Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #7

Yang Terbaik Bagi Yang Buruk

2 hari ini menjadi sebuah pertunjukan kekesalan bagi Bell. Bukan tanpa sebab, mengingat kisah mereka yang sebenarnya masih sangat muda, seumur jagung. Seyogiyanya masa-masa itu adalah sebuah kondisi di mana cinta masih bergelora dalam hati. Suatu keadaan di mana rasa malu masih menghampiri, mencoba menyatukan hati masing-masing. Melakukan hal baru bersama-sama, mengenali karakter secara mendalam yang tentu baru bagi mereka. Tapi itu tidak terjadi kali ini.

Bell seperti digantung perasaannya. Ghosting mungkin istilah yang tepat. Sebuah alasan sangat dibutuhkan, demi menghindari kesalahpahaman. Jikalau tidak demikian, maka seseorang bisa terjerumus ke dalam lembah kebimbangan. Entah dia yang salah atau Smith yang salah. Dia hanya menggerutu di kursi panjang tempat mereka mengungkapkan perasaan dulu. Semua pikiran negatif menguasai dirinya.

Tapi mengucapkan ribuan kata-kata di udara pun takkan merubah kenyataan. Perasaan yang mencuat hanya menjadi panggung komedi bagi angin. Tentulah ia menertawakan Bell yang begitu konyolnya mengumbar semua isi hatinya, sementara tak ada yang merespon. Jadi, ia mulai berhenti memikirkan hal itu dan menyusun rencana untuk menemui Smith. Apa yang akan dia katakan, semua nasihat yang bakal dia kumpulkan selama ini -sebab Bell suka membaca buku-, bagaimana caranya membuat Smith berkata jujur.

Ketika beranjak dari kursi, tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang.

"Bell!" sapanya.

Ia menilik, mencoba menebak suara tersebut. Yang jelas, ia adalah perempuan. Dan ternyata Sophie serta Annie.

"Kalian? Kenapa kalian ke sini?"

Annie mengambil beberapa langkah ke depan. "Aku lihat selama pelajaran di sekolah, kamu menggerutu."

"Kamu punya masalah Bell?" tanya Sophie.

Tidak ada jawaban. Dia hanya berbalik, lalu meninggalkan mereka.

"Ah, Bell!" panggilnya. Annie berusaha mengejar sahabatnya.

Dari belakang, Sophie turut mengekor. Hingga akhirnya mereka menghentikannya.

"Kamu mau pergi ke mana?" tanya Sophie.

"Nggak baik kalo mengurusnya sendiri."

"Maaf, teman-teman! Untuk kali ini aku mau sendiri." Cetusnya.

Sophie berjalan mendahului, lalu berhadapan muka dengan muka sambil menahan kedua bahunya. "Tidak, kita hadapi ini bersama."

"Sophie, Annie, ini di luar tanggung jawab kalian." Dia menjadi agak kesal. "Jangan ikut campur!"

"Apa kami nggak bisa memberikan sesuatu untukmu?" tawarnya. Bagi Annie, masalah Bell terlihat cukup besar.

"Pertolongan atau pun nasihat nggak kubutuhkan sekarang." Jelasnya. "Yang kuperlu cuma 1, pergi dan tinggalkan aku. Ini akan menjadi tugasku!" tegas Bell. Ia pun pergi meninggalkan mereka.

Annie frustrasi. Terlihat dari ia yang meremas kepalanya. Sementara Sophie langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Helen.

"Ya, Sophie?" sahutnya.

"Bisa temui kami sekarang, nggak?"

"Kenapa? Kalian butuh jemputan?"

"Bell, kayaknya dia ada masalah serius." Terkanya.

"Hah? Beneran?" Helen tercengang. "Ya udah, entar aku ke sana."

Beberapa menit kemudian, ia pun sampai. Tanpa berlama-lama, 3 sekawan mencari seorang sahabat yang dirundung masalah. Sementara itu, Bell mencari tempat yang ia ketahui sebagai lokasi yang kerap dikunjungi Smith. Yang pertama, perpustakaan.

