“Shit!” umpat Tiger.
Falcon hanya terdiam sambil menatap wajah kesal Tiger.
“Nggak ada jawaban dari yang lain. Perempuan sialan itu juga, berani kali nggak menjawab panggilanku. Merasa udah kuat mental dia?” Ungkapnya. Karena tidak tahan, ia menghempaskan ponselnya ke tanah hingga rusak.
Melihat ponsel itu rusak, Falcon berlutut dan melihat kondisinya, apakah masih layak dipakai atau tidak. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian sambil berlutut.
Tiger mengungkapkan kalau seharusnya Anne Chen sudah memberi pesan tentang misi yang ia jalankan. Namun hingga hari ini, tepatnya pukul 12.05 PM, tidak ada sama sekali komunikasi yang ia lakukan. Bahkan 8 orang yang ia kirim untuk memantau tugas tersebut juga sama sekali tidak kembali. Jika mereka mengalami kesulitan sehingga lewat pesan saja yang dapat disampaikan, Tiger masih menganggap itu masuk akal. Tetapi hal ini menjadi tanda tanya besar baginya. Mendengar hal itu, Falcon memintanya untuk menemui Tom dan membicarakan hal tersebut.
Tom heran ketika baik Tiger dan Falcon berterus terang soal Anne Chen dan yang lain. Mereka tidak menyampaikan kabar terkait kematianku yang seharusnya sudah mereka dengar sejak pukul 10.00 AM tadi. Falcon beralasan kalau polisi mungkin saja mengendus tindakan wanita tersebut. Dengan cepat Tom menyangkal pernyataan itu, karena tidak mungkin Anne Chen berbuat di luar kehendaknya. Bagi Tom seharusnya ia lebih menyayangkan nyawanya dari pada berlagak menjadi seorang pahlawan.
Tiger dengan sombong mengungkapkan kalau aku dan yang lain tidak punya peluang sedikit pun untuk bisa selamat. Tiger juga menilai dari ukuran ototku yang tidak memadai untuk menghajar 8 orang mafia terlatih, mustahil bagiku bisa lolos dan mengalahkan mereka. Jadi ia sependapat kalau polisi bisa saja ikut-ikutan dalam permasalahan ini dan itu membuat Tom berpikir dan merenung kembali. Ia pun menyuruh mereka berdua untuk mendatangi rumah Anne Chen dan melaporkan apa yang terjadi.
Masih terdapat beberapa polisi yang melakukan penyelidikan di rumah Anne Chen. Meski malam sudah menyelimuti sekitar, segala sesuatu harus mereka pastikan benar agar kejadian waktu itu dapat dipetakan dengan baik. Ketika Falcon dan Tiger melihat police line telah memagari rumahnya, mereka langsung bersiap menyusup ke dalam rumah. Beberapa langkah ke depan, terdapat jejak sepatu yang mereka ketahui sebagai sepatu polisi. Tak hanya sepasang, namun jumlah itu cukup banyak.
Falcon menyimpulkan kalau sebenarnya polisi tahu akan rencana mereka. Ia tahu Anne Chen menjadi pion The Royal Family dalam membunuhku. Tiger tak menyangka kalau mereka bisa bertindak secepat itu. Falcon juga turut menyayangkan upaya mereka yang sudah cukup rahasia, tapi tidak bisa selesai dengan baik. Untuk melihat lebih jelas lagi, mereka berdua memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan melakukan penyelidikan pribadi.
3 polisi yang masih berada di rumah tewas tanpa perlawanan. Falcon membunuh 2 di antara mereka dengan luka gorok di leher dan tusuk di perut. Sementara itu, Tiger melepaskan tembakan setelah mengetahui hanya targetnya yang tersisa. Falcon meminta Tiger untuk masuk terlebih dahulu, sebab dia ingin memerhatikan situasi di luar rumah. Tanpa membantah ia langsung masuk ke dalam. Bagi Tiger, hal yang dilakukan oleh Falcon sangat diperlukan untuk menghindari adanya mata-mata yang melihat tindakan mereka.
Ia melihat ada begitu banyak beling kaca yang bergelimpangan di lantai. Ia membungkuk sambil menggunakan senter untuk melihat dengan jelas kaca apa saja yang ada di dekatnya. Di salah satu beling kaca dari botol alkohol, terdapat bercak darah yang menempel. Ia yakin kalau darah itu walau sudah beberapa hari, tapi masih cukup baik untuk diamati secara kasat mata sehingga dapat disimpulkan kalau pertarungan benar-benar terjadi. Salah satu dari anggotanya atau aku pasti memakai botol ini untuk menghantam kepala.
