Sungguh, entah mengapa begitu senang rasanya sejak itu. Bagaimana kami dengan mantap menyelesaikan presentasi tersebut, diiringi tepuk tangan dari seluruh siswa. Hal ini berlangsung selama 30 menit sejak aku belajar secara mandiri. Ada sesuatu yang berbeda dibandingkan sebelumnya. Mungkin karena Sophie?
Well, jika berbicara tentang dia, ini merupakan pencapaian terbesarku semenjak waktu itu. Mengingat untuk bertahun-tahun lamanya aku hanya berteman dengan laki-laki, rasa canggung selalu datang menghampiri. Bahkan yang lebih parah dari itu pun aku sudah pernah rasakan. Begitu menyakitkan! Aku bahkan sampai hari ini masih mengingatnya. Dan tiba-tiba ..., kenangan itu muncul.
"Hai, Alex!" Dina menepuk pundakku dari belakang.
Sontak itu membuatku terkejut. Badanku turut merespon dengan gemetar. Ketakutan yang begitu kuat memenuhi seluruh pikiran dan perasaan. Degup jantung berdetak cepat, napasku mulai tersengal-sengal. Gawat! "Ma-mau ... apa ... kau ... dariku?" balasku sambil memberanikan diri menggeser pandanganku.
"Ka-kamu kenapa? Badanmu kok gemetaran?"
Perlahan-lahan air mataku mulai menetes. Aku sudah tidak kuat, dan akhirnya aku melarikan diri sambil berteriak. Bersembunyi di mana pun, asalkan tidak ditemukan orang lain.
"Ah, Alex TUNGGU!" Dina berlari mengejarku, namun berhenti di dekat pintu.
Tony yang tahu kejadian waktu itu langsung menemui Dina yang nematung kebingungan. "Sorry, susah jelasinnya. Bilang aja apa yang kau perlukan darinya."
"Soal pelajaran?" Smith turut menghampiri mereka berdua.
"Smith, kutinggal, ya! Aku mau ngejar dia."
"Chill!"
Dina jadi penasaran karena sikapku. Ada beberapa yang menertawai, namun mereka kembali diam setelah melihat ekspresi Smith yang kesal.
"Aku mau belajar Fisika. Kamu bisa ngajarin, kan?"
"Oh, gampang! Sini biar kuajarin."
Toilet adalah tempat terbaik untuk bersembunyi. Saat itu, pikiranku kacau balau. Terkenang banyaknya pukulan dari benda tumpul yang masuk ke tubuhku. Aku benar-benar ketakutan. Satu-satunya harapanku ialah pergi dari dunia ini dan menyendiri tanpa ada satu pun orang yang menemani. Tetapi tiba-tiba telingaku mendengar langkah kaki mendekat.
"JANGAN MENDEKAT!"
"Alex, tenanglah!"
"KUBILANG JANGAN MENDEKAT!"
"Dude it's me, Tony!" selangkah demi selangkah ia mencoba mendekat ke kamar toilet tempatku bersembunyi.
"You want to hurt me, don't you? SAY IT! YOU WANT TO TORTURE ME?"
"I'm here to help!"
"FUCK OFF! Stay back, I warn you!"
"Don't worry! I ain't gonna hurt you!" Tony masih mencoba membujuk.
"Alex ...? Alex ...?" suara seorang wanita terdengar dari luar toilet. Bukan hanya aku, tetapi Tony juga terkejut.
"Ah, Bibi!"
"Di mana Alex?"
Tony kemudian menunjuk ke arah ujung sebelah kiri toilet. "Bibi jangan gegabah. Dia trauma berat."
"Mama mau aku pulang?" ketakutanku semakin menjadi-jadi.
"Sayang, Mama cuma mau memeluk-"
"LIAR! MAMA MAU AKU DISIKSA, KAN?"
"Nggak, anakku. Nggak!"
