Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #13

For The Sake Of My Heart And Love

Pagi menyingsing, diwarnai kicauan burung yang silih berganti menyenandungkan melodi-melodi indah nan anggun. Temperatur yang lembut menghangatkan kulit, sebab cahaya mentari pagi cukup bersahabat menyapa penduduk bumi, demikianlah yang dirasakan Sophie hari ini. Kemeja kotak-kotak distro dengan corak warna-warni yang dipakainya, ditambah kaus putih dengan gambar love berukuran besar di tengah, membuatnya merasa nyaman dan senang.

Sebuah bus datang menghampirinya yang sedari tadi sudah lelah menunggu. Bersama penumpang lain, mereka memenuhkan kapasitas kursi yang disediakan. Ia duduk di bagian tengah bus, namun banyak di antara mereka yang memerhatikannya. Merasa terekspos, Sophie mengarahkan pandangannya dan membalas lewat sebuah senyuman. Mereka pun tersenyum! Hal itu menimbulkan keingintahuannya tentang reaksi yang ia terima. Apakah itu karena outfit-nya? Atau rambutnya yang memang mulus dan halus? Atau karena dia cantik? Saat itu, dia mulai overthinking.

Dengan make up sederhana, ia berjalan menyusuri area kampus. Jaket lab dia gantungkan di lengan kiri, dan sepatu sneakers putih hitam melengkapi tampilannya dalam memulai hari ini. Salah satu signature yang dikenal orang darinya adalah keramahannya. Banyak mahasiswa yang ia sapa, dan tatkala diantara mereka ada yang menggodanya. Bukan 1, bukan 2, bukan 3, tapi banyak. Semuanya adalah laki-laki.

Beruntung, saat itu ada 2 mahasiswi yang menjadi benteng pelindung. Sebab ada satu laki-laki yang kelihatannya menyukai Sophie. Masih belum menyerah, ia berupaya untuk memanggilnya agar berhenti. Bell yang gerah berbalik badan dan menyampaikan apa yang perlu dan dapat disampaikan.

"Maaf, Sophie nggak bisa menerima cintamu!"

"Sophie!" ia masih bersikeras. Terlihat Bell mendorongnya menjauh dari jangkauan Sophie. "Menyingkirlah!"

Kathy yang merasa janggal langsung melihat ke belakang, mendapati bila Bell kesulitan menangani mahasiswa tersebut. Akhirnya ia dengan berat hati membantu Bell meskipun harus berkorban waktu. Tindakannya yang terkesan berlebihan dihentikan oleh Sophie.

Melihat yang ia cintai datang, pria itu mulai semakin keras berupaya untuk menyampaikan isi hatinya. 3 kata utama telah ia dengarkan dengan baik. Sisanya hanyalah dokumen pelengkap. Ia kini menunggu jawaban Sophie, yang ternyata membuatnya kecewa.

"Maaf, aku nggak bisa menerima cintamu! Tolong, carilah perempuan yang lain."

"Kau menolakku? Inikah balasannya? Padahal aku sudah berbuat baik samamu!" pria itu mengadakan perhitungan tentang kebaikannya untuk melunakkan Sophie.

Beruntung, dia cukup teguh akan prinsip dan janji yang ia tetapkan.

"Aku bersyukur atas kebaikanmu. Tapi jika itu alasanmu untuk menuntut balik apa yang sangat kau harapkan, maka kebaikanmu bukanlah sebuah ketulusan."

"Udah, kan? Nggak ada lagi yang perlu diomongkan?" tanya Kathy dengan sangat-sangat kesal. Jam di tangannya terus bergerak, memberitahunya bahwa sudah banyak waktu yang terlewat.