Lantai satu, tak ada tanda-tanda batang hidungnya. Yang terlihat hanya beberapa orang sedang menggunakan laptop sebagai penunjang pembelajaran. Naik ke lantai dua, pencarian mulai terasa sulit. Banyak sekat-sekat yang ditujukan untuk belajar mandiri. Sungguhpun demikian, Smith masih tak bisa ditemukan.

Lantai 3 yang merupakan lantai terakhir. Tempat ini cukup luas, dan rata-rata banyak anak-anak SMA dan kuliah yang sedang berdiskusi, entah itu untuk tugas maupun sekadar menambah wawasan. Smith ternyata tak bisa ditemukan. Ketika turun, tak sengaja ia melihat Mike sedang menyendiri di barisan 4 sekat F. Ketika mencoba mendekat, ternyata ia sedang belajar tentang Kimia.

Dari gayanya, Mike seperti sangat serius. Sehingga, ia agak meragukan kalau pertanyaannya bakal dijawab. Tapi Bell memilih untuk bertanya saja, dari pada pulang dengan tangan hampa.

"Ehm, Mike?"

Ia tak menjawab. Bell kebingungan. Tapi setelah dia cukup teliti memerhatikan, ternyata dia menggunakan earphone yang ditutupi oleh hoodie tersebut. Terpaksa, Bell menepuk pundaknya.

"Mike!"

Ia terkesiap. "Oh, Bell?! Ada apa?"

"Aku nggak mengganggu, kan?"

"Oh, santai-santai!" balasnya.

"Kamu lihat Smith, nggak?"

"Ah, Smith, ya?!" ia mencoba mengingat kembali siapa saja yang ia temui sedari tadi. "Nggak lihat kayaknya." Jawabnya dengan keragu-raguan.

"Huh," dengus Bell sebal, "dia ke mana sih?"

"Udah ditelepon, belum?"

"Nggak diangkat." Lirihnya.

"Wah, kalo begitu aku kurang tahu. Tanya Alex aja coba!" Mike kemudian menuliskan sebuah nomor pada secarik kertas. Ketika ia menyerahkannya, Bell dibuat merasa ganjil.

"Kenapa harus pakai ini?"

"Alex jarang pakai internet kalau jam segini." Bell mengamati, kalau saat ini hampir menginjak pukul 2.30 PM. "Nomor itu lebih cepat dihubungi, karena memang dia pake nomor itu untuk berkomunikasi menggunakan pulsa." Terangnya.

Ia mengambil kertas tersebut, lalu memasukkannya ke daftar kontak. "Terima kasih, Mike!"

"Good luck!"

Di luar gedung, Bell segera menghubungiku. Saat itu, aku sedang belajar Matematika. Untuk saat ini, aku mengurungkan niatku bermain game dan fokus kepada pembelajaran. Tiba-tiba ponsel berdering. Karena penasaran, aku pun melihat nomor siapa yang memanggilku. Hanya saja, tak ada identitas. Cuma angka yang tertera. Entahkah salah sambung atau bagaimana, terpaksa aku harus mengangkatnya.

"Halo? Ini siapa?" sapaku.

"Eh, Alex, lihat Smith, nggak? Tahu dia ke mana, nggak?" tanya sipenelepon.

"I-ini siapa, ya?" astaga, suara perempuan. Aku mulai gugup. Sebab jarang sekali aku berbicara selain kepada Sophie. Pilihanku ada 2; matikan panggilannya atau memberanikan diri maju menghadapi tekanan. Akhirnya, pilihan terakhir yang kuputuskan untuk diambil. Mungkin ini salah satu momentum yang tepat. Berhubung Sophie telah memberikan rumusnya, jadi aku menggumamkannya dalam hati bahwa aku hidup untuk masa depan.

