Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #14

Mengejar Hati Yang Menolak

Libur semester tiba, tapi pertemuan rutin dengan perempuan bernama Hannah ini masih tak bisa ditunda. Aku menggunakan kata rutin, karena cukup frustrasi dengan apa yang telah ia lakukan. Sesaat sebelum aku berangkat menemui Sophie, tak kusangka-sangka ia sudah berdiri di depan gerbang dengan mobil hitamnya. Mau tidak mau, aku harus keluar dan menghadapi wanita berambut pirang ini.

"Karena libur jadi bebas ya, datang kapan aja!?" sindirku.

"Iya, dong!" jawabnya dengan bangga. "Hmm, jalan-jalan, yuk!"

Dalam hatiku, gadis ini sungguh sangat suka sekali bersenang-senang. Entah apa yang ada dibenaknya, selalu saja kenikmatan hidup itu yang dia incar. Dibandingkan dengan aku, hari libur kumanfaatkan untuk berjalan-jalan biasanya di pertengahan atau menjelang akhir masa liburan. Namun dia memulai acara pribadinya sejak dari awal. Unbelievable!

"Nggak ada kerjaan lain apa selain jalan-jalan?" tanyaku.

"Nggak ada!" balasnya santai.

"Wow, kehidupanmu sangat-sangat dipenuhi dengan kemerdekaan." Untuk kedua kalinya, aku menyindir dia.

"Amerika belum merdeka. Ini belum tanggal 4 Juli." Dengan polosnya ia menuangkan isi pikirannya. "Kamu saja yang terlalu monoton hidupnya. Belajar terus, baca buku terus, diskusi terus. Nggak bosen apa?"

"Kalo aku nggak belajar, kau pasti dapat nilai merah." Perkataanku mulai menyinggungnya. "Puas?"

"Kalau kamu nggak ikut bersamaku bertemu dengan banyak orang, kamu nggak mungkin secepat dan setangkas itu berbicara kepada siapa pun, terlebih denganku. Liat, awal-awal kita ketemuan aja kamu agak gelagapan, kok!" dia balik menyinggung.

Dasar keras kepala! Wanita itu susah sekali menerima pendapat. Selalu ingin menang.

"Task oriented itu menyebalkan tahu!" sambungnya lagi.

Senyum sinis, langkah awal untuk menaklukkan pemikiran dan pandangannya. "Ya, memang itu terkesan sangat jadul, konyol, sangat polos, dan mungkin seperti yang pernah kau bilang, cupu! But you know what?"

Dari arah Timur apartemen, muncul seorang teman kami satu kelas yang kelihatannya ingin pergi ke suatu tempat. Kalau aku menebak, mungkin bermain basket karena pakaian olahraga yang ia kenakan. Ia melambai ke arah kami, dan aku pun membalasnya. "Thanks, bro! Kau buat nyawaku di kuliah terselamatkan." Ungkapnya.

"Bagusnya?" tanyaku. Sekalian, aku berharap ini membuatnya sadar betapa pentingnya menjadi seorang task oriented.

"Bagus-bagus! Di luar ekspektasiku malah!"

"Nice! Semangat terus, ya!"

"Oke, bro!"

Aku menatapnya lagi. Kemenangan seperti ada dalam genggaman. "See?"

Hanya, dia sama sekali tidak terkesan. Tanpa diketahui olehku, lewat juga orang lain yang tampaknya dikenali oleh Hannah. Perempuan, dan dengan begitu girangnya ia mendatangi kami.

"Hey, Hannah! How are you?" sapanya dengan ramah.

"I'm good, you know!"

"Awh, I knew it. I knew it from the start."

"Masih ingat nggak, cerita yang semalam?" tanyanya. Sesekali matanya melirik ke arahku. Dan tindakan itu sungguh menyebalkan.

"Ingatlah, nggak mungkin nggak ingat. Eh entar, kosong nggak, malam?"

"Kenapa? Mau bicara lagi?"

"Iya, sama yang lain. Kamu ikut, ya!" ajaknya.

"Boleh-boleh. Ada kawan baru juga, nggak?"

"Hmm, mungkin ada. Lihat nanti aja. Bye!" pamitnya.

"Bye!"

Hannah menyingsingkan lengan bajunya, menaruh kaca mata hitamnya di ataa kepala, lalu menatapku dengan penuh gaya. "See? People oriented!"

Terserahlah! Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Dia selalu saja seperti itu. Untung aku masih sabar, dan herannya, kenapa aku bisa sabar?

"Jadi, gimana? Mau, nggak?" tawarnya lagi.

