen selalu saja menjadi pusat perhatian di dalam kelas. Satu-satunya yang membuat paradigma orang tetap baik terhadapnya adalah kejeniusannya. Sayangnya, masih saja ada mahasiswa yang dengki dengan sikap overaktifnya. Bagiku secara pribadi, itu bukanlah perkara yang harus dibesar-besarkan, sebab apa pun jawabannya terhadap pertanyaan memang benar dan akurat.

****

Di universitas lain, Sophie menjelma menjadi mahasiswi yang terkemuka di jurusannya. Berkat metode belajar dariku dan ambisinya terhadap sesuatu, membuat dia menjadi mahasiswi yang disegani. Sikapnya sopan, penampilannya juga sangat sedap dipandang mata, membuat dia menjadi sosok kekaguman banyak orang. Sophie juga sangat rajin dan disiplin dalam belajar, membuat para dosen terkagum-kagum akan pribadinya. She is perfect! Tapi hanya sampai 2 tahun yang lalu. 

Setelah jadwal kuliahnya selesai, sesosok pria sudah menunggunya di luar departemen. Dia kemudian berlari memeluknya, lalu mereka memasuki sebuah mobil hitam, dan meninggalkan kampus. Ada beberapa restoran yang berada di pinggiran kampus dan mereka memutuskan makan siang di sana. Bisa dikatakan itu adalah restoran terbaik di daerah tersebut dan selalu ramai pengunjung.

2 piring Ratatouille khas Perancis sudah tersedia di meja mereka. Pria itu dan Sophie menyantap dish itu bersama roti yang telah disediakan. Pemilihan meja oleh pria itu yang berada di muka restoran menjadikan dating mereka sangat romantis. Udara dari luar dapat mereka nikmati secara langsung dan lebih segar dibandingkan dari AC. 

Perbincangan mereka cukup hangat satu sama lain, yang diawali oleh situasi di kelas masing-masing. Pria itu memuji Sophie yang sangat disukai oleh banyak orang di kelas, tak terkecuali para dosen. Ketika Sophie bertanya dengan topik yang sama, pria itu menjawab bahwa semuanya aman dan normal seperti biasa. 

Lanjut mereka membahas tentang makanan yang mereka santap. Menurut Sophie, yang telah masuk ke perutnya adalah masakan yang sangat nikmat. Ia begitu menyukai masakan-masakan Perancis, meskipun masih beberapa bulan menikmatinya. 

Pria itu turut senang memperkenalkan cita rasa baru pada Sophie dan dia justru tidak menolaknya. Berbagai adegan romantis mereka peragakan selama menikmati hidangan tersebut; sebut saja bercak saus pada ujung bibir pria itu, dan Sophie pun mengelapnya dengan tangannya.

Bell kebetulan berbarengan pulang dengan Kathy karena jadwal mereka berakhir sama. Apartemen mereka tidak jauh dari kampus, sehingga jalan kaki adalah opsi paling murah dan simpel untuk pulang dan beristirahat. Saat masih asyik berbicara, Bell tanpa sengaja menoleh ke sebelah kanan dan memandang sesuatu yang menarik minat hatinya. Jarak mereka agak jauh, sehingga Bell berusaha menyipitkan mata agar objek yang jauh itu dapat dikenali. Kathy yang melihat hal tersebut memintanya untuk melupakan pasangan itu, sebab badannya sudah tidak tahan lagi. 

Walau demikian, Bell berusaha untuk lebih ingin mengetahui siapa pasangan tersebut. Dengan berlari kecil ia mendekat ke sebuah pohon dan kini mulai terlihat jelas siapa mereka. Kathy terpaksa meminta badannya untuk ikut bergerak ke tempat Bell mengintip sesuatu yang sangat tidak disenanginya. Bell dengan heran dan terkejut meraih tangannya dan menariknya mendekat sejenak.

“Bell, aku capek.” keluh Kathy meminta agar Bell menghentikan keingintahuannya. Nyatanya, ia masih tidak mau. "Bell, ayo! Kutinggal, ya?"

“Kamu nggak pengen lihat ini? Sayang nanti kalau kelewatan.” Bell mencoba menggoda sahabatnya agar bertahan bersamanya barang beberapa waktu saja. "Ini penting untuk Alex."

