Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #3

Pilihan Dalam Tekanan

Malam tiba, dengan semua kegelapan yang menutupi wajah bumi, Sophie pun akhirnya tiba di rumahnya. Ia tahu bahwa waktu sudah sangat larut untuk anak SMA, kecuali jika mereka pulang terlebih dahulu. Walau demikian, ia tidak terlalu khawatir karena sudah mengantongi sebuah alasan yang bagus dan tepat. Dan sejujurnya itu adalah kebenaran. Dengan mantap ia membuka pintu rumah, berharap semua skenario yang telah ia pikirkan berjalan dengan baik. Tetapi tepat setelah ia melihat ibu dan ekspresi wajahnya yang menyeramkan, kecurigaan akan sesuatu yang janggal dapat Sophie rasakan.

"Dari mana kamu?" sang ibu mencoba untuk menginterogasinya.

"Belajar, Ma! Kenapa?" Sophie dalam hati mulai merasa tidak nyaman.

"Belajar kok pulang jam segini? Tahu waktu, nggak?"

"Tahu, Ma!" gumamnya.

"Jam berapa sekarang?"

"Jam 8.07 PM!"

"Kok bisa pulang selarut ini? Hah?"

"Ya kan, namanya-"

"Halah, nggak usah banyak alasan!" potong ibunya. "Pasti kamu main-main dengan teman-temanmu, bukannya belajar. Iya, kan?" ia mulai dituduhkan dengan hal-hal yang bukan sebenarnya.

"Habis-habisin duit, habisin waktu, habisin tenaga; bukannya dapat ilmu, malah jadi beban keluarga." Makinya di hadapan Sophie.

"Aku memang belajar, Ma!" belanya kemudian.

"Terus kamu dapat apa? Kamu emangnya belajar apa tadi?" tanya sang ibu sambil menaikkan dagunya. "Kalo kamu beneran belajar, coba kasih tahu Mama."

"Tentang Biologi-"

"Ah, bohong kamu!" tampiknya. "Kalo kamu niat belajar, harusnya pulang dulu ke rumah baru pergi belajar bersama-sama."

Mulai gerah, Sophie pun mulai menaikkan suaranya. "Mama kenapa, sih? Makin ke sini kok makin menjengkelkan?"

"Gimana nggak menjengkelkan? Kamu kerjanya keluyuran, belajar jarang, selalu aja membanggakan prestasi renangmu, padahal nggak akan menghasilkan apa-apa untuk masa depanmu, selalu membangkang kalo dibilang jadi dokter. Mau apa lagi yang harus Mama katakan?" semua kesalahan Sophie diumbar tepat di depan mukanya. 

"Aku lakuin ini salah. Giliran sekarang aku beneran belajar, juga dianggap berbohong. Kenapa sih aku selalu disalah-salahin?" sakit hatinya mulai mengalir lewat perkataan barusan. "Bukannya senang lihat anaknya berusaha malah justru dikatain yang negatif. Orang tua macam apa itu?" celanya kemudian. 

"BERANI KAMU NGOMONG GITU?" tak terima, ibunya kemudian langsung menampar wajahnya. 

Sophie mencoba untuk menahan semua perasaan negatif yang berniat keluar. Denyut akibat tamparan tersebut begitu kuat, dan ia sadar kalau ini sudah menjadi ke-5 kalinya ia menerima pukulan itu. Semua karena satu masalah: masa depan! Sudah 4 kali ia membela diri kalau masa depan ditentukan oleh pribadi tersebut, bukan orang lain. Namun tiap kali mengatakannya, ia kerap dianggap sebagai pembangkang. Kesabarannya hampir mendekati puncak, jika ini masih berlanjut, mungkin perang akan terjadi. Dan ia pun memilih jalan terbaik: masuk ke kamar. 

"Hei, Sophie! SOPHIE! Mama belum selesai ngomong!" ibunya langsung menarik tangannya agar tidak melarikan diri. Namun Sophie mencoba untuk melawan agar tidak menimbulkan kegaduhan lebih dari pada ini.

"Lepasin, Ma!"

"DIAM! DIAM KAMU! Kamu harus berlutut di sini dan dengarkan Mama ngomong!" perintahnya dengan keras. "Jangan berpikir untuk melawan."