Dari pada dihantui terus menerus, aku memutuskan untuk menurutinya. "Fi-Fine, fine! I'll go with you." Sambutku pasrah.

Hannah lalu menepuk kursi mobil di sebelahnya beberapa kali. "Sini, masuk!"

"No!" aku menolaknya. "Aku bakal naik mobil." Cetusku.

"Harga gasolin mahal. Yakin nggak mau satu mobil aja?" Hannah berniat membuatku mengurungkan niat.

"Maaf, aku bukan orang miskin!" terpaksa aku meninggikan diri. Tapi dia tidak menyerah.

"Ih, sombong! Orang sombong biasanya mudah jatuh."

Benar saja, beberapa langkah ke depan, kakiku tersandung batu. Hampir-hampir saja terjatuh dan menjadi bahan tertawaan.

"Tuh, kan? Apa kubilang? Mending naik bareng aku aja. Kalo kamu malu, kamu yang nyetir, deh!" sampai-sampai ia mau mengalah demi aku bisa ikut dengannya. Tapi yang menyebalkan, justru aku yang mengalah demi melihatnya senang. Ya, melihat dia senang memandangi kesengsaraanku dalam menghadapi segudang pertemuannya. Sudah seperti anggota parlemen saja yang semangat menghadiri rapat, tapi keluar tanpa manfaat.

Tujuan kami saat ini adalah kebun binatang. Suaka margasatwa yang dipenuhi oleh mayoritas jenis-jenis binatang konservasi. Sebut saja beruang kutub, antelop, singa, termasuk singa gunung, kucing hutan, berbagai jenis burung, jerapah, gajah, bison, dan masih cukup banyak. Semua hewan di atas adalah penuturan dari Hannah. Yang ada dipikiranku, mungkin kuda Nil, hewan-hewan marsupial seperti kanguru, koala, posum, monyet ekor panjang, purgatorius, hiu martil, ubur-ubur kotak, dan masih banyak lagi. Terima kasih kepada Nat Geo Wild.

"Emangnya hewan kek gitu bakal ada di kebun binatang?" tanyanya.

"What you think?"

"I'm not sure about that."

Aku tersenyum meledeknya. "Kau kurang ilmu dibandingkan aku." Keangkuhanku kembali hidup.

Bukannya menciut, justru ia malah tertawa.

"Kenapa?" aku mengernyit.

"Masih belum kapok juga, ya!" sindirnya.

"Loh, kan fakta!"

"Gimana kalo kita taruhan?" tawarnya.

Dengan gagah berani aku siap menerima tawarannya. "Siapa takut!?"

"Kalo apa yang kamu bilang salah, kita makan malam di tempat paling romantis." Cetusnya.

Damn! Aku tak menyangka kalau itu adalah permintaannya. Tapi aku tidak gentar, karena mungkin ini bisa merenggangkan antara aku dan dia, lalu mendekat kepada Sophie.

"Kalo aku benar, siap-siaplah kau," ancamku, "kita hanya boleh meluangkan waktu sebulan sekali, belajar 4 kali 1 bulan, dan kurangi memberi hadiah kepadaku. Oke? Bisa diterima, kan?"

Dia malah tertawa. Aku pun tertawa mengimbangi tekanan mental yang ia berikan. "Jujur, permintanmu itu konyol sekali. Seolah-olah kita ini berpacaran, dan kamu lagi bete samaku." Ujarnya.

"Hukuman yang mantap, kan?" aku masih tetap tidak sadar, betapa bodohnya itu. Hanya karena Sophie seorang!

****

Karena ponselku kunonaktifkan, Sophie gundah gulana, gelisah, jalan ke sana kemari, hilir mudik, seperti orang linglung, bingung bagaimana caranya membayar hutang. Sudah ditelepon berkali-kali, tetapi tidak mendapat balasan. Padahal dia ingin mengajakku pergi ke kota New York sembari mencari obat yang bisa meringankan gejala penyakit ayahnya.

Aku dan wanita menyebalkan ini sampai juga di kebun binatang tersebut. 45 menit perjalanan harusnya bisa memberikan pelayanan dan pertunjukkan yang menarik. Jika tidak, mungkin aku akan langsung pulang saja. Tanganku masuk ke dalam kantong lalu mengeluarkan ponsel. Mode pesawat kunonaktifkan, lalu menyadari betapa banyaknya panggilan tak terjawab dari orang yang sangat kucintai.

"Matilah aku!" lirihku sembari menepuk jidat.

Aku menghubunginya, dan setelah terhubung, ia hanya diam. Hanya kedengaran beberapa kali suara hembusan napas yang cukup keras. Gawat! Sepertinya dia marah!