"Alex, bastard!" dalam hati ia mengumpat namaku yang keluar dari mulut Bell. Dengan kesal ia semakin berniat untuk kembali ke rumah. Hal itu tidak jadi kemudian karena Bell terlebih dahulu meraih dan menarik paksa tangannya lagi. 

Sambil bersembunyi di balik pohon, Bell mengarahkan telunjuk jarinya ke arah restoran tempat sepasang wanita dan pria tersebut sedang makan. Terlihat mereka sedang bermesra-mesraan, berpegangan tangan, dan terkadang pria tersebut membelai wajahnya.

“Aku nggak percaya, Kathy! Mataku pasti rabun.” Bell mengusap kedua matanya untuk memastikan ketidakpercayaan tersebut. "Iya, kan? Rabun, kan?"

"Bodoh! Nggak peduli!" seru Kathy spontan.

"Kathy, jangan gitu dong!"

"Apa lagi?"

Dalam keadaan yang betul-betul malas untuk melakukan sesuatu dan sedikit berdecak kesal juga, Kathy terpaksa memilih untuk turut mengamati mereka. “Emang kenapa? Kita harusnya bahagia karena itu. Salahnya di mana?” Kathy mempertanyakan respon Bell yang berlebihan tentang apa yang mereka lihat.

Bell pun menegur Kathy yang bertindak santai dan tidak peduli dengan apa yang terjadi. Kathy mengaku lebih memilih perempuan itu bersama yang lain dibandingkan aku. Setelah berkata demikian, ia pergi meninggalkan Bell. Rasa penat di bahunya sudah tidak dapat ia tahan begitu lama. Bell masih berusaha memanggilnya. Sayang, Kathy menghiraukan itu. Ia kini sadar bahwa membicarakan segala sesuatu yang berhubungan denganku adalah kesia-siaan. Pasangan itu pun pergi setelah selesai makan siang dan pulang ke rumah.

****

"Sophie, kamu kenapa?" gumamnya di malam hari. "Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu meninggalkan Alex, padahal kamu sendiri juga mengkhawatirkan dia?"

Ia masih tidak bisa mencerna kejadian tersebut. Dengan semua yang telah ia dengar, lalu membandingkan dengan kejadian yang baru saja ia lihat, Bell merasa aku akan menderita sakit hati yang sangat parah. Demi mempertegas segala sesuatu, Bell ingin sekali lagi memastikan, bahwa Sophie sudah benar-benar meninggalkanku demi pria lain.

Beberapa hari berikutnya, Sophie dan pria itu makan bersama lagi di tempat berbeda, sehingga butuh waktu lama bagi Bell untuk menemukan mereka. Tapi kali ini situasinya berbeda, sebab ada juga beberapa orang yang duduk di meja makan tersebut. Sambil memesan makanan, ia mencoba menguping apa yang sesungguhmya mereka perbincangkan. Beruntung, ia memakai jaket hoodie sehingga Bell bisa mengaburkan wajahnya dengan tudung jaket tersebut.

"Masih di situ, ya?" Bell gelisah dengan mereka yang masih bertahan di meja tersebut.

Hingga pada suatu titik, 2 orang yang sedari tadi bersama Sophie akhirnya meninggalkan mereka. Bell mulai memasang antena telinganya untuk mendengar dengan jelas situasi mereka terkini. Sayang sekali, kisah asmara mereka bukanlah rekaan. Tetapi kebenaran!

Bell sesegera mungkin menghabiskan makanan yang ada di hadapannya. Dengan hati-hati ia berjalan keluar, menghindari Sophie curiga dengannya. Tepat di depan pintu, ia berlari kencang menuju suatu tempat yang ia yakini bisa berteduh, merenungkan apa yang sebenarnya terjadi dengan sahabatnya tersebut. Dekat sebuah pohon, ia bersandar dan melemaskan tubuhnya hingga duduk di tanah. Satu jepretan foto mereka berdua berhasil diabadikan, tanpa alasan yang pasti.

Ia memperhatikannya, dan dengan sedih hati ia mencoba mereka-reka respon yang akan kuperlihatkan.

"Sophie, kamu kok tega?" ujarnya pedih.

Seseorang lewat di belakangnya, dan secepat kilat Bell menyembunyikan ponselnya. Rupanya, ia tak mengenali pria tersebut. Kembali lagi ia memandangi foto itu, dan hatinya sangat terguncang.

Tiba-tiba, Smith menghubunginya.

"Ah-Ah, a-apa Smith?"

Lihat selengkapnya