"Nggak mau! Aku nggak mau!" Sophie menolak mentah-mentah perintah ibunya.

"ENOUGH!" seru ayahnya dari belakang. "Jangan lagi kulihat ada yang ribut-ribut di sini. Sophie, naik ke kamar!"

"Iya, Pa! Terima kasih!" balasnya. Ia menaiki tangga menuju kamar. Namun tak dapat ia tahan lagi, betapa hancur dan remuk hatinya. Air matanya menetes, menyadari kalau semua usaha yang ia lakukan seperti tidak membuat hati ibunya terbuka akan sebuah peluang kerja. Dia tahu kemampuannya, dia paham kualitasnya, dia tahu di mana ia bisa berkembang. Hanya saja, itu saja tidak cukup!

Sang ibu menjadi kesal karena Robert menghentikan pembicaraan mereka. "Apa-apaan ini? Aku berusaha supaya dia mau menjadi seperti yang kita mau, tapi kenapa kamu yang malah menghalangi?"

"Benar, harapan kita besar untuknya. Dan menjadi dokter adalah sebuah pekerjaan yang sangat menolong kita. Tapi apakah itu juga yang ia inginkan? Apa kamu menjadi seegois ini terhadapnya?"

"Lalu gimana? Apa aku harus membiarkan kamu menderita?"

"Jadi penyakitku yang udah merusak pikiranmu sehingga bertindak sebegitu bodohnya?" pertanyaan barusan membuat hati Marie tertusuk.

"Sekarang siapa yang egois?" tanyanya balik dengan nada kesal. "Rendah sekali kamu anggap penyakit itu, ya? Hmm? Tak pernahkah sedetikpun kamu berpikir tentang hatiku ...," air mata sang ibu mulai menetes, "yang selama ini berdoa dan berharap akan kesembuhanmu?"

"Bagiku ini bukanlah perkara besar. Aku langsung berterus terang aja!"

"What?" ia kehabisan akal. Bagaimana tidak, nyawanya yang sekarang dipertaruhkan justru tak dianggap berharga. "Jujur, aku nggak ngerti apa isi pikiranmu? Betapa angkuhnya kamu terhadapku!"

"Waktuku terbatas. Waktu kita terbatas. Jika aku hanya memikirkan apa yang menjadi keinginan hatiku, maka sejak awal aku udah memaksanya berhenti latihan renang. Tapi keinginan hatiku adalah melihat dia bahagia. Dan setiap kali dia berlatih dengan bahagia, hatiku pun turut bahagia. Aku hidup untuk membuat dia sukses dan penuh sukacita. Aku yang meminta dia hadir, bukan dia. Jadi tanggung jawabku adalah membuat Sophie sukses lewat apa yang ia bisa. Bukan apa yang kuharapkan." Pungkas sang ayah.

Walau demikian, ia masih tetap berseberangan dengan isterinya.

"Robert, aku udah gerah dengan penjelasanmu."

Perdebatan mereka berakhir dalam gesekan yang tajam. Satu sisi, ibunya berharap Sophie menjadi dokter dan menyembuhkan penyakit sang ayah agar mereka bisa bersama-sama merayakan kesuksesannya. Namun di bagian koin yang lain, sekalipun Sophie menjadi dokter tapi itu menyiksa dirinya, hal itu dianggap ayahnya sebagai sebuah kesalahan. Baginya, memaksakan sesuatu pada anak akan merusak pekerjaannya. Itulah yang membuat Robert berkeinginan agar Sophie berjalan sesuai dengan jalan yang ia mampu untuk dilalui.

Di dalam kamar, Sophie hanya menatap ponselnya. Memandang-mandangi postingan orang lain di media sosial, tanpa memikirkan keuntungan apa yang akan dia dapatkan. Ia menjadi begitu bosan dengan hidup, seakan-akan dia seperti tak punya kuasa atas dirinya sendiri. Ini menjadi sesuatu yang sangat sulit ia temukan solusinya. Ada begitu banyak motivasi yang ia temukan baik di Twitter dan Instagram, dan saat itu semangatnya bangkit dan bersemi di hati. Tetapi berbeda saat berhadapan dengan ibunya sendiri.