Rupanya, orang yang menghubungiku merasa bingung karena tak mendapatkan tanggapan. Ketika aku mendekatkan lagi ponsel itu, dia terlihat kesal.

"Ha-halo?" tanyaku sekali lagi dengan semua keberanian yang ada.

"Kamu ke mana aja sih?" marahnya.

"Oh, maafkan saya!" tiba-tiba aku menjadi sangat sopan.

"Aku Bell, lagi nyariin Smith. Kamu tahu dia ke mana, nggak?" Bell dengan singkat mengatakan maksud hatinya.

"Eh ...," seingatku, dia pergi ke arah Selatan, "coba cek di St. Lucia Street. Setauku, dia jalan ke sana."

Bell lalu membayangkan wilayah tersebut. Dari posisinya berdiri, jarak tersebut cukup jauh dengan arah ke sebelah Barat Daya. Mungkin sekitar 7 km; kalau ditempuh dengan berjalan kaki tentu akan memakan waktu yang lama.

"Oh ya? Kalau boleh tahu, apa tujuannya ke sana?" Bell semakin penasaran memikirkan tujuan Smith. "Oh, sorry! Maksudku, apa yang dia cari di sana?"

Aku bingung! Bukan atas pertanyaannya, tapi karena perilaku Smith. Benar pertanyaannya, apa tujuan Smith ke sana? Restoran? Ada banyak restoran di sekitar sekolah. Bahkan ke arah Utara pun, meski tetap di St. Lucia Street, banyak bertebaran restoran dalam negeri maupun mancanegara. Kalau mal, sejujurnya tidak ada kuketahui ada bangunan tersebut di sana. Perpustakaan? Hanya ada di daerah Timur. Kafe? I don't think so! Pernah sekali dia berkomentar kalau pergi ke sana di siang hari adalah sebuah kekonyolan. Jadi di mana?

"Ma-maaf, Bell! Dari semua yang kupikirkan, aku nggak tahu ke mana dia pergi." Pungkasku.

"Ya sudahlah! Thanks, Alex!" pamit Bell. Panggilan pun berakhir saat itu juga.

Di kamar aku betul-betul memikirkannya. Sejak kemarin, bagaimana ia hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata. Apa yang ada dalam hatinya begitu sulit ditebak. Dan kini itu semakin menjadi-jadi. Apa yang dia rencanakan ke sana sungguh tak terpikirkan sama sekali. Masalah apa sebenarnya yang membuat Smith menjadi seperti ini? I'm curious, truly!

Aku memandang jam di tangan, saat ini sudah pukul 02.45 PM; entahkah cukup waktuku sebelum pukul 7 malam. Janjiku dengannya tak dapat kukorbankan. Should I find him or what? Aku berjalan ke arah jendela, membuka pintunya dan menatap keluar. Mentari masih bersinar terang. Ada beberapa gumpalan awan yang mencoba menutupi, tapi sinarnya tetap memancar menembus tipisnya lapisan mereka. Jika ini terus demikian sampai malam, mungkin aku harus pergi. Tapi jika hujan tiba, aku harus mengurungkan diri.

Dengan segera aku berganti pakaian, lalu menjumpai ibuku yang sedang duduk menonton berita.

"Mau ke mana?" ibu cukup penasaran. Tapi wajahnya langsung berubah; ia tersenyum-senyum padaku. "Apa ... menjumpai So-"

"Nggak, Ma!" tampikku.

"Oh, Mama kira itu. Terus, kenapa?"

"Aku pengen jumpai teman." Hanya, namanya tak kusebut.

"Teman sekolah? Mau belajar?"

"I-iya, begitulah!" aku cukup khawatir. Jikalau sampai masih ditanyai, rasa-rasanya misiku bakal terbongkar.

"Mama kira tadi mau jalan-jalan gitu." Harapnya. "Kamu itu loh, keseringan belajar. Waktu istirahat juga perlu. Tolong disisihkan, sayang!" saran yang cukup meluluhkan hati. Tapi di pikiranku, aku tidak terlalu memikirkan hal itu.