"So-Sophie? Ka-Kau di situ, kan?" saking takutnya, aku seperti dibawa kembali ke kehidupan yang lama.

"Nggak, aku lagi di awan!" balasnya datar.

Masa lalu mulai terekspos kembali. "Ehm, a-aku minta maaf. Tadi ponselnya kubuat mode pesawat."

"Oh! Biar bisa sama cewek lain, ya?" sindirnya. Perkataan itu, menusuk menembus hatiku. Dalam sekali lukanya, sampai-sampai aku tak bisa berbicara. Lemah lunglai, tertuduh oleh perkataannya. Semua ini karena Hannah!

"Bu-Bukan gitu, loh!" aku mencoba menenangkannya. "Ta-Tadi aku nyetir mobil. Jadi, biar nggak terganggu aja." Jelasku.

"Ya udah, tapi tetap pergi sama cewek, kan? Smith nggak ada di situ, kan?" tuduhnya lagi.

Aku tak punya pilihan. Berbohong bukan keahlianku. Dan akhirnya, aku berterus terang.

"I-Iya! Aku pergi sama cewek." Ungkapku.

"NAH, TUH, KAN? Beneran ternyata! Pantes aja dia nggak aktifin ponsel, rupa-rupanya jalan sama cewek. Nggak kasih tahu samaku, nggak ada ninggalin pesan samaku, eh udah main langsung-langsung aja. Udah, ya? Ternyata kamu gemarnya buat orang bete, marah, kesal. Habiskan aja waktumu sama dia. Kalo aku biar sisa-sisanya aja. Toh kamu lebih senang sama yang lain dari pada aku. Pokoknya: AKU BENCI KAMU!" keluh kesahnya ditutup dengan teriakan penuh teror.

Astaga! Kenapa hari liburku harus berakhir seperti ini?

Hannah yang sudah berjalan jauh menjadi heran dan sebal. Dia harus balik ke belakang dan menemuiku. Tepat berhadapan, wajahnya sangat masam terlihat.

"Kamu kenapa, sih?" marahnya. "Bukannya jalan bareng malah biarin aku sendiri jalan."

Sekarang datang lagi cobaan baru. Ya Tuhan! Apa salahku?

"Ah, ta-tadi ada yang nelpon."

"Siapa? Cewek?"

Apa lagi ini? Jangan bilang dia cemburu. "Kau kenapa? Kenapa cewek yang pertama kau curigai?" beruntung, pikiranku mulai berjalan logis.

"Ya karena, hanya cewek yang bisa membuat cowok betah ditelpon berjam-jam."

"Apa hubungannya denganmu? Memangnya kau rugi dengan ini?" mulai tampak di mataku kini. Perempuan ini sepertinya cemburu.

"Iya, rugi! Kamu tahu, aku sudah menyusun jadwal sehari ini dengan kamu. Tidak ada hari yang lain. Semua hari liburku sudah terisi penuh, termasuk acaraku nanti diperpustakaan membaca buku 5 biji. PAHAM?" jelasnya dengan suara lantang.

Aku bertepuk tangan tepat di hadapannya. Sekalipun aku terlalu percaya diri soal dia cemburu, namun aku sedikit terkagum dengan pikirannya. Perempuan ini cukup bagus juga dalam menyusun jadwal. Aku ingin lebih tahu detailnya.

"Oh, oke-oke. Aku mau nanya, jadi semua hari liburmu itu, nggak semuanya diisi dengan senang-senang atau semacamnya?"

"Yah, nggaklah!" jawabnya tegas. "Aku juga task oriented orangnya." Akunya.

For real? Padahal sebelumnya ia menyatakan kalau menjadi pribadi yang menyukai tugas adalah menyebalkan. Berapa persen angka orientasinya kepada tugas dibandingkan kepada orang lain? Kalau aku membuat perhitungan terhadap diriku sendiri, mungkin perbedaannya begitu jomplang.

"Huh, oke!"

"Hah, huh, hah, huh! Udah, cepetan!" paksanya. 

"I-Iya, iya, oke!"

Akhirnya, kami pun bertamasya di suaka margasatwa ini dengan damai. Dari sisiku tapi, kalau dia kelihatannya masih kesal dan sebal. 

Sophie murung sejadi-jadinya. Ia berharap hari ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan, sebelum ia harus berperang lagi dengan semua pelajaran yang telah dan akan dipelajari. Di kota New York, ia sudah mempelajari banyak tempat liburan untuk membuang semua suntuk dan mempererat tali cinta kami, sekaligus memblokade semua tindakan-tindakan Tom. Ia cukup yakin kalau Tom menyukainya, sekalipun menggunakan embel-embel janji ayahnya.