Semakin lama ia menatap layar kecil itu, semakin hatinya tersiksa. Bagaimana tidak, ia hanya melihat semua prestasi orang lain. Tiada yang menghibur, tiada yang memberi semangat.

"Ah, kenapa sih harus begini?" keluhnya dalam depresi.

****

Kathy sedang membuka buku pelajaran yang sangat disukainya: Fisika. Sejak SMP, dia mulai menekuni pelajaran tersebut karena cukup menarik dan menantang. Dibandingkan ilmu IPA yang lain, Fisika menjanjikan begitu banyak pengalaman pengetahuan yang sering sekali terabaikan. Seperti contohnya jungkat-jungkit pada pesawat sederhana serta momen gaya (torsi) yang teraplikasikan secara nyata pada gagang pintu. Hal-hal sederhana sedemikian membuatnya terpicu untuk lebih mengetahui peristiwa-peristiwa Fisika yang muncul dari setiap aktivitas benda hidup maupun mati.

Di saat hendak membuka lembaran berikutnya, suara pintu yang terbuka terdengar sampai ke telinganya.

"Ah, sialan! Dia datang lagi!" ujarnya kesal.

Ayahnya datang setelah bekerja seharian hingga malam. Tanpa melepaskan kasut dan jasnya, ia langsung bergegas ke ruang makan. Anehnya, tak satu pun makanan ia temukan tersedia di atas meja. Merasa geram, ia langsung memukul meja dengan kuat.

"Anak pemalas!" makinya. "KATHY! SINI KAU!"

Ia berdecak kesal karena harus menghadapi ayahnya. Bagi Kathy, adalah lebih baik bila ia sendiri. Tetapi tiap kali dia ingin mencari kos maupun apartemen, pegawai ayahnya selalu menemukan dia dan memintanya untuk kembali. Satu-satunya jalan keluar yang dapat ia lakukan adalah menyogok satpam yang bertugas dengan mengatakan bahwa ia pergi untuk belajar bersama. Dan hari ini, dia benar-benar berniat melakukan itu.

Tanpa diminta, Kathy sudah mengerti kalau ayahnya menginginkan makanan malam. Dengan bermalas-malasan ia pun menjumpai ayahnya yang sudah memerah wajahnya.

"Dari mana kau? HAH?"

"Bukan urusanmu."

"Hei, hei, hei! Pertanyaanku jawab." perintah Will Jensen sambil menunjuk mukanya.

"Kamar." Jawabnya singkat.

"Nggak kau lihat ini bersih?"

"Lihat. Kenapa?" tanyanya tanpa rasa bersalah.

"Kenapa, kau bilang? Orangtuamu udah capek-capek kerja bukannya kau siapkan makanan?" marahnya. "Mana otakmu? Anak brengsek-" Spontan Kathy langsung bergegas ke lemari dapur dan mengambil semua makanan yang ia masak sedari tadi. Dengan sedikit rasa kesal ia meletakkan dengan cukup kasar piring tersebut.

"Ini. Makan sepuasmu, terus cuci sendiri. Aku mau pergi!" ujarnya datar.

"Siapa yang ngasih izin kau pergi? Hah?"

"Aku! Kenapa? Nggak suka?" tantangnya.

"Udah berani kau, ya? Udah jagoan kau?" balasnya dengan penuh kegeraman. "Kalo kubilang nggak boleh, ya nggak boleh!"

"Tumben peduli kau! Selama ini cuman si brengsek Alex itu aja yang kau pedulikan. Aku keluar malam pun nggak pernah kau merasa kehilangan. Sekarang, tiba-tiba aku dilarang pergi."

"Karena dia PINTAR! KAU BODOH!" cemooh ayahnya tanpa belas kasihan. "Makanya belajar kau yang rajin biar kayak dia!"

"Oh, jadi gitu!" ujarnya mencoba sabar. "Kukira dengan kau ke gereja setiap minggu akan mengubah tabiatmu jadi lebih baik. Nyatanya sampah! Cih, munafik!" pungkasnya. Ia lalu pergi tanpa berpamitan pada sang ayah.

"HEI, KATHY! SINI!" perintah ayahnya dengan sangat keras. Tak berlangsung lama, pelayannya datang untuk menerima perintah.

"Saya di sini, Pak!"

"Jim, tangkap anak itu dan bawa ke sini."