Ketidakpercayaan akan perkataan itu menguasai otakku. Saat itu, aku sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupku secepat mungkin dari pada harus menjalani hidup yang pahit ini. "Dari pada menderita, lebih baik AKU BUNUH DIRI!"
Dengan secepat mungkin aku melilitkan ikat pinggang ke leher dan menariknya sekuat yang kubisa. Tapi aku kalah cepat dari ibuku yang langsung menyergap masuk dan memelukku dengan air mata yang berlinang. Seketika ingatan itu berhenti, namun situasinya entah kenapa bisa sama.
Tanpa kumengerti, aku kini sudah berada di lantai dan kursi itu sudah terlempar tepat di hadapanku. Sementara sesosok wanita mendekap tubuh ini dengan hangat walau tak merasakan hangatnya air mata. Ketika melirik wajah itu, hanya ada kekhawatiran yang meluap dari hati dan terpancar jelas di wajah. The one that I love. And the one who loves me.
"Mama di sini, sayang!" ujarnya menenangkan napas yang tersengal-sengal ini. Belaiannya sungguh lembut. Perlahan stabilitas emosi mulai terlihat. Aku mulai kembali sadar.
"Mom!"
She smiles. "You're back, Alex!"
"Huh!" dengusku. "Thanks, Mom!"
"I know it's hard for you. Having such a terrible moment and grow up without know what's going on in the past."
"Aku nggak yakin bisa sembuh dari ini." Balasku pesimis.
"Kamu bisa pulih!"
"I hope so!"
"Istirahatlah sekarang! Kamu perlu menenangkan diri karena rasa traumu." Atas saran ibu, aku memutuskan untuk tidur dan melupakan belajar mandiri hari ini. Tugas memang kosong, tapi hambar rasanya bila tidak belajar. Setelah menimbang beberapa menit, aku malah ketiduran.
Tiada yang buruk dari mimpi kali ini. Beruntung sekali aku tak perlu harus mengulang kembali kejadian yang sama berkali-kali. Namun rasanya agak aneh. Ketika malam maupun dini hari biasanya telinga akan lebih peka terhadap suara. Dalam Fisika, alasan kenapa suara lebih terdengar di malam hari dari pada siang hari adalah karena faktor suhu. Gelombang suara akan lebih cepat merambat pada cuaca panas dari pada dingin. Di malam hari, suhu permukaan bumi jauh lebih hangat dari pada suhu atmosfer, sehingga gelombang suara yang bergetar dibiaskan atau dipantulkan ke bumi.
Tapi sampai saat ini, tak ada terdengar olehku suara ibu memasak di dapur. Sepertinya, jam tidurku lebih cepat dibandingkan mereka. Dan benar saja, sekarang masih pukul 04.03 AM. Jatah tidurku bertambah cukup signifikan yang biasanya 6 jam 30 menit. Akhirnya, aku memutuskan untuk belajar.
Begitu nikmat rasanya belajar di pagi hari seperti ini. Semua ilmu yang kupelajari lebih gampang dimengerti. This is so fun. Hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 06.00 AM. Sebelum bergegas, aku mengecek ulang bagian yang sudah kupelajari.
"Everything is clear!" ujarku dengan penuh kebahagiaan. "Let's get to work!"
Beautiful Morning! Selama perjalanan, mentari pagi menyambut dengan ramah dan hangat. Kali ini aku bisa menikmati hari dengan lebih tenang, santai, dan damai. Ingin rasanya keluar dari mobil dan memilih berjalan kaki. It'll be a good idea. Dalam Biologi, olahraga sederhana di pagi hari seperti jalan akan membuat jantung salah satunya, lebih sehat. Satu-satunya alasan kenapa aku tidak melakukannya karena mengejar waktu walau sesantai ini. Belajar adalah makanan utamaku.
