Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #12

A Heart For You

SELAMAT DATANG DI 

MASSACHUSETTS INSTITUTE OF TECHNOLOGY

Spanduk yang terlihat dari gerbang kampus menyambut kedatangan kami, mahasiswa baru untuk tahun ini yang datang dari berbagai daerah maupun negara. Aku telah menemui beberapa orang yang bukan penduduk Amerika datang demi menuntut ilmu di kampus yang terkenal ini. Setidaknya, aku bangga dan berharap ilmu yang mereka dapatkan bisa membangun negara mereka sendiri, seperti negara ini. 

Terasa sulit untuk memutuskan MIT sebagai pelabuhan pendidikanku selanjutnya dibandingkan Harvard. Rasanya seperti memilih pinang yang dibelah 2. Kedua-duanya cukup kompeten dan bagus. Hingga akhirnya aku menemukan bahwa Geologi MIT punya materi yang cukup luas untuk dipelajari dibandingkan Harvard yang lebih mendetail ke beberapa cakupan. Yah, dengan pemikiran tersebut aku pun berharap bisa memberikan yang terbaik dari diriku untuk beberapa huruf di belakang nama.

Aku menapaki jalanan kampus yang dipenuhi oleh orang-orang yang lalu-lalang ke sana ke mari, mengejar ilmu ke berbagai tempat di penjuru kampus ini. Buku di tangan kiri, dan tangan kanan memegang selempang tas, sesuatu yang sangat keren untuk dilakukan. Tetapi hal itu tidak terlalu sering kuperhatikan. Entah mereka sudah terlebih dahulu sampai di tujuan mereka, aku tidak tahu. Tetapi satu yang kuyakini adalah mahasiswa di kampus ini serba sibuk.

Aku berjalan ke tempat lain yang belum kukunjungi. Terkadang dalam beberapa meter aku bisa menjumpai orang-orang dengan beragam aktivitas yang cukup berbeda dari yang sebelumnya. Sebut saja membaca majalah sains atau pun koran, belajar dan mengerjakan tugas, sedang bersantai ria di kafe, bahkan ada juga beberapa mahasiswa yang asyik bermain game. 

Jika diperhatikan lebih dekat, mereka sedang bermain game First Person Shooter (FPS), game yang menarik untuk saat ini. Aku lebih menyenangi permainan open world dibanding yang lain, layaknya Grand Theft Auto. Namun demikian, aku percaya mahasiswa di tempat ini 95% lebih tertarik untuk belajar dan mengerjakan tugas. Tanggung jawabnya sangat berat!

Hari ini adalah hari Senin, di mana aku telah menyelesaikan kuliah pertamaku di The Departement of Earth, Atmospheric and Planetery Sciences. Pelajarannya cukup menarik, sehingga tak terasa waktu kuliah sudah selesai; jadi aku menghabiskan waktu yang tersisa untuk berjalan-jalan, mengamati kegiatan dan kebiasaan para mahasiswa di kampus ini. 

Di depanku terdapat sebuah kursi yang kosong, dan aku duduk setelah berjalan cukup lama. Tempat yang strategis sekali, karena tepat di depannya ada sebuah taman bunga. Aku kurang tahu jenisnya, tapi warnanya pink dan pasti bukan bunga kertas kesukaanku. Mataku menoleh ke sebelah kiri, tampak ada penjual es krim sedang mampir di sana. Es krim coklat di tangan sudah cukup menemaniku dalam bersantai sejenak dan mengobati rasa haus.

“Udah lama?” aku dikejutkan oleh Smith yang berdiri di dekatku sambil memegang sebuah es krim juga. "Emm! Enak es krimnya! Bukan main."

“Paling baru 5 menit aku di sini! Kau duduk di belakang lagi?” tanyaku balik.

Do polar bears shit in the woods?

Tchh!” aku tertawa mendengar itu. Sepertinya dia memang suka duduk di sana.

"What 'bout you?"

"What you think?" tanyaku balik.

Ia menyadari bahwa aku juga duduk di belakang. "But I didn't see you!?"

"NINJA STYLE!" seruku sambil menirukan pose 2 jari seorang ninja.