"Pak, tak bisakah Anda bersikap lebih baik dan perhatian padanya?" tanya pelayan tersebut dengan penuh rasa iba.

"Metodeku adalah metodeku. Aku tidak suka kelemahlembutan. Itu sikap seorang pengecut. Dunia ini keras, karena itu dia kudidik dengan keras."

"Tapi Pak, tidak semua anak paham akan hal itu!"

"Tugasmu tadi kubilang apa? Mengkhotbahi aku apa menangkap Kathy?" rasa kesalnya menjalar juga kepada si pelayan.

"Maaf, Pak! Saya takkan ulangi lagi."

Dia pun meninggalkan Will di sana.

Bukannya mengejar Kathy, ia langsung menyapa satpam yang bertugas di pos. Ia pun mengetahui kalau Kathy ingin pergi ke sebuah kafe untuk menenangkan pikirannya. Sempat ia bertanya-tanya tentang mengapa ia tidak mengunjungi kafe miliknya sendiri. Sang petugas satpam pun mengatakan bahwa ia tidak ingin ditemui olehnya. Secara naluriah Jim memahami perasaan sakit hatinya yang sudah berlangsung lama, lalu memutuskan untuk menemui dia selepas segala sesuatu menjadi kondusif. Satu hal yang menjadi kekhawatiran di hati, bahwa Kathy tidak masuk ke tempat yang salah.

Dalam perjalanan menuju sebuah kafe, Kathy secara acak menelepon siapa yang ia ingin ajak untuk minum bersama. Setelah melakukan undian, nomor Sophie adalah yang pertama kali ia dapatkan. Tanpa basa basi, Kathy langsung menghubunginya.

Sophie yang masih menutupi mukanya seketika menatap ponselnya yang berdering. Ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut.

"Kenapa, Kathy-"

"Ayo nongkrong!" ajaknya.

"Hah? Kamu bisa keluar?" ia cukup terheran dengan kebebasan yang ia dapatkan.

"Udah, nggak usah ngeyel. Langsung aja datang ke tempatku. Nanti kukirim alamatnya."

"Kathy, bentar-"

"Udah, ya! Kututup."

"Ka-Kathy, tunggu!" pinta Sophie. "Apa dia lagi bertengkar?" gumam Sophie dalam hati.

Terpaksa, ia mengikuti kata temannya.

****

Ayahku memutuskan untuk kembali ke rumah setelah seharian berada di kantor. Namun langkahnya terhenti ketika melihat fotoku yang ia letak di atas meja. Kepedihan akan masa lalu mulai menyelubungi hati dan pikirannya. Ayah tahu apa yang ia lakukan di masa lalu, dan ketika ia kembali melihat wajahku, yang tersisa hanyalah penyesalan.

"Alex, maafkan Papa!" ujarnya dalam kepiluan.

Dalam beribu banyak pertemuan kami, ayah selalu merencanakan untuk menyelesaikan perkara batin yang mengekang diri. Belenggu ini sudah sepatutnya layak dipatahkan. Akan tetapi, beribu juga kejadian yang selalu saja menghambat itu terjadi. Sehingga yang dapat ayah lakukan hanyalah mencium fotoku sambil mengakui semua kesalahan yang pernah ia lakukan.

"Pak, mari pergi!"

Sontak perkataannya membuat ayah terkejut. "Oh, Eddie! Udah lama?"

"Not really, Sir!"

"Oh, yeah? Sorry! Let's go!"

"Right here, Sir!"

Baik Eddie dan ayah masuk kemudian ke dalam mobil dan berangkat pulang.

"Pak, apa Anda mengkhawatirkan Alex?" tanyanya tiba-tiba.

"Yah, begitulah!"

"Apa yang akan Anda lakukan?"

Mendengar pertanyaan tersebut, ayah menjadi terheran-heran. "Lakukan apa? What you mean?"

"Masa depan Alex. Tidakkah Anda berkeinginan untuk mewariskan semua yang Anda miliki?"

"Owh, come on! Masih terlalu dini untuk membicarakannya."

"Terkadang hal yang seperti ini justru menjadi batu sandungan di masa depan." Saran Eddie.

"Kau bicara soal perencanaan?"

"Correct, Sir!"

Lihat selengkapnya