Namun kini, segala sesuatu menjadi sangat menjengkelkan. Ia tak berniat menghubungi siapa pun, tak berniat dihubungi siapa pun; hanya ingin marah, dan marah, dan marah. Makanan pagi menjadi tak sedap dipandang mata, bahkan ingin sekali ia buang. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Apa lagi, sih? Awas aja kalo dia yang datang!" ancamnya dalam hati padaku.

Ketika dia membuka pintu, semua kegeraman meletus.

"BERANI KAMU DATANG, YA!" serunya di depan wajah Bell dan Helen.

"Woah, chill, chill! What the hell up with you?" tanya Helen kebingungan.

"Huh, aku sampe takut, loh!" aku Bell. "Lihat, ini merinding."

"Pagi-pagi kok marah? Kenapa? Siapa?" Helen bersikap ramah dengannya agar hati Sophie lembut. 

"Gara-gara Alex." Akunya tanpa berpikir jernih. "Aku udah nyiapin rencana, malah kesambet cewek lain."

"Hah?" Helen menganga dengan pernyataan itu.

Bell mengernyit meresponi apa yang baru saja dia dengar. "Alex punya gebetan baru?"

"Nggak tahu! Pokoknya aku lagi marah ini. Kalo jumpa samanya, pasti KUJEWER telinganya, KUCUBIT mukanya, biar tau rasa." Sophie mengucapkannya dengan sangat ekspresif. Mendalami peran sekali.

Bell yang mengerti, memberitahu Helen tentang isi hatinya. Mereka pun tertawa dalam hati, bahwa hari ini mereka mendapati sahabatnya begitu cemburu dengan apa yang kulakukan.

"Terus gimana? Mau kami bantu, nggak?" tawar Helen. Senyum sinis, mencoba menggoda Sophie, hanya demi mendapatkan tawa gratis yang menghibur jiwa akibat perkuliahan.

"Iya, loh! Kamu dibuat menderita sama Alex! Kita balas dia dengan cara yang sama." Bell ikut-ikutan menghasut Sophie.

"Cara yang sama? YANG SAMA? Gamau!" tolaknya. "AKU NGGAK MAU SAMA COWOK ITU!"

Informasi baru mulai terbongkar. Bell dan Helen baru mengetahui dan menjadi lebih penasaran. Apakah 'cowok' itu merujuk kepadaku, atau orang lain.

"Jadi kamu benci sama Alex dan nggak mau pacaran samanya?" tebak Helen berterus terang.

"Helen-"

"BUKAN! Tapi yang jelas, Alex harus menerima semua rasa jengkelku, DENGAN CARAKU!" cetusnya tegas.

"Oh, gre-great!" puji Helen di dalam kepura-puraan. Hampir aja dia menarik kesimpulan yang salah.

"Jadi, bisa kami masuk ke dalam?" tanya Bell. Sophie pun mengizinkan mereka masuk dan di sana mereka merencanakan sesuatu yang buruk terhadapku.

****

Tebakanku salah! Ternyata hewan-hewan yang kupikir ada rupanya tidak tersedia di kebun binatang tersebut. Ini membuat situasi semakin rumit, belum lagi harus menghadapi Sophie yang marah besar dengan sikapku. Jangan sampai dia berpikiran bahwa aku selingkuh dan meninggalkannya. Padahal ini hanya sementara, dan kelihatannya selama beberapa minggu ke depan dia akan absen dari kehidupanku.

Astaga! Jujur aku ingin melarikan diri. Menghadapi dia yang bakal begitu senang bukan main, akan menambah beban penderitaan hidup yang tak pantas kuemban. Ini benar-benar menyebalkan! Kenapa aku terjun ke dalam taruhan tadi? Betapa bodohnya aku! Hal itu tak perlu seharusnya terjadi. Belum selesai mengungkapkan penyesalan dalam pikiran, ia sudah datang sambil melemparkan senyuman ke kiri dan kanan. 

"Gimana? Bahagia, nggak?"

Oke, pertanyaan pertama! Kelihatannya belum merujuk kepada inti taruhan. "Yah, lumayan!" balasku. Dalam hati berkata, semoga dia lupa! SEMOGA DIA LUPA! 

"Tapi capek banget keliling-keliling, ada penjual es nggak, yah?"

Seketika, kenangan tentang es krim mulai terputar kembali. Apa-apaan ini? Seperti deja vu. Apa dia berniat mengulang kembali adegan itu? Tidak-tidak! Harus kuhentikan segera, kenangan itu milikku dan Sophie saja! Tidak boleh ditiru ulang! 