Here I am, dengan waktu yang tersisa cukup banyak sebelum memulai jam pelajaran. 30 menit yang kupunya harus kumaksimalkan dengan baik, demi nilai dan prestasi untuk orang tuaku, khusunya ayah. Harga yang sebanding, bukan? Tidak mengherankan bila mereka menamaiku "buku berjalan", "kutu buku", "si jenius", dan mungkin masih banyak lagi. Belakangan nama-nama itu kerap kali terdengar, dan kadang kala sering disampaikan oleh teman-teman. Yang lebih mengherankan lagi, ada siswa yang merasa dirinya "setara" denganku. Orangnya pun tiba juga.
"Yow, man! Wassup?" sapanya dengan penuh semangat sambil menepuk tanganku.
"Good! As always!"
"Eh, eh, eh, you're trying to compete me?"
Here we go! Dia sudah mulai kumat lagi. "That's a great joke! Truly!" semoga sindiran ini bisa membuatnya berhenti menggangguku.
"Jangan songong, bro! Hitam-hitam gini tetap aku lebih tampan dari Leonardo DiCaprio. Dungu-dungu gini tetap aku lebih cerdas dari A-"
"Shuddup, punk!" Smith mendorong dengan kuat Matthew dari meja kami.
"How dare you! Who you think you are, huh?" dia mulai terlihat kesal. This gonna be real interesting.
"I'm the police, orang yang bertugas menangkap penjahat kayak kau!"
"The police, huh? You think you can catch me, Mr. S to the H?" dia mulai menantang Smith. Aku hanya bisa tertawa melihat bagaimana ini akan berlangsung. "I don't think so!"
"Rekor kita masih 20:20."
"Catat, Alex! 21:20." Matthew terlihat begitu percaya diri.
"For you?"
"Who else?"
Baik Matthew dan Smith mengeluarkan kartu siswa mereka masing-masing.
"A'ight!" aku kemudian mengulurkan tangan dan mulai menyetel stopwatch di jam tanganku. "I'll give you 5 minutes. Yang bisa mencuri kartu lawan dan membawanya samaku dalam 5 menit, berarti yang kalah ...."
"Nraktir makan siang!" jawab mereka serempak.
Saat ini, situasi kelas mulai ramai. Terdengar jelas di telingaku kalau mereka sudah siap menjadi pengganggu bagi mereka berdua. Di sebelah kiri sudah ada Dave yang sudah siap dengan kamera ponselnya. Dia mengacungkan jempol ke arahku. Sementara yang lain mengangguk tanda siap memberi rintangan. Permainan chase tag ala St. Jacob sudah sangat dekat.
"In 5, 4, 3, 2, 1, and start!"
Matthew mengambil inisiatif tapi kalah cepat dibanding tangan Smith.
"My turn!" ujar Smith setelah berhasil menghindari tangkapan Matthew. Yet, dia juga gagal.
"Hahaha! It's not gonna be easy, fool!" cemoohan Matthew memantik emosi Smith.
"Damn you!"
Mereka lalu kejar-kejaran di kelas sambil harus menghadapi siswa lain yang ikut mengganggu. Kami semua tertawa melihat mereka yang berusaha mati-matian demi makan siang gratis. Tersadar kemudian, bahwa seharusnya aku belajar hari ini. Namun ketika aku mulai membaca lagi, baik Matthew dan Smith sudah kembali ke meja sambil berusaha meraih baju masing-masing. Ada kalanya tangan salah satu dari mereka menampar kepalaku walau tak sengaja.
"Sorry, mate!" ternyata Smith yang melakukannya. Aku hanya bisa menghela napas karena benar-benar tak diberikan kesempatan untuk membaca.
"Nanti aja itu!" seru Matthew sambil tertawa terbahak-bahak. Kekesalanku seketika berubah menjadi sebuah senyuman. Sepertinya, aku harus menunda ini kembali. Ya sudahlah! Mungkin bukan saatnya untuk ini. Lagi pula, kalau dipikir-pikir ini juga baik bagiku setelah kejadian semalam.
