Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #22

Sampai Jumpa, Sophie!

Ayah Sophie yang berbaring di rumah sakit selama beberapa bulan ini, mendengarkan secara langsung berita dari TV yang ada di depannya mengenai penangkapan Tom dan organisasi narkobanya. Ayahnya terkejut karena orang yang selama ini dia percayai, ternyata adalah orang jahat yang ingin menghancurkan masa depan putrinya. Reporter yang melaporkan kejadian tersebut juga memberikan informasi mengenai Sophie, yang mana saat itu adalah tahanan Tom sendiri. Meski sang reporter juga menyebutkan nama-nama orang yang menolongnya, namun berita tersebut sudah cukup membuat kesehatannya menurun secara drastis, dan akhirnya tak sadarkan diri. 

Ibu Sophie yang juga berada di ruang yang sama, memanggil dokter untuk memeriksa kembali kondisi suaminya yang mengalami shock karena berita itu hingga ia tidak mampu menjaga kesadarannya. Dengan cekatan mereka semua melakukan upaya pencegahan kepada ayahnya, sementara ibunya diminta keluar terlebih dahulu. Sang ibu meneteskan air mata di saat itu, dan berusaha menghubungi Bell yang kebetulan bersama-sama dengan Sophie. 

Aku masih memeluk sambil membelai Sophie yang ketakutan akan kejadian tersebut dan berusaha untuk membuat dia tetap nyaman. Dari kursi belakang, Bell memberikan ponselnya kepada Sophie, mengatakan kalau ibunya menelepon dia. Aku mendengar Sophie menangis meminta maaf karena selama ini sudah mengecewakan mereka. Sophie saat ini masih mengenakan pakaian yang sama dengan pertemuan kami di kantin waktu itu. 

Aku tidak tau apa yang terjadi, namun dia berubah ekspresi dari menangis, menjadi terkejut tak percaya, lalu memohon kepada polisi yang mengantar kami untuk berpindah haluan menuju rumah sakit tempat ayah Sophie berada. Sang polisi menyetujui permintaannya, dan sesegera mungkin kami pergi ke tempat tujuan.

Sophie langsung berlari sesaat setelah sampai di tempat. Aku mengucapkan terima kasih kepada polisi yang menemani kami, dan menitipkan pesan kepada Hilbert, kalau kami berdua berhenti di sini, sementara Bell dan Smith tetap bersama Tony yang pergi ke rumah sakit kepolisian. Aku juga memberi pesan kalau mungkin di tempat ini aku akan mendapatkan perawatan. Dari jauh Sophie bertemu ibunya dan mereka berpelukan. Aku mencoba mendatangi mereka dan memperkenalkan diri. Berbeda dengan ayahnya waktu itu, ibu Sophie menyambutku dengan hangat.

Sophie menangis lalu berlutut meminta maaf atas apa yang terjadi, kesalahan yang dia lakukan, dan setelah mendengar penjelasan ibunya, dia sadar kalau perbuatannya menyebabkan ayahnya dalam kondisi kritis. Sang ibu menegakkan tubuhnya kemudian dan memberitahunya untuk tidak perlu khawatir dan percaya saja bahwa ia akan selamat. Dia juga meneguhkan hati Sophie, bahwa ia dan suaminya percaya pada Sophie dan tidak kecewa atas apa yang terjadi. 

Selang beberapa lama, mereka masuk ke dalam ruangan setelah mendapat izin untuk melihat keadaan ayahnya, sementara aku berada di ruangan yang lain untuk mendapatkan perawatan. Saat dokter sedang memperban lenganku, ibu menelepon kemudian. 

Aku heran, bahwa sampai pukul 00.20 AM, ibu ternyata masih bangun dan kedengaran sangat segar sekali. Semua yang ibu sampaikan adalah kekhawatiran akanku yang begitu nekat untuk terlibat dalam kejadian tersebut. Tak sampai di situ, isak tangis juga keluar dari mulutnya ketika mendengar kalau aku juga mendapatkan luka tembak. Ia memarahiku dengan sangat untuk pertama kalinya selama hampir 21 tahun ini. Yang dapat kuperbuat hanyalah meminta maaf dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. 

Ibu juga memberitahu kalau ia juga menelepon Hilbert mengenai keterlibatanku dalam penyerangan ini. Ada sebuah pertanyaan besar di dalam hatinya, yang bagi ibu sangat tidak masuk akal. Demi menjawab kecurigaan itu, aku sedikit berdalih dengan mengatakan kalau Sophie saat itu menjadi tahanan dengan modus penculikan. 

"Tapi kenapa harus ikut? Kan Hilbert saja sudah cukup?" keluhan seorang ibu memang tidak terkalahkan. "Ini pertama kali Mama lihat kamu bertindak sesembrono itu!"