Beberapa langkah ke depan, ia menemukan jejak narkotika yang dikelilingi oleh pecahan kaca dari sebuah gelas. Melihat formasinya, gelas tersebut ia yakini dihantam ke lantai dengan keras karena kesal. Jika jatuh dari tangan, harusnya jarak lompatan beling itu tidak jauh. Ia kembali berspekulasi kalau aku mengetahui tindakan itu dan memecahkan gelas itu ke lantai. Terdapat juga bercak darah lain di lantai yang cukup banyak. Spekulasi liar bermunculan di kepalanya, namun 1 yang ia yakini bahwa ini merupakan darah anggotanya yang tewas ditembak.
Merasa informasi yang ia miliki kurang, Tiger memutuskan untuk naik ke kamar. Tidak ada sesuatu yang spesial selain sebuah kasur yang berantakan. Ia kemudian turun ke bawah untuk menemui Falcon.
“Ikut denganku!” ajak Falcon dari dekat pintu depan rumah.
“Jumpamu anggota kita? Atau gimana? Soalnya, kulihat dari semua kerusakan ini, bisa aja mereka mati semua,” jelas Tiger.
“Aku pun penasaran tentang itu. Mungkin iya, mungkin juga nggak.”
Di sebuah gubuk kecil tak jauh dari rumah, ia menemukan pelayan tersebut sedang meminum alkohol dengan lahapnya. Mereka berdua membuka pintu itu dan dia tidak merasa terancam akan kehadiran mereka berdua. Pelayan itu justru menawarkan alkohol itu di depan mereka. Pikirnya, “Orang-orang ini mungkin aja haus setelah perjalanan menemuiku.” Tiger mengambil gelas di dekatnya dan menuangkan itu untuk dirinya dan juga Falcon. Satu pertanyaan keluar dari mulut Falcon mengenai kejadian yang ia lalui di rumah Anne Chen.
Tanpa ia sadari karena dalam pengaruh alkohol, dia menceritakan kronologi bagaimana aku bisa selamat dari kematian. Apa yang ia katakan ternyata sesuai dengan hipotesis Tiger sebelumnya. Mereka juga diyakinkan oleh sekelompok polisi yang mengelilingi rumahnya. Tiger bertanya padanya mengenai siapa saja anggotanya yang tewas dan masih hidup. Pelayan itu berkata kalau 3 di antara 8 anggota Tiger ditahan polisi untuk dimintai keterangan terkait Tom dan yang lain.
Sebagai yang terakhir, Falcon menanyakan apakah ia tahu tentang siapa dalang di balik misi tersebut. Dengan santai ia menjawab mereka kalau ia mengetahui bahwa Tom adalah bandar narkotika yang memiliki masalah pribadi denganku. Ia juga tahu kalau polisi bergerak mencari keberadaannya demi menghentikan laju kerusakan generasi muda.
Setelah mengungkapkan segala sesuatu, ia langsung menenggak alkohol itu dari botolnya. Tiger bertepuk tangan memuji dia yang mengetahui informasi tersebut. Di lain sisi, Falcon hanya tersenyum memandang dia yang sangat santai sekali dengan hidupnya. Dalam sekejap ia menarik pistol dari sakunya dan melepaskan tembakan tepat di dahi.
“Gah, kenapa kau tembak sekarang?” tanyanya dengan kesal.
“Apa untungnya menyiksa orang yang bodoh amat sama hidupnya. Lihat aja tempat ini, semua botol alkohol berserak di mana-mana. Mendingan sama yang waras,” saran Falcon.
"Hmph, benar juga!"
"Aku mau pergi menyelidiki sesuatu. Kau pulanglah lebih dulu. Sampaikan semua yang kita lihat sama bos. Biarkan dia menentukan sendiri langkah selanjutnya." Falcon lalu beranjak keluar dari gubuk setelah mengutarakan pesannya.
"Nyari mangsa?" Tiger memaksa dia berhenti karena rasa ingin tahunya.
"Iya! Pulanglah, ini otoritasku." Perintahnya lagi. Tiger pun menuruti keinginannya.
Falcon kini benar-benar bebas bergerak ke mana ia suka.
