Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #23

Pulih

Setelah sekian lama, gitarku yang dulu masih mulus bagaikan mobil baru kini mulai usang tertutupi debu. Aku meniup keluar debu tersebut, membersihkannya, dan mulai memainkan gitar itu. Terakhir kali aku menggunakannya 9 bulan yang lalu. Jari-jari ini sudah sangat kaku dan terasa sakit saat menekan senar tersebut. Tapi aku berusaha supaya mereka mulai terbiasa dan skill yang dulu ada perlahan mulai kembali. Meskipun aku menganggap diriku mahir memainkan gitar, tapi aku adalah penyanyi terburuk yang pernah ada. Seumur hidup, aku tak pernah tau cara bernyanyi dengan benar. 

Kadang kala, ketika aku bernyanyi di teras rumah, bukan pujian yang masuk ke telinga. Dari kiri dan kanan rumah, yang selalu terdengar adalah umpatan dengan rangkuman menyatakan bahwa suaraku jelek. Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin, setidaknya mencapai sebagian kecil dari suara Shane Filan, penyanyi favoritku. Pikiran itu kadang masih saja menghantui ketika hendak bernyanyi, jadi satu-satunya pilihan terbaik ialah menggila di kamar mandi. 

Aku melakukan semua ini untuk satu hal, yaitu menyatakan cintaku pada Sophie. Pertumbuhan kedewasaanku tentang komunikasi memang mengalami kemajuan pesat. Sejauh ini, aku sudah lumayan terampil dalam memulai pembicaraan, dan kelihatan dari beberapa gadis yang naksir padaku. Tetapi, rasanya aku lebih senang dan puas bila menyampaikannya lewat sebuah lagu. Terlepas betapa buruknya suara ini!

****

Smith duduk di kursi belakang, tempat favoritnya saat ini. Tetapi ini mengherankan, melihat dia sudah terlebih dahulu berada di kampus. Aku kemudian duduk di sebelahnya, dan semakin terpana lagi kalau dia sedang membaca buku saat itu. Apakah ini karena efek sebentar lagi akan segera lulus atau tidak, aku tidak tahu. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah bertanya langsung kepadanya. 

"Wow, ada apa ini? Di luar dugaan banget, bro!" pujaku. 

"Surprise!"

"I never thought that you were the first person that come to this campus than me."

“Bentar lagi kan mau wisuda, jadi aku pengen merekam memori indah kampus ini." Smith menjelaskan maksudnya. 

Aku menyipitkan mataku, merangkul dan sedikit menggodanya. “Takut dilanda rindu?”

Dia tersenyum kepadaku.

Ia lanjut pula membaca. Setelah kuperhatikan, ternyata yang dia pegang hanyalah sebuah majalah. Aku berharap dia memang sedikit meniru perilakuku yang selalu membaca buku pelajaran sebelum sesi dimulai. Tebakanku kali ini salah.

Smith bertanya padaku tentang apa yang akan kulakukan selanjutnya soal Sophie. Keraguan menyelimuti hatinya, mengingat bagaimana ia menghancurkanku dalam sekejap, padahal dia sendiri yang tertipu. Bagi Smith secara pribadi, seharusnya mengasihinya sudah lebih dari cukup. Mencintai orang yang telah menyakitinya adalah sebuah keanehan yang tak mampu ia cerna. Ada 1 harapan darinya yang sangat mendalam agar aku berpikiran lebih terbuka dalam memilih wanita lain sebagai pasangan hidup dibandingkan bertahan pada apa yang sudah rusak. 

Aku mendengarkan secara saksama semua yang dikatakan. Semua yang dia utarakan kuperhatikan dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman. Senyuman kuberikan padanya sebagai tanda, bahwa aku mengerti isi hatinya terhadapku yang sungguh murni. Smith ingin aku berhasil dalam hubungan ini lebih dari dirinya. Aku sangat berterima kasih akan hal itu. He is a good friend.

Tetapi setelah berbagai pertimbangan, aku tidak mampu meninggalkannya sendirian.

Sebuah penjelasan kuberikan padanya mengenai apa yang telah kuperhatikan beberapa hari ini tentang kondisinya. Sophie sendiri bahkan sudah kehilangan keinginan untuk mencintai karena takut mengalami hal yang serupa. Ada beberapa laki-laki yang kudengar mencintai Sophie dengan setulus hati, tetapi dia menolaknya. Bagiku secara pribadi, dia sebenarnya sudah burn out dan kehilangan baik cinta maupun kasih. Sophie seperti kehilangan identitas dan rasa berharga karena kasih yang dia miliki dikuras oleh gaya hidup Tom. 

"Berarti kau berniat untuk memulihkannya?" tebak Smith.

"Cuman itu yang bisa kulakukan." Balasku sambil menatapnya kemudian. 

Mendengar pengakuanku, ia menggeser badannya dan kini menatapku. "You sure about that?" tanyanya memastikan.

Aku kembali memandang wajahnya, lalu perlahan berpaling dan mengangguk.

Smith menghela napas sejenak, lalu mulai mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Bukannya kau udah merelakan cintamu, persis dengan yang kau ucapkan waktu itu?"

"Aku-"

"Kau masih yakin kalau dirimu saat ini bisa melakukannya, sementara banyak pria yang udah gagal?"

Dengan menaikkan kedua bahuku, tersirat makna bahwa aku pun tak yakin akan hal itu. "I'm not sure! Perhaps, she's afraid of me."

"That's the fact!" tegasnya. "Maaf, bukan meragukanmu. Cuman, setiap bejana yang rusak dan diperbaiki akan tetap menyisakan luka."