"Eh, mendingan kita langsung pulang aja!" ajakku. Sekaligus mengalihkan pikirannya dari taruhan tadi.

"Pulang? Masih ada sekitar 9 jam lagi loh!" katanya dengan sedikit kesal. "Kita masih harus jalan-jalan ke taman bunga, terus mungkin ke kolam renang," GILA! Apa aku harus mengikuti semua kegiatannya? Bahkan ke kolam renang? Aku padahal sudah lupa caranya berenang, "sama makan malam di tempat romantis karena kamu kalah!" tutupnya.

Sialan! Dia ternyata ingat. Mau tidak mau, hari ini aku harus super sabar, tahan banting secara mental, dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Belum lagi harus mendapati wajah kesal Sophie yang bakal menghajarku. Arghh! Aku bisa mati kalau seperti ini! 

"Ehm, di mana ya, penjual es krim?" dia masih sibuk menemukannya.

"Pake GPS tuh, biar ketemu!" celetukku dalam hati.

5 menit kemudian, ia pulang tanpa hasil. Jawaban yang ia punya hanya sabar, sabar, dan sabar. Tapi aku tak bisa! Kesabaranku sebatas agendanya, dan ini tidak termasuk. Akhirnya, aku menawarkan dia ke minimarket terdekat.

"Ah, ide yang bagus! Di sana kita bisa beli es krim atau pun minuman dingin." Dia begitu ceria sekali.

Ternyata, apa yang diekspektasikan tak sesuai dengan realita.

"Hmm, ini maksudnya gimana, ya?" dia mulai kesal dengan apa yang baru kami lakukan.

Aku mengajaknya masuk, tanpa membeli suatu barang pun. Hanya sekadar berdiri dekat AC, menikmati sensasi sejuk secara gratis, tanpa berjerih lelah, tanpa bersusah payah, yang penting puas! 

"Udah, nikmati aja!"

"Nikmati gimana? Ini," dia masih bingung dan tidak mengerti. "Kenapa minumannya nggak diambil, Alex?" tanyanya keheranan. "Kan di depan kita."

"Ngapain buang-buang duit hanya demi itu! Mendingan beginilah!" aku masih bersikukuh dengan pendapatku.

"Astaga, kamu tuh kadang pintar, kadang aneh." Simpulnya. "Atau karena terlalu pintar sampai-sampei ide kek gini bisa keluar gitu!"

"Brilian, kan?" aku memuji diriku sendiri.

Dari belakang, seseorang berjalan mendekat. Karena pikirku dia hanya berhenti di lemari es belakangku, jadi tak kuhiraukan. Aku asyik bersandar dengan tangan kiriku, telapak tangan menopang wajah, kaki kiri menyilang ke kanan, dan wajah santai ini menatap dia yang benar-benar menganga tak percaya dengan ide cemerlang ini.

"Move, man!" perintah seseorang sambil memukul punggungku.

"Awh," rintihku sedikit, "just chill a little."

"Shut up!"

Hannah tertawa melihat itu. "Berlagak sombong sih, kena kan getahnya!"

"Sombong apanya?" balasku sambil meraba-raba bagian yang sakit. "Ayo, keluar!" ajakku padanya.

"Gamau!" tolak Hannah dengan santai.

"Hah, what you want this time?"

Dia memeragakan apa yang tadi kulakukan. Dasar, dia meledekku lagi. "Ngapain buang-buang duit hanya demi itu?" ejeknya.

Akhirnya ia yang pergi terlebih dulu. Namun sebelum meninggalkan lokasi, Hannah membelikan 2 botol minuman dingin, dan kami melanjutkan perjalanan wisata berikutnya. YA, BERIKUTNYA! 

****

"Lama banget sih, pulangnya?"

"Iya, nih. Ngapain ya, Alex sekarang?" timpal Bell. 

"Udah berani berarti dia ngomong?" Helen ingin tahu tentang perkembanganku.

"Yah, gitulah!" jawab Sophie cuek.

"Yaudahlah! Biarin aja!" sambil menepuk pundaknya, ia mencoba membuat Sophie mengerti.

"Ya kan, harusnya dia menghubungiku dulu baru pergi. Setidaknya aku tahu gitu loh, kemana aja dia jalan-jalan." Sophie memprotes apa yang kulakukan.

Tom tiba-tiba datang lagi ke kamarnya. Kali ini, dia berniat mengajaknya jalan-jalan ke luar kota. Dengan ide itu, ia yakin takkan mendapatkan penolakan.

Tok, tok, tok!

Lihat selengkapnya