Dia tersenyum. Kami pun saling bertukar cerita tentang pengalaman pertama di kelas. Bergaul dengan teman baru, guru baru (lebih tepatnya dosen), suasana baru, pelajaran baru, kecuali satu. Persaingan kami bukan hal yang baru. Di kelas ada beberapa mahasiswa yang cukup aktif meski dari negara lain. Smith menegurku karena terlalu menganggap spesial negara sendiri, hingga negara lain diabaikan. 

Aku menampik teguran itu, sebab tujuanku bukanlah mencari perkara. Tetapi aku memuji mereka, sebab semangat itu adalah bukti kalau perjuangan mereka bukanlah asal-asalan untuk masuk ke MIT. Ambisi mereka cukup besar, dan kuharap itu untuk kesejahteraan negara mereka sendiri. Smith pun memilih untuk setuju dengan pernyataan itu. 

Di lain universitas, Sophie yang mengimpikan untuk bisa masuk di jurusan Kedokteran Harvard, kali ini terwujud dengan sempurna. Bersamaan dengan itu, Bell dan Kathy juga tergabung bersama Sophie di Harvard, namun berbeda jurusan dan departemen. Bell mengambil Biokimia, sementara Kathy Ilmu Kimia. 

Annie berhasil masuk ke sekolah penerbangan, namun aku kurang mengetahui di mana sekolahnya. Helen masuk ke Columbus State University di Ohio dengan jurusan Arsitektur. Berharap suatu saat dia mau merancang rumahku. Tony dilain sisi, melanjutkan pelatihannya untuk menjadi atlet karate nasional.

Semua yang kukenal sejak SMA telah menempuh jalur yang terbaik sesuai pilihan mereka. Aku cukup senang dengan hal itu, dan dalam hati berharap bisa sukses bersama-sama.

****

"Alex, makasih ya! Kalau bukan kamu, aku pasti nggak akan masuk ke Harvard." Sophie pada malam hari menghubungiku. Dari nada suaranya, ia sangat bahagia tembus kepada pilihan yang begitu ia harapkan.

"Senang mendengarnya!" balasku dengan gembira juga. "Eh, kita sekali-sekali belajar bareng, yuk?!"

"Ehm, memangnya bisa? Kan kita beda jurusan?"

"Memang! A-Aku hanya ingin mengenalmu lebih dalam." Sebuah kejujuran hati yang terdalam ia dengarkan dengan jelas.

"Ehhh, kamu tiba-tiba kok jadi romantis?"

"A-ah, bu-bukan-bukan!" sulit sekali melarikan diri dari pertanyaan semacam itu. "A-Aku cuman, ingin mengenal kau saja. Nggak ada yang lain!"

"Oh, gitu! Kalau setiap hari gimana?" Sophie memberi tawaran sambil bercanda. "Enggak, ah! Kapan kamu bisa aja."

"Aku bisa setiap hari!" jawabku spontan.

"Yakin? Entar kamunya yang bakal serba sibuk."

"Nggak usah khawatir! Aku ada untukmu!" aku berlagak percaya diri di depannya bahwa akan selalu ada waktuku untuknya.

Sophie memilih untuk mengiyakan pernyataanku tadi. Tetapi karena dia lebih paham tentangku, Sophie sadar bahwa akan sedikit waktu yang akan kuluangkan bersamanya. Ia sudah memahami itu sejak kami SMA. Oleh sebab itu, Sophie telah mempersiapkan hatinya jika hal itu terjadi. Salah satunya melalui ponsel. Lewat perangkat tersebut, ia memastikan bahwa aku akan selalu memperoleh kabar tentangnya.

****

Selama 1 semester lebih, aku benar-benar menepati janjiku. Mungkin karena pelajarannya yang masih ditahap dasar, jadi otakku belum terlalu dipaksa untuk bekerja ekstra. Yang berbeda adalah Sophie. Ia tetap bekerja keras di semester awal ini. Mencoba ambisius, benar-benar tahan banting. Padahal aku pernah mempelajari sedikit materinya, dan sesungguhnya itu bukanlah pekerjaan berat. Tapi dia tetap serius!

Melihat sikapnya yang demikian tentu akan membuatku berpikiran kalau dia tak layak untuk 'diganggu'. Maksudku, aku akan menjadi sangat-sangat enggan untuk berbicara, bersenda gurau, bahkan sekadar makan malam di restoran atau kafe, serta menikmati jajanan kaki lima di suatu tempat yang tentunya begitu romantis. Namun, justru ini menjadi sebuah keanehan di mataku. Ia ternyata masih mampu dan mau memberi waktu demiku.