Matthew masih tertawa karena kartu siswanya masih belum bisa dicuri oleh Smith. Demi mendapat ruang yang lebih luas, ia memilih keluar kelas dan berharap dia juga ikut terjun. Tepat di depan pintu, muncul secara tiba-tiba the Girl gang, sebuah grup yang berisi perempuan-perempuan pembuat kerusuhan; meski yang rusuh sebenarnya Kathy dan Helen. Saat itu yang berada di barisan depan adalah Bell, sehingga secara refleks Smith menghentikan langkahnya dan mengubah arah untuk mengejar Matthew.
Helen juga ikut terkejut dan langsung memarahinya. "Hei, hati-hati kalo lari!"
"Kamu nggak kenapa-napa kan, Bell?" tanya Annie sambil memegang pundaknya.
"Ah, nggak!" balasnya simpel. Namun dalam pikirannya, ia memutar kembali kejadian itu. Ada sedikit senyuman yang muncul di wajahnya. Hal itu memunculkan reaksi spontan dan membuat Kathy mulai curiga.
"Bell, kau senyum ya barusan?"
"Eng-enggak!" tampiknya. "Udah, ah! Masuk, yuk!" ajaknya pula sambil mengibaskan rambutnya. Baru mendekati meja pertama kelas, kembali lagi mereka dikejutkan oleh Matthew dan Smith yang lagi kejar-kejaran. Matthew secara sengaja menarik Bell ke belakangnya agar menghalangi Smith menangkapnya. Terpaksa ia memegang Bell dan disaat yang bersamaan, mereka pun bertatap-tatapan.
Para murid yang melihat itu langsung merespon dengan sorak sorai. Suara riuh menghentikan permainan mereka kala adegan romantis mereka pertunjukkan. Bell hanya tersipu malu, sementara Smith semakin menjadi-jadi. Namun bukan hanya dia saja yang kepancing, Helen pun turut serta ingin memberi pelajaran Matthew. Merasa paham apa yang akan terjadi, Matthew mulai mencemoohkan mereka dengan memberikan thumbs down. And here we go, yang sudah-sudah kembali terjadi. Satu-satunya yang bisa menghentikan mereka hanyalah Tony.
Dia pun tiba ketika pikiranku memunculkan namanya untuk mengatasi ini. Sambil menyandang tas di sebelah bahunya, ia langsung diam tak berkutik.
"Hey dude-" belum sempat memohon, ia sudah disergap oleh Smith dari belakang.
"Gotcha again, Matthew!"
"Aw, damn!"
"Enjoy this, shithead!" tanpa ampun Helen langsung menggelitiki Matthew. Semua yang melihat hal itu tertawa lepas. Dia pun mengaku menyerah dan mereka berdua langsung melepaskannya.
"Huh, huh, oh my gosh!" desahnya kelelahan. "Next time ... huh, huh, ... I'll-"
"Nraktir makan siang?" sambung Helen tiba-tiba.
"What?" Matthew terkejut. "Bukan itu kesepa-"
"Deal!" potongnya lagi sambil menjentikkan jarinya. Mereka kemudian terlibat dalam diskusi yang dalam dan mencekam perihal siapa yang akan membelikan makan siang.
Smith yang kelelahan langsung menjatuhkan badannya lalu merentangkan tangan kanannya sehingga kepalanya bisa bertumpu di atasnya. Aku hanya bisa tersenyum melihat ulah mereka sedari tadi. Konyol tapi menghilangkan rasa perih dalam hati. Sementara itu, dari pada menaruh tasnya ia memilih untuk menemuiku yang masih bungkam di depan buku. Dia memegang pundakku, lalu memijitnya beberapa kali sambil melontarkan tatapan peduli.
"Thanks, buddy!"
Mendengar itu, dia hanya tersenyum dan meninggalkanku.
"Kau ngigau, ya?" Smith yang kukira tidur, kini mengagetkanku dengan tuduhannya.
"Ha? Nggak?"