Di markas mereka, Tiger menceritakan secara lengkap bagaimana kejadian waktu itu. Kronologi lengkap yang disampaikan Tiger membuat Tom geram dan kehabisan akal. Namun ia memilih untuk tidak bertindak gegabah dalam menentukan langkah yang diambil terhadap Anne Chen. Ia pun memilih untuk melakukan cara lain dalam menyingkirkanku.
Yang menjadi perhatiannya untuk saat ini adalah bahwa kepolisian telah membunuh 1 anggotanya dan 2 ditahan. Tiger menerima perintah darinya untuk bersiap-siap melakukan pesta yang telah direncanakan lalu membahas masalah itu nanti. Sementara Falcon ia bebaskan dari tugas sebagai mata-mata baginya.
Di pagi hari, dengan bermodalkan topi hitam serta jaket kulit berwarna coklat dan celana jeans hitam, Falcon menyusuri jalanan kota. Dalam pikirannya, orang yang terlibat dalam penyerangan itu adalah mahasiswa. MIT dan Harvard, adalah 2 kampus yang menurutnya menampung semua orang yang ikut serta pada pesta tersebut.
Ketika para mahasiswa jurusan Biokimia keluar di siang hari, Falcon mencoba menelusuri jejak wajah-wajah mereka. Sebelumnya, ia telah menerima pesan gambar wajah-wajah kami. Dari arah Timur, sebuah mobil berwarna biru terparkir tak jauh dari pintu gerbang Harvard. Ia melihat seorang pria keluar dan menyambut kedatangan mahasiswi yang kebetulan menempuh jurusan biokimia. Ia memotret mereka berdua dan mencocokkan dengan gambar yang ada. Keduanya identik.
Ia juga langsung menemukan identitas mereka dengan sebuah aplikasi khusus. Aplikasi peretas untuk membobol data kampus.
"Smith Harrison, Catherine Isabella. I got you!"
Selanjutnya ia melakukan perjalanan ke arah perumahan serta apartemen yang cukup mewah. Saat itu aku sedang membuang sampah yang kebetulan berada di luar pagar. Falcon tanpa sengaja berpapasan denganku dan langsung memerhatikan detail tempat kediamanku. Dari belakang, ia dikejutkan oleh kehadiran Tony yang keluar membeli makanan dan minuman dari supermarket.
"Ngapain lihat-lihat rumah ini? Siapa kau? Tukang listrik?" tanyanya dengan heran.
"Oh, ah ... saya hanya penasaran dengan formasi bangunan ini. Seni arsitektur yang dipakai, dan kawan-kawannya. Saya mahasiswa arsitektur yang magang di kota ini." Dalam sekejap, Falcon berhasil membuat dalih untuk mengaburkan penyamarannya.
"Oh!" Tony mengangguk mendengar pernyataan Falcon. "Siapa namamu?"
"Hanzel! Nama Anda siapa?"
"Miller. Mau masuk ke dalam?" Tony dengan ramah mengajaknya masuk.
"Ah, tidak! Saya masih ada urusan. Permisi!"
Falcon kembali lagi mendapatkan data kami. "Alex Stevenson, Antony Miller."
Sebelum ia pergi, Tony tanpa sengaja menghubungi Hilbert untuk menyelidiki identitas aslinya. Falcon yang saat itu merunduk langsung mencatat nama Hilbert. Dengan demikian, 5 orang sesuai informasi yang diberikan telah berhasil ia ketahui. Tetapi, Falcon memilih untuk merahasiakan ini, menunggu waktu yang tepat untuk menghabisi kami semua.
****
2 hari setelah kejadian di rumah Anne Chen, tepatnya di hari Senin, Bell secara sengaja berkunjung ke departemen tempat Sophie menimba ilmu pada pukul 02.30 PM. Jaraknya yang agak jauh membuat dirinya menggunakan sepeda yang ia bawa demi memangkas waktu. Ia cukup khawatir kalau-kalau dia tidak menemukan Sophie di sana. Dari begitu banyak percobaan, sebanyak itu jugalah ia gagal bertemu Sophie. Dari luar gedung, Bell tidak menemukan Sophie sedang bercakap-cakap dengan mahasiswa lain. Terpaksa ia masuk ke dalam gedung untuk melihat apakah Sophie mungkin sedang belajar di sana.