"Benar, itu udah jadi ketetapan yang nggak akan bisa dibantah. Tapi aku punya pilihan mengenai itu. Jangan melihat ke belakang, benar kan?" balasku akan keraguannya. Dia yang mengajarkanku hal itu, namun mengapa ia kini meragukannya? Sudah berkali-kali bahkan! 

"Aku tahu kau udah pulih. Namun, Sophie belum tentu demikian."

"Wait, wait, wait. Kenapa jadi kau yang ragu-ragu?" tanyaku penuh keheranan. 

"Kau tahu kalau itu membutuhkan waktu yang lama. Kau harus selalu berada di sampingnya agar Sophie menyadari kalau dia berharga; kegagalan satu kali maupun berkali-kali nggak mencerminkan identitasnya. It just, aku nggak bisa membayangkan beratnya perjuanganmu nanti." Ujarnya penuh kepedulian. 

Mendengar itu, aku hanya tertawa kecil. Memang tidak salah, dari pada mempertahankan yang sudah retak mending ganti yang baru. Dari pada mempertahankan hubungan yang sudah rusak, mending membangun hubungan yang baru. Tetapi, dia sudah seperti bagian dari diriku. Aku tak rela dia menjadi hancur tanpa dapat kupulihkan. "Karena itu aku mau tetap mencintainya!" balasku tegas. 

Agar dia bisa dengan lega dengan keputusanku, aku merangkulnya dengan hangat. "Hidup itu perjuangan," ujarku sambil menepuk dadanya. "I'll fight for her like I did before."

Ia mengerti kemudian dengan apa yang kumaksud. Masuk akal baginya, di mana hati orang yang menyakiti hanya dapat dipulihkan oleh orang yang disakitinya. Hanya aku yang mampu membuatnya kembali kepada identitasnya dahulu, bahwa Sophie berharga. Aku telah menerima dirinya secara utuh tanpa mengingat kembali semua masa lalu yang pahit. Itulah yang ia simpulkan dari perkataanku yang masih tetap mau mencintainya. 

"Yah, kalo itu pilihanmu, maka lakukanlah! Yang penting dia kembali kepada identitasnya yang dulu."

Pandanganku beralih kemudian ke arah pintu untuk melihat apakah dosen sudah datang. Anne Chen lalu muncul dari balik pintu dan berjalan melewati kami sambil tertunduk dengan topi di atas kepala. Smith bertanya padaku tentang hal aneh apa yang ia rasakan. Aku dibuat bingung oleh pertanyaan itu.

Ini menjadi yang kesekian kalinya dia duduk satu barisan dengan kami, namun ekspresinya cukup mencurigakan. Smith mencoba menyapanya, namun dia terlihat seperti waspada sekali akan keadaan di sekeliling. Baik aku dan Smith menilai kalau apa yang ia alami saat ini harusnya menjadi tanda tanya. Aku menjadi penasaran dan ingin sekali mengetahuinya. 

“Ada yang mengganggumu, Anne?” tanyaku. 

Dia yang tadi bersikap acuh tak acuh, memutuskan kemudian untuk bergeser ke arah kami. Wajahnya mencoba untuk lebih dekat pada kami serta membisikkan apa yang ada di dalam hatinya. “Kalian masih ingat ‘The Royal Family’, kan?”

Baik kami berdua terkejut mendengar hal itu. Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa dia masih mengingat-ingat organisasi tersebut? “Ya, tentu! Ada yang salah dengan mereka?” tanya Smith mewakili kebingungan kami. 

“Instingku berkata, polisi belum menghabisi mereka seluruhnya. Aku bertaruh kalau sebagian dari mereka kemungkinan bermain underground. Dan hati serta pikiranku sepenuhnya yakin, aku adalah salah satu targetnya!”

Smith tertawa mendengar hal itu, sebab baginya Anne Chen sedang berhalusinasi. Ia paham dengan apa yang dialaminya, terlebih karena hal itu menyangkut nyawa. Tetapi segala sesuatunya telah terjadi dan selesai di tangan polisi. Ia sendiri juga turut melihat secara tidak langsung lewat berita kalau kelompok Tom sudah dihancurkan. Jadi tidak ada yang akan mengejarnya lagi seperti seorang penagih hutang. 

Walau demikian, ia bersikeras pada apa yang ia percayai. Aku sedari tadi hanya merenung tentang bagaimana ia bisa berpikiran seperti itu? Adakah sesuatu di masa lalu yang terlewat dari pertanyaan Hilbert waktu itu? Jika memang demikian, mengapa dia tidak mau berkata jujur? Jikalau tidak, hal apa yang membuatnya tetap takut dan khawatir, bukannya bahagia layaknya orang merdeka? Apakah tindakan yang kami lakukan tidak cukup untuk meyakinkannya? 

Smith semakin menggila dengan tawanya karena candaan Anne Chen yang kelewat lucu. Meskipun dengan cara yang sederhana ia menjelaskan padanya kalau mereka semua sudah tewas dan Tom sudah dihukum mati, tetap saja ia tidak percaya. Dengan rasa kesal, ia mengecam Smith dengan berkata kalau tawanya saat ini akan menjadi dukacita mendalam yang tak terpikirkan rasanya. Meski sudah mendapatkan peringatan, Smith hanya menganggap itu sebagai angin lalu. Sesuatu yang tidak perlu ditanamkan di dalam hati. 

Hari Jumat, tepatnya ketika sesi terakhir usai, Smith bertanya padaku mengenai hari esok. Keingintahuanku akan maksudnya dijawab dengan sebuah permintaan, bahwa ada seseorang yang ingin belajar bermain gitar denganku. Ia mencoba memujiku dengan maksud membuatku menerima permintaan itu. Penasaran dengan siapa nama orang tersebut, namun dia pergi begitu saja tanpa sebuah jawaban. Terpaksa, aku sendiri yang harus mencari tahu. 

Lihat selengkapnya