"Apa gunanya ketulusan?" perbantahan masih berlanjut. Dikarenakan emosi, pria itu benar-benar tidak terima. Tapi ia berubah pikiran kemudian demi hati Sophie. "Fi-Fine! A-Aku akan berusaha untuk tulus samamu. A-Aku akan lakukan yang terbaik supaya kita bisa-"

"Tidak! Aku tidak bisa." Dengan sikap yang sama, Sophie dengan tenang menolak perasaannya. "Sebelum kamu belajar untuk tulus dengan orang lain, utamakan ketulusan itu dimulai dari dirimu sendiri. Kalau aku, sudah ada satu orang yang sangat kukasihi dan besar harapanku dengannya di masa depan."

Bell paham siapa yang dimaksud. Sementara Kathy semakin jengkel dengan kata-kata terakhir Sophie. Ia hanya berharap, jangan sampai nama tersebut keluar dari mulutnya. Jika sampai keluar, ia bertekad langsung meninggalkan mereka.

"Kau, penipu!" mahasiswa tersebut berubah seketika menjadi pemarah. Kegeramannya memuncak. "Kupikir kau belum pacaran, ternyata udah ada tambatan hatimu."

Bell langsung merespon semua cercaannya. "Maaf, aku ingin mengoreksi. Sophie belum berpacaran, dan saat ini masih jomblo-"

"Bell," Sophie menahan Bell dengan isyarat tangannya agar tidak berbicara lebih banyak, "biar aku aja."

Kembali pandangannya pada pria tersebut. "Kami belum berpacaran. Aturan khusus milikku adalah pedomanku berpacaran. Supaya kamu tahu, bahwa aku akan membuka hatiku ketika berumur 21 tahun. Saat ini hal itu belum terjadi, jadi tak bisa kulakukan. Jadi, aku saat ini hanya menunggu waktunya hingga kami akhirnya jadian." Terang Sophie.

"Sophie, sebelum hal itu terjadi, tak bisakah aku mengisinya walau sebentar saja? Sebelum kamu bersama yang lain?" tawarnya dengan sangat sedih. Besar sekali harapan akan cintanya untuk diterima.

"AHAH! AKU DULUAN, YA?!" seru Kathy sambil marah-marah. Ia langsung pergi tanpa menunggu lagi.

"Ah, Kathy, TUNGGU !" teriak Bell. Maju selangkah, namun mundur kembali. Ia tak bisa meninggalkan Sophie sendirian.

"Aku bukan tipe orang yang suka mempermainkan cinta. Aku nggak tertarik dengan yang namanya 'coba-coba'. Bagiku berpacaran harus punya tujuan, dan tidak ada yang lain selain pernikahan. Karena itu aku harus jeli memilah setiap orang yang akan kujadikan pasangan hidupku. Prinsipku jelas, 'Sekali untuk selamanya!'"

Pria itu tertunduk lesu. Kehabisan kata-kata dan ide. Sophie pun berpamitan dan langsung mengejar Kathy bersama Bell. Ini merupakan satu dari sekian mahasiswa yang menyatakan perasaannya pada wanita berambut hitam ini. Semuanya ia tolak, bahkan yang sangat tampan sekalipun, demi seorang pria yang punya masa lalu super kacau, yaitu aku. Bersamaku ia merasa nyaman, walau banyak hal yang perlu diperbaiki dari sikap dan karakterku yang terpengaruh oleh rasa trauma. Ia justru tak terlalu ambil pusing, malahan semakin senang dan bahagia.

Kecemburuan meningkat di hati Bell. Bukan tanpa sebab, semua pria yang menyukai Sophie ia ketahui. Bahkan di mana mereka menyatakan perasaan, diiringi berbagai jalan cerita dan drama yang kadang menggocok perutnya. Sementara ia, tidak mengalami hal itu sama sekali.

Sindiran Bell dibantah Sophie kala dilontarkan. Sophie mengaku bahwa dia terkadang ingin menjadi seperti Bell saja. Baginya, dikejar laki-laki membuatnya terbebani. Apalagi kalau sudah dikirimi hadiah, sangat sulit untuk lepas dari rangkaian rantai yang mulai membelenggu. Sophie dalam dirinya menambahkan, dengan saat ini yang mana ia harus berpacu dengan waktu, tapi malah membagi waktu dengan semua mahasiswa yang datang. Sungguh sangat menguras waktu dan tenaganya secara pribadi.