"Jadi untuk siapa barusan ucapan terima kasihmu?"
Tak disangka-sangka, Sophie lalu muncul dan menyapa orang-orang yang ia lewati.
"Untuknya?" tanpa basa-basi, ia langsung menunjuk Sophie, dan parahnya ia melihat hal itu.
"What? No! Buk-"
"Kenapa, Smith?" Sophie pun akhirnya mengunjungi kami.
"Ini tadi, si Alex bilang terima kasih samamu."
"Oh, iya?" dia sangat excited. But not me!
"Bu-bukan. A-aku berterima kasih sama Tony."
Secara mengejutkan, dan aku pun merasa bingung mengapa hal ini terjadi, peristiwa antara aku dan Dina. Padahal dia cuma menyapa, tapi mengapa ini masih terngiang. Semua perasaan bercampur aduk di kepalaku; takut, sedih, marah, kesal, geram. Beberapa yang melihat langsung bingung akan reaksiku. Ingin sekali rasanya menghilang dari bumi ini hanya untuk terlepas dari belenggu masa lalu.
Tanpa kusadari, di luar memori pikiranku yang menguasai, Tony meminta Sophie untuk menggenggam tanganku. Smith berusaha untuk menyadarkanku, dan untuk beberapa waktu kemudian, aku kembali dari ingatan tersebut. Melihat sudah banyak siswa yang berdiri sementara tanganku digenggam oleh Sophie, aku paham bahwa reaksi barusan mengundang perhatian mereka.
"You good, buddy?" begitulah pertanyaan yang datang kepadaku. Setelah merasa tenang dan damai, mereka pun kembali ke kursinya dengan sebuah pertanyaan serupa di hati masing-masing. "Apa yang sebenarnya terjadi padanya?"
"Alex, your Mom loves you!" kalimat indah itu kembali terlontar dari mulut Tony. "She really loves you. And your brother too."
Responku lagi hanya tersenyum. "Sorry, kalian harus melihat ini."
"Kamu yakin nggak apa-apa?" Sophie mencoba memastikan. Kali ini, aku benar-benar diam.
"Eh, ini tinggal 5 menit lagi. Sophie, lebih baik kau duduk di kursi sekarang." Kata Smith menyarankan. Dia masih belum mau beranjak karena masih ada sisa kekhawatiran dalam benaknya. Namun setelah aku mengangguk, ia pun meninggalkan kami. Tony secara naluriah mengambil botol minum yang berada di samping tasku dan menyerahkannya. Setelah melalui beberapa tegukan, ia kembali ke kursinya dan pelajaran pun dimulai.
Pelajaran berakhir dengan baik, but hatiku masih ada yang mengganjal. Dan satu-satunya yang terpikirkan adalah ingatan itu. So embarrassing! I mean, mengapa belakangan momen itu yang muncul? Apa ini berhubungan dengan presentasi itu serta aku yang menemani Sophie ke taman? Aku jadi benci dengan masa laluku! Jikalau ia melakukan sesuatu yang buruk, hal yang lumrah bila pikiranku memunculkan kenangan pahit tersebut. Sementara dia hanya bersandar, dan aku sudah kacau sedemikian rupa. Yang lebih parah lagi, ini terjadi di sekolah!
Hal itu semakin memicu keinginanku untuk segera kembali ke rumah. Sambil berkendara, aku merenung mengenai di mana celah yang selama ini tak kutemukan kini meneteskan air. Untuk beberapa lama, aku benar-benar bisa fokus belajar. Benar-benar fokus! Terbukti dari semua nilaiku yang begitu bagus. Tidak ada angka 7 dan 8. Semuanya 9. Jadi kalau masa itu bisa kulalui dengan baik, why this is different?
Di tempat yang lain, Matthew sedang duduk di palang besi sambil memegang soda pop yang baru saja ia teguk.
"Udah lama?" mereka berdua kemudian beradu tos.
"Nggak juga. You?" tanyanya balik.