Jujur, selama ini semua yang kutakutkan sebelumnya takkan terelealiasi malahan menjadi kenyataan. Bahkan ia sangat bahagia kala itu. Foto-foto indah terabadikan dalam ponsel ini, dan sesungguhnya hatiku dipenuhi tanda tanya ketika aku melihatnya kembali. Dia menjadi ambisius karena faktor aku yang telah membantunya? Dan ini sudah pernah kudiskusikan bersama Tony. Yang kedua, bagaimana dia bisa membagi waktunya dengan efektif tanpa membuat nilainya turun? This girl is amazing!

"Kamu pengen tahu?" tanyanya mengonfirmasi rasa penasaranku.

Aku mengangguk menjawabnya.

Di keheningan kafe di malam hari, sebab hanya sedikit orang yang bersama kami. Ia meminum sedikit kopinya dan mulai mengalihkan fokus pada pembicaraan.

"Kamu tahu, selama ini aku kehilangan banyak pelajaran karena berbagai faktor." Sophie mulai terbuka denganku. "Tapi kamu harus ingat, kalau aku mengatakan ini sebab kita berdua dekat dan hubungan itu nyata."

At that point, aku hanya memahami bagian 'dekat'saja. Sesuai dengan kondisi yang terjadi, dan dari banyak pengalaman yang dijalani, kesimpulan antara aku dan dia adalah dekat. Tapi hubungan nyata itu tak kupahami.

"Nomor satu, dan ini yang paling utama, adalah karena fokusku terbagi. Semenjak aku mengenali renang, aku benar-benar menggenjot diriku untuk bisa memperoleh sesuatu darinya. Dan kamu sudah tahu sendiri, dengan banyaknya piala yang kuperoleh, menunjukkan kalau aku memang tidak bermain-main. Dan aku bahkan menjadikan itu sebagai cita-citaku!" ujarnya.

Now I get it! Ternyata ini yang membuatnya tak maksimal dalam pendidikan.

"Pujian datang dari banyak orang. Mungkin aku terkesan menyombongkan diri, tapi itu faktanya!"

"Dan akhirnya, nilaimu jelek?" simpulku dalam sebuah pertanyaan.

Dia pun mengangguk.

"Karena itu juga, aku dan Ibuku bertengkar."

Aku menatapnya serius kali ini. Tak bisa kubayangkan kalau masalah masa depan harus diisi dengan konflik. Berbeda sekali dengan keluargaku. Mereka tak pernah mempertanyakan atau bahkan mendebat isi pikiranku. Atau mungkin juga mereka tidak berniat mengintervensi, aku pun kurang peka. Tapi sejauh yang dapat diamati, orangtuaku hanya mendukungku untuk terus maju di jalan yang kupilih. Mendengar kisahnya, aku menjadi iba.

"Terkadang membuat pilihan itu akan menjadi sebuah kesulitan, bila tidak ditemukan kesepakatan."

"Aku merasa sedih mendengarnya!"

Sophie menggeleng terhadap rasa ibaku.

"Aku sudah melupakannya. Lagipula aku merasa bahagia kok! Semua karena kamu!"

Aku tersipu malu.

"Yang kedua, aku nggak terlalu suka meminta tolong kepada orang lain."

"Hah?" kali ini, aku dibuat terkejut. "Lah, terus waktu itu bukannya kau berani minta tolong?"

"Hmm! Tapi itu setelah Bell ngasih saran samaku. Kalau nggak, bisa saja aku gagal masuk kedokteran."

"Alasannya? Kenapa kau enggan meminta bantuan?"

Sophie menghentikan dirinya sejenak. Mencoba meramu kata yang tepat serta mempersiapkan strategi sehingga tujuan terdalamnya tak terendus. Yaitu, mengobati ayahnya!

"Ehh ..., karena malas ..., ah, bukan-bukan! Lebih ke ..., nggak suka buat orang lain kerepotan." Ungkapnya.

"Tapi kan, sikap seperti itu nggak sih yang justru semakin merepotkan orang lain?" sanggahku.