Sayangnya, dia tidak menemukan jejaknya ke mana pun ia pergi. Ketika dia bertanya kepada orang-orang yang berada di sana, mereka juga tidak mengetahui di mana Sophie berada. Lelah tidak menemukan dia, akhirnya Bell memilih untuk pergi ke kantin dan beristirahat sejenak. Hingga ia melihat dari kejauhan ada seorang wanita yang sedang duduk sendirian ditemani sebuah laptop. Rambutnya acak-acakan, pakaiannya sangat tidak cocok dengan kebiasaan mahasiswi kedokteran yang terkenal rapi. Bahkan jas lab saja tidak dia pergunakan. Wanita ini persis seperti berandalan kota yang gemar melakukan keonaran.
Semakin mendekat, ia melihat alisnya berwarna hitam pekat, terdapat kantung mata yang juga diwarnai dengan warna hitam serta bibirnya pun turut diolesi dengan lipstik berwarna hitam. Dengan penuh rasa iba karena dia sendiri tahu bahwa wanita itu adalah dia yang dicari selama ini, Bell mendekatinya dan berusaha mencari cara agar Sophie mau berbicara dari hati ke hati dengannya.
Balasan pertama dari salamnya sempat menyayat hatinya. Ia tidak menyangka kalau Sophie masih saja berkata kasar terhadapnya. Namun, Bell berusaha mengabaikan pikiran negatif itu dan meneguhkan hatinya agar tetap tenang dan positif. Bell mengungkapkan kembali padanya, berusaha menyadarkan kalau Sophie sudah terlalu jauh berjalan di jalan yang salah. Itu sangat menyakiti dirinya, karena itu Bell meminta Sophie untuk kembali padanya dan yang lain.
Mendengar hal itu, Sophie langsung tertawa terbahak-bahak mendengar kerinduan Bell padanya. Bagi Sophie, Bell sudah gila kalau mengatakan bahwa dia berjalan di jalan yang salah. Ia malah mengatakan kalau Tomlah yang sudah membuat pikiran dan matanya terbuka atas segala sesuatu. Jalan yang diikuti Tom untuknya sudah seperti jalan keselamatan. Sophie yang justru meminta Bell untuk mengikutinya.
Bell kembali memprotes pemikiran Sophie yang sudah di-reset oleh Tom. Apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri sangat tidak sesuai seperti apa yang ia ucapkan. Jika jalan keselamatan yang Tom tunjukkan padanya, harusnya Sophie tidak menggunakan bahasa yang kasar dan memakai pakaian yang rapi. Bell menyayangkan penampilannya yang sangat berbeda di saat aku masih berada di hatinya. Belum usai ia berbicara, Sophie langsung memukul meja dan menunjuk tepat ke wajah Bell dengan perasaan marah dan jengkel yang berkobar-kobar.
“Kuperingatkan kau! Sekali lagi kau bilang nama bajingan itu di hadapanku, kupatahkan lehermu sekarang juga!” Sophie mengancam Bell dengan serius. “Kalau kau datang cuman untuk memintaku berbaikan sama keparat sialan itu, lebih baik enyah kau dari hadapanku!”
"Aku berkata demikian karena dia nggak salah," Bell membelaku di hadapannya. Begitu nekat dia memilih untuk memperjuangkan perkaraku.
"3," Sophie mulai hilang kesabaran.
"Sophie tolong dengarkan-"
"2! Aku nggak akan nahan-nahan, Bell." Dengan ketus Sophie mengancam Bell.
"Sophie, kamu ditipu-"
"1!"
Ia akhirnya beranjak dari kursi dan menampar wajah Bell hingga ia meringis kesakitan. Tak disangka-sangka, Sophie yang ia kenal selama ini sebagai perempuan yang baik tega menamparnya. Kejadian ini semakin memilukan hatinya.
Belum selesai berpikir tentang mengapa Sophie menamparnya, badannya langsung ditegakkan paksa dan didorong dengan keras ke dinding. "Ah, aduh!" Bell kembali dibuat menderita oleh sahabatnya sendiri. Entah mengapa, sekalipun dia menatap Sophie yang begitu kejam dan kasar, Bell memilih untuk tidak melawan.
"You know nothing!"
"Sophie, please! Kamu mengenalnya dengan baik, lebih baik dari aku. Ingatlah dia kembali, bahwa semua yang ia lakukan semata-mata hanya untukmu. Alex benar-benar mencintaimu, dan tak ada niat buruk sama sekali di hatinya."