"Hilbert nggak kenal Sophie, Ma!" belaku atas perbuatanku tadi. "Bukannya ini termasuk berbuat baik?" semoga, pertanyaan ini bisa meyakinkan ibuku.

"Kamu kan bisa kirim fotonya ke Hilbert, supaya pas penangkapan mereka nggak salah tangkap?" Again, ibu tak bisa ditaklukkan. Sulit sekali. "Ada banyak cara untuk menolong, Sophie. Dan untung hanya keserempet saja lenganmu itu. Kalau sampai luka fatal gimana? Alex, kamu jangan buat Mama menderita, sayang!"

"Yaudahlah, Ma! Udah lewat juga. Kan aku selamat, seharusnya itu yang kita rayakan!" aku sedikit merayu ibuku agar melembut. Namun, perkara Tom dan Sophie tak ingin kuumbar padanya. Masalah ini sungguh rumit kalau dijelaskan satu per satu, terlebih lagi karena aku memang menjadi target pembunuhan juga.

"Nggak ada udah lewat! Nggak ada perayaan!" teguran ibu membuatku sedikit panik. What will happen next? "Pokoknya, Mama ingin melihat kamu di rumah. NOW!

Perintahnya begitu jelas! Aku tidak tahu harus berbuat apa! Sekalipun ibu menangis, tapi hatiku merinding. Ibu yang dahulu begitu baik, wajahnya hanya memancarkan sukacita, kali ini berbanding terbalik. Kurasa wajah ibu akan lebih menakutkan dibanding seekor singa.

"Dok, apakah saya sudah bisa pergi?" tanyaku pada dokter tersebut.

"Saran saya, Anda lebih baik beristirahat di sini."

"Maaf, kalau ini sedikit konyol!" ujarku di depannya. "Tapi saya sedikit takut dan panik pada Ibu saya yang sedari tadi mengkhawatirkan saya."

"Apakah Anda tidak bisa membujuk orang tua Anda? Karena luka itu pasti menyulitkan Anda dalam melakukan aktivitas."

"Tidak apa-apa! Saya belajar untuk membiasakan diri. Permisi, dok!"

Aku langsung pergi meninggalkan ruangan itu demi pulang ke rumah. Ibu dari Sophie sempat berbincang denganku, namun karena perkara mendadak ini membuat waktu kami terpaksa harus berakhir lebih cepat. Beruntung masih ada taksi yang lewat, dan dengan kendaraan ini membawaku kemudian ke kantor polisi untuk mengambil mobilku. Aku juga berpamitan dengan Hilbert dan pihak kepolisian yang lain, mengucapkan terima kasih kepada mereka yang sudah membantuku, lalu dengan damai aku berangkat menuju rumah. Tetapi Ia memaksa untuk ikut denganku demi menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. 

Ibu dan ayah menyambutku di rumah sekitar pukul 1.15 AM. Ketika aku keluar dari mobil, ibu langsung berlari ke arahku dan mencium dahiku tanda kekhawatirannya. Ayah juga mendatangiku, dan kami berpelukan di sana. Sementara aku tinggal bersama ayah dan ibu, menghindari kejadian lain yang tidak diharapkan. 

Di pagi harilah Hilbert menjelaskan segala sesuatunya kepada ayah dan ibuku mengenai aksi heroik tersebut. Kakakku, Darren juga menghubungiku paginya setelah melihat berita di TV tentang penyerangan tersebut. Aku membuat mereka semua khawatir, tapi untungnya aku dan yang lain semuanya selamat, meski Tony dan aku harus menerima luka tembak di lengan masing-masing.

Setelah semua berada dalam kondisi yang memungkinkan, Tony diizinkan untuk kembali ke rumah. Aku bersama dengan Smith dan Bell menjemputnya dari rumah sakit dengan kondisi tangan di perban. Bukannya sedih, tapi wajahnya begitu gembira ketika bertemu dengan kami.

"Thank you for coming!"

"Santai!" balas Smith tenang. Masing-masing kami menjabat tangannya. 

"Kau dimarahi, kan?" pertanyaan yang entah datang dari mana, langsung menciutkan hatiku. Dasar, Tony!

"Lebih dari itu, bro!" terpaksa aku memberi bocoran kejadian tersebut. "Kalo kau ada di sana, pasti ketawa-ketiwi kau melihatnya!"

"Kan udah dibilang berkali-kali, kau aja yang bandal!" nasihat lagi, nasihat lagi!

"Alex, nakal!" Bell bahkan turut mengomentariku. "Alex, nakal!"

Aku menatapnya dengan sinis. "Bell, jangan coba-coba untuk ngeledek Alex Stevenson!"

Parahnya, ia justru menjulurkan lidahnya. Kami pada akhirnya hanya bisa tertawa. 

Lihat selengkapnya