"Ah, i-iya. Aku lebih condong menolong orang lain dari pada diri sendiri!" Sophie hanya bisa menertawakan dirinya sambil menggaruk kepala.

"Astaga! Berhentilah berbuat demikian!" tegurku. Tapi setelah dipikir-pikir, aku ternyata sudah cukup berani mengutarakan sebuah teguran tanpa terbata-bata lagi. Sejenak, aku mengucap syukur.

"Maaf ya, Alex! Aku janji nggak akan ulangi!" dia memohon maaf terhadapku. "Soalnya, aku mencoba mencari seorang penolong kayak kamu!" godaan Sophie kali ini membuatku tersipu.

"Ah, ka-kau berlebihan! A-Aku hanya mencoba melakukan yang kubisa!"

"Mungkin, yang ini lebih ke arah personal reason sih!" sebut Sophie lagi.

"Oh, masih ada lagi?"

Wow! Ternyata memang lebih dari satu faktornya. So complicated!

"Aku menganggap, kalo masa depan adalah milik seseorang, bukan orang lain."

"That's right! And I agree with that!" balasku sepakat.

"Right? Dan, seharusnya masa depan itu selaras dengan potensi masing-masing, bukan?" Sophie mulai menggiringku ke arah sikap hatinya dulu. "I mean, semua manusia terlahir dengan talenta masing-masing. Bukankah itu menjadi patokan pekerjaan maupun karir ke depan?"

"Ehm ...." Aku mencoba menganalisis kalimatnya.

Dari apa yang dapat kuamati, tidak semua kasus tersebut menjadi kenyataan. Ada juga beberapa yang terpaksa meninggalkan itu demi sebuah pekerjaan yang bahkan ia tak menyenanginya. Tapi anehnya, ia justru memperoleh banyak hal untuk memenuhi hidup. Jadi aku merasa, kalau itu bukanlah sesuatu yang absolut. Tetapi talenta memang harus dikerjakan, karena tujuannya adalah untuk orang lain. Ini yang kuketahui.

"Menurut kamu gimana, Alex?"

"Ah, aku kali ini kurang setuju denganmu." Dengan pengetahuan itu, aku memberanikan diri membantah pemikirannya. "Tapi soal masa depan itu aku sangat setuju. Namun kalau bicara potensi atau pun passion, kadang nggak berjalan sesuai harapan. Aku memandang bahwa ini bergantung pada urgensi akan sesuatu, entah itu terhadap diri sendiri maupun orang lain."

"Jadi kamu berpandangan bahwa passion belum tentu menciptakan sebuah lapangan kerja yang baik dan efisien?"

"Ye-Yeah, maybe!"

Sophie masih kurang puas akan jawaban itu. Sekalipun ia sudah tak mau mempersoalkan itu apalagi kalau bertemu ibunya, namun tetap saja ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya untuk menerima pengertian tersebut.

"Kenapa?"

"Entah kenapa, aku seperti susah menerima pendapat itu. Mungkin karena perasaanku, atau karena pemahaman yang sudah mengakar kuat di pikiranku, aku pun kurang yakin!"

"Nggak apa-apa!" aku mencoba menenangkannya. Tapi kali ini, sikapku mulai bermekaran bak bunga mawar. Tangannya kusentuh dengan lembut, sama seperti yang pernah ia lakukan. "Lagian, kau kan udah kuliah di Harvard!"

Sophie memandangi tanganku, lalu mengangkat tangannya pelan dan menggenggamku pula. Senyum manis menghiasi waktu-waktu romantis yang sedang berlangsung. Aku kadang menjadi malu, sebab tidak tahan memandang mata indah dan merona serta wajahnya yang sungguh seperti sinar mentari pagi, sangat menghangatkan jiwa yang membeku.

"Alex, aku cukup beruntung bertemu denganmu!"

Tiba-tiba, seseorang datang menyela!

"Alex!" sapanya.

Mataku beralih padanya yang sedang menggendong buku di depan dada. Baik tanganku dan Sophie terlepas otomatis supaya tidak membuat ia merasa tak nyaman. Aku tahu siapa perempuan ini. Hanya, rasanya ini pertama kali dia ingin belajar denganku. Atau, yang tadi cuma asumsiku saja? Mengingat ada buku di tangannya.