"Kamu hebat bisa bertahan sampai saat ini!" puji Bell.

"Ya, aku hanya bisa bersyukur!" balas Sophie.

Kathy telah memikirkan ini matang-matang. Namun, ia selama itu mencegat dirinya untuk bertanya karena penolakan yang ia lakukan tak sesuai dengan apa yang tampak di matanya sekarang. Jadi, dibandingkan bertanya siapa yang memberikan, ia memilih pertanyaan yang lain.

"Hey, outfit-mu beli di mana?" tanya Kathy pada Sophie.

"Eh, iya! Ada yang ngasih? Dari cowok-cowok itu? Atau kamu beli sendiri? Soalnya cocok samamu!" Bell turut mengajukan pertanyaan padanya. "Manis lagi!"

Senyuman manis, kibasan rambutnya yang mulus dan halus, serta tatapan matanya yang menunjukkan ekspresi kebahagiaan. Ia berputar-putar dengan tangan terentang menikmati sukacita yang mengalir begitu deras di dalam dirinya. Bell curiga, sementara Kathy memandang itu sebagai sebuah keanehan. Tak lama berselang, muncul sebuah pemikiran tentang siapa yang memberikan pakaian tersebut. Karena menurut analisanya, melihat Sophie yang bahagia dengan apa yang ia kenakan takkan mungkin itu pemberian dari orang yang sudah ia tolak. Muncul secara spesifik siapa dia yang sudah berbaik hati akan dirinya.

Sambil berusaha mendekat, Bell berbisik di telinganya. "Alex, ya?"

Sophie terkejut. "Kok tahu?"

Dari belakang Kathy ternyata mengerti. "Si brengsek itunya?" tebaknya. "Cih, sok-sok baik lah itu."

"Kan dia emang baik, loh!" Bela Sophie.

"Ha-ah, kamu tuh ya, kerjanya iri terus, benci terus, mencibir terus. Kapan belajar mengasihinya?" Bell tetap dan masih tetap heran dengan Kathy.

"Udah, yah?! Kita sekarang berhenti bahas Alex. Aku mau masuk kelas. Udah mau mulai soalnya!" pungkas Sophie.

Pembelajaran mereka pun dimulai di kelas masing-masing.

****

"Bell, masih ada jadwal kelas, nggak?"

"Eh? Kenapa? Mau jumpa?"

"Seseorang. Ada satu hal yang masih kurang, dan terasa perlu untuk dilepaskan." Ungkap pria itu.

"Hmmm, gimana, ya?!" Bell kurang merasa yakin dengan dirinya. Meninggalkan kelas tentu telah membuang bertumpuk-tumpuk ilmu yang menjadi salah satu faktor kelulusan ujian. Namun, permintaannya seolah-olah memaksanya untuk berkata ya.

"Nggak bisa, ya?" tanyanya mengonfirmasi.

"Bu-bukan, bukan! Ehmm, gini aja. Kamu bisa nunggu setengah jam lagi, nggak?"

"Kau memikirkannya setengah jam?"

"Nggak loh!" balasnya. "Kan kelas kami dimulai 30 menit lagi. Jadi, kalo kelas nggak ada, di situ aku langsung ikut nemenin kamu."

"Berapa lama kira-kira durasi kelasnya?"

"1,5 jam." Balas Bell.

"Yaudah, kutunggu sampe selesai. Habis ketemuan, kita makan malam bareng, ya?!" tawarnya.

"Astaga! Kamu nge-plannya cepat banget." Bell sampai menggelengkan kepalanya. "Aku aja sampe bingung lo."

"Ya kan sekali-sekali. Biar kita juga makin dekat." Godanya.