"I-iya, Ma! Aku pergi dulu!" aku berpamitan dengan tergesa-gesa. Mau bagaimana lagi, aku dikejar waktu.

Ibuku hanya melambai menyaksikan putra bungsunya pergi.

"Hah, andai kamu pergi menjumpai Sophie, ini akan menjadi sesuatu yang sangat Mama idamkan!" harapnya lagi. Ibu tak bosan-bosan menjodohkanku dengannya.

Aku langsung menghubungi Smith, barangkali ia mau mengangkat teleponku. Sudah lama aku tak menghubunginya. Yah meskipun, baru seminggu yang lalu. Panggilan pertama,tak ada respon. Kedua, juga tak ada respon. Ketiga, ia sama sekali tidak menggubris panggilanku. Menyebalkan! Ada apa dengannya? Aku menjadi geram!

Bell sementara itu sudah sampai menggunakan taksi. Seperti orang buta peta, demikianlah ia bingung ke arah mana Smith bergerak. Ke toko atau ke bangunan yang mana ia berkunjung hingga tak memberi kabar sama sekali.

Di sebuah warung internet, Smith sedang melacak keberadaan seseorang. Selama 1 jam lebih ia tak menemukan lokasi tersebut. Pikirannya berusaha keras untuk merangkai kata-kaya yang tepat demi menemukan suatu data yang akurat. Dan berkali-kali juga ia gagal. Karena frustasi, ia memilih ke kamar mandi sekadar mencuci muka.

Di depan cermin, dengan wajah yang masih dibasahi oleh air, dia berbicara kepada dirinya sendiri.

"Keparat!" geramnya. "Susah kali menemukannya! Aku yakin namanya Triphosa Harrison, panggilannya Trippy. Nama yang unik dan terkesan agak konyol."

Tiba-tiba, seorang pria muncul di belakangnya. "Hey dude, jangan ngomong sendiri!" tegurnya.

"Mind your business. Aku lagi pusing!"

"May I help you?" tawar pria tersebut. "Anggap aja seperti seorang teman yang menolong rekannya."

Smith heran, sangat terheran-heran. Mengapa dia mau menolongnya? Apa yang akan ditawarkan oleh pria ini, sehingga ia begitu percaya diri menghampirinya? Smith benar-benar bingung.

"What you want from me?" Smith mulai mencurigai motifnya.

"Nothing!" balasnya singkat.

"No, that's bullshit! Semua orang punya sesuatu yang diinginkan ketika menolong orang lain." tampik Smith tegas.

"Is that what you thinking?" pria itu mencoba melawan keraguannya. "Kayaknya hatimu penuh trauma, ya? Seakan-akan menolong itu harus ada imbasnya."

"Forget it! I don't need your help. Besides, I know nothing about you either." Tutupnya. Ia pun kembali ke ruang komputer miliknya.

Pria itu masih berdiri di tempatnya. "Pria yang keras kepala. Diberi bantuan malah dicurigai. Cih!" Celanya.

Ia keluar lalu berdiri di depan bangunan tersebut. Melalui ponselnya, ia berniat menelepon seseorang.

"Halo?" sahutku.

"You good?" sapa pria yang tadi.

"Oh, yeah! Yeah, I'm well!"

"Nice to hear that!"

Aku terdiam sejenak. Apakah baik jika dia ikut campur? Atau ini hanya menghabiskan waktu?

"Kenapa? Kok diam?"

"Oh, ah, nggak apa-apa." Hampir saja ketahuan kalau aku memikirkan sebuah masalah.

"Kau di mana sekarang?" tanyaku.

"Warung internet." Balasnya datar.

"Hah?" aku sungguh terkejut. "Ngapain di sana?"

"Ngerjain tugas."

"Tugas?" aku mengernyit. "Emangnya di sana nggak bisa ngerjain tugas?"

Lihat selengkapnya