"Iya, Hannah? Kenapa?" tanyaku.

"Aku mau minta tolong, bisa nggak?" pintanya.

Merasa akan menjadi gangguan, Sophie meminta izin untuk pergi. Bodohnya aku, dengan begitu polos aku mengiyakan permohonannya. Kini tinggal aku dan dia yang tampak mendambakan sebuah bantuan akan sesuatu.

"Aku bisa belajar sama kamu, nggak?"

"Eh?"

"Ehmm, aku lihat kamu pintar soalnya. Bisa, kan?"

Belum terlalu jauh, Sophie sedikit menguping pembicaraan kami.

"Ah, gi-gimana, ya?"

"Aku bakal ngasih kamu ini!" dari tasnya, ia mengeluarkan sebuah kotak bermotif Micky Mouse. Ketika dibuka, ada sejumlah choco ball berukuran besar di dalamnya. Kira-kira berjumlah 6 buah.

"Aku sendiri yang buat. Bola cokelat dengan isian cokelat. Kalo aku misalnya stres, pusing, nggak tahu mau ngapain, biasanya aku akan makan ini. Cobain nih!" Hannah menawarkan kue itu padaku.

Spontan aku mengulurkan tangan dan mencoba makanan tersebut. Sepintas terkenang wajah Sophie di pikiran yang membuatku memutar kepala ke arah belakang. She is gone! Tak ada lagi jejaknya tersisa.

"Kenapa?" tanya Hannah sambil mendekat.

"Um, ng-nggak ada! Ah, tadi aku menghayal!"

"Hmm. Eh, tadi cewek itu siapa?"

"Bukan urusanmu?"

Dahinya mengernyit. "Bukan urusanku?"

Karena ia terlihat kesal, aku pun mencoba merubah kosakataku.

"Eh, maksudku tadi, dia itu sahabatku. Toh pada akhirnya kalian takkan mungkin berurusan, kan?"

"Iya juga, sih!" balasnya.

Di sisi lain, Sophie mengintip dan menitipkan sebuah senyuman. Setelah menghadapi diriku begitu lama, ia mencoba melatihku untuk semakin matang dengan perempuan yang lain. Ia tak ingin hanya sekadar menyukaiku saja. Lebih dari itu, memandang aku yang bisa terbuka kepada orang lain dengan latar belakang yang dahulu kelam sudah menjadi prestasi tersendiri baginya. Sophie sadar, bahwa bisa saja hal itu akan menyandungnya. Rasa cemburu bisa menjadi momok bila ia secara tidak langsung meregangkan tali pengekang tersebut. Hanya saja, Sophie tak terlalu ambil pusing sebab ia tahu kecenderungan hatiku. Apa yang telah ia lakukan tentu takkan mudah untuk kulupakan. Itulah yang menjadi keyakinannya.

Selesai belajar, aku memutuskan untuk pulang. Ketika beranjak, Hannah langsung meraih tanganku.

"Alex, aku boleh minta sesuatu?"

Merasa risih, aku dengan lembut melepaskan tangannya. "Oh, ya!" wajahnya tampak tidak bahagia dengan perlakuanku barusan. "Oh, maaf soal itu! Aku hanya, nggak bisa melakukannya!"

Reaksinya justru membuatku bingung. "Kamu baper, ya?!"

"Hah? Baper?" kata apa itu? Baru kali ini kata itu terdengar di telingaku.

"Baper, bawa perasaan. Kamu mengira kalo aku memegang tanganmu, menandakan kalo aku suka samamu?" tebaknya.

Aku tersentak secara batin. Astaga! Apakah aku memang terlalu polos, sehingga sentuhan tersebut kuartikan sebagai sinyal cinta. "O-Oh, maaf! A-Aku salah paham!"

Dia hanya menggeleng. "Kita bisa bicara di luar?" tawarnya.

"O-Oke!"

Sambil berjalan ringan aku dan dia bergerak menuju ke arah parkiran.

"Kamu udah pernah pacaran?"

Menggeleng. Itu reaksi terbaikku. Kepolosanku tadi sudah cukup membangkitkan buih-buih rasa malu.

"Hmm, pantesan kamu kelihatan bingung dengan itu."

Lihat selengkapnya