"Ish, waktu itu sok stay cool. Sekarang bicara bahasanya udah kayak orang romantis." Sindirnya.

"Hahaha!" Smith tertawa terbahak-bahak mendengar sindiran Bell. Karena tidak tahan, ia pun turut juga tertawa. Kebahagian menghiasi wajah mereka berdua.

"Kalo gitu udah, ya?!"

"Oke, oke. Bye!"

"Bye!"

Panggilan pun berakhir juga.

Sophie yang penasaran, langsung bertanya padanya. "Smith, ya?!"

"Hmm."

Tiba-tiba, sebuah mobil Rolls Royce Panthom mendatangi mereka. Bell kebingungan, tapi raut wajah Sophie mulai terlihat kesal. Saat kaca jendela mulai turun, ia langsung menuruni tangga dan menemui pengemudi tersebut.

"Sophie-"

"Ngapain?" bentaknya. Bell menjadi terkejut dengan sikapnya.

"Aku baru datang masak langsung dibentak?" pria itu mempertanyakan sikapnya. Namun dalam hati, kegeraman sangat-sangat ingin keluar. "Brengsek! Ini orang selalu aja nyari perkara." Umpatnya secara tersembunyi.

"Kamu punya urusan apa? Kamu mau memamerkan kekayaanmu, sampai-sampai bawa mobil ini?"

Ia mencoba senyum. "Kamu mau jalan-jalan, nggak?" tawarnya.

"NGGAK!" balasnya ketus.

"Yakin? Aku pengen ngasih kamu sesuatu soalnya." Bujuknya. Hanya, hatinya berteriak supaya ia menerimanya segera tanpa basa-basi.

"Kenapa aku harus menerimanya?"

"Ini janjiku pada Ayahmu, ya kan? Janji harus ditepati."

"Maaf, tugasku lumayan banyak." Sophie masih menolaknya.

"Ah ..., gimana kalau kita sekalian belajar bareng?" pria itu masih berusaha.

"So-Sophie ...," panggil Bell dengan hati-hati, "sini deh!"

Sophie langsung balik badan dan menjumpainya.

"Itu siapa? Keluarga? Sepupu? Kamu kok marah-marah samanya?"

"Bukan. Bukan siapa-siapa." Ia masih saja kesal dan marah.

"Fansmu?"

Tidak ada jawaban.

Bell kebingungan. Tapi ketika dia melihat ke arah pria itu, tampaknya ia ingin bertemu dan memberikan sesuatu. Ada sebuah kerinduan untuk melakukan sesuatu buat Sophie.

"Mendingan kamu ikuti aja deh permintaannya." Bell dengan agak berani mencoba meyakinkan Sophie.

Berdecak kesal, itulah respon Sophie. Di lain sisi, salah satu teman Bell sudah memanggilnya dari jauh untuk segera mengikuti kelas selanjutnya.

"Aku pamit dulu, ya?! Udah dipanggil!" ia langsung pergi meninggalkan mereka berdua.

Pria itu keluar dan mencoba membujuknya agar ikut. Meski ingin sekali menolak, tetapi pria itu selalu mengingatkan tentang ayahnya. Hubungan ini sudah berlangsung sangat lama. Tapi kekesalannya muncul ketika aku sudah dekat dengannya. Bahkan bisa saja kami berpacaran.

Kurang lebih setahun yang lalu, pria itu dengan santai mendatangi rumah Sophie demi bertemu dengan keluarga itu setelah sekian lama.

“Paman!” salam pria tersebut dengan riang gembira. 

Long time no see, Tom!” balas ayah Sophie. 

Tom, dengan nama belakang Hustler adalah anak dari seorang pengusaha kaya raya yang punya beberapa perusahaan penting. Sebut saja perusahaan metalurgi yang juga terhubung dengan bisnis otomotifnya, dan masih banyak lagi. Sejauh yang Sophie ketahui, ayah Tom berada di California, sebab kantor utama perusahaan berada di sana. Dengan dibangunnya beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang yang sama, Tom sudah mendapat kepercayaan untuk mengelola satu di antaranya, dan kebetulan di Boston bagian Utara.

Terkadang Sophie berpikir mengenai pesatnya kemajuan perusahaan tersebut. Penelitian yang ia lakukan dimulai dari para investor. Jumlah pihak yang menanamkan modalnya pertama kali di perusahaan mereka sebanyak 7 pihak, dengan nilai saham mencapai 40%. Mereka juga meminjamkan uang dari bank dengan jumlah nilai yang fantastis. Yang hilang dari pencariannya adalah besaran nilai yang dipinjamkan berserta bunganya.

Semenjak ia bertemu kembali dengan Tom hingga sekarang, Sophie masih mencari rahasia yang dianggapnya sangat tidak rasional. Ditahun pertama, perusahaan menutup buku tahunan dengan surplus senilai 15,3% dari total penghasilan dikurangi jumlah modal. Sementara, jika ia menghitung menurut data yang ia terima, dan ia yakini bahwa itu adalah valid, beserta dengan kemungkinan nilai modal yang dianggarkan, paling maksimal nilainya hanya 3,25%.

Nilai pendapatan mereka benar-benar naik secara signifikan, sehingga likuiditas keuangan perusahaan bisa terlunasi tepat waktu. 3 tahun berselang, perlahan ayah Tom berani mengakuisisi kembali nilai saham yang sebelumnya ditanamkan oleh pihak investor. 'Penarikan paksa' ini sempat ditentang karena tidak sesuai kontrak yang sudah disepakati, yaitu dalam kurun waktu 5 tahun. Hanya saja, dengan kekuatan ekonomi yang sudah sangat stabil, ditambah kunci kekuasaan dipegang olehnya, ia harus menarik diri dari kursi pemegang saham.

Tahun 2015, terjadi penurunan penjualan yang diprediksi harusnya mengakibatkan kerugian. Data yang Sophie peroleh ini hadir dari situs berita yang sangat akuntabel dalam bidang ekonomi. Dan mengingat kembali keadaan, saat itu memang nilai pasar otomotif dan metalurgi anjlok sekitar 4,86% serta menghasilkan kerugian sekitar 4,13%. Sekali lagi, semua prediksi berhasil dipatahkan, kala keluar data resmi yang diunggah perusahaan dengan nilai surplus 0,94%. Pertanyaan muncul dari berbagai kalangan, mengapa hal itu bisa terjadi?

Dari penuturan salah satu investor yang pernah bekerja sama di sana, ia mencurigai adanya pemalsuan dokumen keuangan yang diunggah ke publik dengan data asli. Kemudian, ada beberapa celah yang dapat dimanfaatkan untuk bisa menarik modal lebih banyak, padahal hal tersebut sesungguhnya bukan bagian dari proyek. Secara finansial, itu mungkin yang tampak terlihat. Tapi, ia meyakini ada jalur lain yang tak dapat, atau masih belum dapat diendus polisi. Untuk saat ini, penyelidikan belum dapat dilakukan sebab data-data masih mentah dan belum bersifat valid. Jika sampai laporan diajukan, padahal kenyataannya berbeda, ujung-ujungnya akan berakhir di pengadilan atas dasar pencemaran nama baik.

Semua informasi yang ia temukan, mengarah kepada rencana mereka untuk membangun ulang sebuah 'lapangan kerja baru'. Dengan pendapatan maksimal, bahkan surplus, mereka membidik perusahaan yang mulai bangkrut dengan menanamkan modal ke sana. Saham mayoritas menjadi milik mereka, kepemimpinan jatuh juga ke tangan mereka, dan pada waktu yang telah diprediksi, perusahaan akan diambil alih sepenuhnya oleh ayah Tom. Itulah kesimpulan yang dapat ia peroleh. Dan sampai sekarang, harta yang mereka miliki sudah sangat-sangat banyak.

Lihat selengkapnya