Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #16

Tertuduh: Part I

Di malam hari, baik ibu dan ayah saling berhadap-hadapan di meja makan. Termenung, mencoba menerima apa yang kusampaikan waktu itu. Cerita tentang kecanduan games hingga berujung kecelakaan fatal. Sampai sekarang, ibu masih tidak percaya. Ayah yang asyik dengan makanan yang di hadapannya memperhatikan dengan saksama kegalauannya.

"Tenangkan dirimu, Cindy! Kita kan bakal datang lagi ke sana!"

"Gimana caranya? Apa iya karena itu Alex harus ngalami kecelakaan?"

"Hal itu bisa aja terjadi." Jawab ayah. "Tapi yang pasti, dia kan udah baikan."

"Tetap aja, Nick!" ibu masih berseberangan. "Memang, dia udah 2 kali turun nilai karena beberapa hal, dan games bukan penyebabnya. Tapi aku nggak pernah melihat dia menyiksa diri sampai kecelakaan begitu. Ini aneh, Nick! Aneh bagiku!" ujar ibu dalam depresi hati yang nyata.

"Keinginan Alex adalah untuk membahagiakan kita. Tentu dia akan berjuang keras untuk itu. Hal yang wajar bila nilai atau prestasi turun, kita akan stres dan melampiaskannya dengan cara demikian. Yang terpenting kan mereka bangkit lagi!" ayah datang dengan pendapat berbeda.

Tapi, ibu tersulut dengan perkataan itu.

"WAJAR GIMANA?" suara ibu meninggi. "Hanya karena kesalahan kita harus bertindak sekasar itu, apa iya itu disebut kewajaran?"

"Aku-"

"Karena suatu hal yang terjadi di luar dugaan, kita harus melampiaskan semua kekesalan dengan menyiksa diri di luar nalar, masa kamu katakan itu wajar?"

Ayah terdiam, ibu kesal dengan semua ini. Ia curiga dan meyakini kalau aku berbohong. Tapi tidak ada petunjuk atau tanda-tanda yang menandakan bahwa aku punya alasan untuk menyembunyikan sesuatu dari ibu. Akhirnya, Sophie pun dihubungi guna mencari tahu apa alasanku tidak berkata jujur.

Panggilan ternyata tak bersambut. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Ibu menjadi semakin penasaran, dan berusaha segiat mungkin untuk menghubungi. Tapi hasil tidak berubah sama sekali.

Ayah yang memandangi ibu sedang gelisah, mencoba bertanya dengan maksud membantu.

"Nelpon siapa, sayang?"

"Ini, Sophie! Aku nelpon nggak diangkat-angkat. Kayaknya nomornya ganti deh."

"Mau minta tolong Alex?" saran ayah.

"Nggak mungkin mau. Bisa jadi dia akan marah karena gadis itu membuka rahasianya. Kita harus bijaksana menghadapi Alex yang demikian." Balas ibu.

Tony memutuskan untuk berbicara dengan orangtuaku. Kejanggalan yang ia terima sangat menarik untuk dibahas bersama mereka. Tiada terlintas di benaknya untuk berbicara dengan Sophie, karena perkara ini lebih condong ke masalah keluarga dari pada dengannya. Di lain sisi, baik Smith dan Bell belum menyampaikan sesuatu padanya alih-alih mengetahui cerita sebenarnya. Ada sesuatu yang belum bisa dikatakan oleh Smith, dan selama ini mereka berdua menyatakan kalau ceritaku benar.

Bel berbunyi, dan ibu dengan sigap berlari menuju pintu. Harapan yang muncul adalah bahwa Sophie yang berada di baliknya. Tetapi, wajah Tony yang ibu jumpai.

"Tony?" ibu terkejut dengan hadirnya.

"Oh, Bibi! Aku ingin berbicara dengan Bibi dan Paman!" ungkapnya.

"Hmm, iya, boleh-boleh. Bibi juga mau nanya sesuatu sama kamu." Balas ibu sependapat.

Ia pun masuk, lalu duduk di meja makan bersama orangtuaku.

"Kau udah makan?" tanya ayah sebagai pembuka.

"Udah, Paman. Jangan khawatir!"

Tanpa basa-basi, ibu langsung masuk ke inti pembahasan.

"Tony, kamu yakin Alex kecelakaan karena bermain games?"

Tony sedikit berpikir, mencoba memahami apa yang sudah ia dapatkan sebelumnya, lalu mulai mengungkapkannya pada ibu.

"Mendengar penuturannya yang demikian, dan dengan apa yang udah kami jalani bersama, aku bisa aja menerima fakta itu."

"Kenapa? Kenapa kamu yakin soal itu?" ibu menjadi kesal karena perbedaan pendapat yang ia dengar.

"Mungkin dia stres, Bi! Alex itu orang yang sangat ambisius, ditambah persaingannya dengan Smith. Orang yang demikian sangat benci kegagalan. Hal itu terlihat jelas di sekolah dulu. Aku saksi mata atas semua yang ia telah lakukan."

"Aku juga setuju dengan Tony." Ayah mulai berbicara kembali. "Kalau situasinya seperti itu, aku yakin kalau Alex sesungguhnya capek. Di situ letak permasalahannya, Cindy! Dia hanya lelah dengan perkuliahannya. Kita harus memberinya semangat!"

Ibu masih belum menerima sepenuhnya pendapat tersebut. Naluri seorang ibu sungguh kuat, sampai-sampai bisa menebak kalau kejanggalan terjadi walau harus menghadapi sebuah pendapat yang bisa menyesatkannya. Di dalam hati, ibu meyakini kalau aku tidak mungkin mengalami kecelakaan karena main games semata. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi dan ia tahu bahwa itulah penyebab sesungguhnya.

Di samping itu, kehadiran Sophie yang seharusnya terjadi tapi tak kunjung datang. Dalam beberapa hari pasca kejadian itu, batang hidungnya tak pernah muncul. Entahkah terlalu sibuk dengan perkuliahan, ibu sendiri kurang yakin. Tapi sejauh yang ia ketahui berdasarkan perjalananku dengannya ketika SMA, kecil kemungkinan ia tak hadir menjengukku. Namun fakta berbanding terbalik dengan semua pendapat yang dibangun. Sophie tak hadir, bahkan sebatas mengirimkan pesan sekalipun.

Ibu menjadi curiga! Lebih dari pada sebelumnya. Mengingat kalau nomor ponselnya sudah berganti, tidak mungkin ia melupakan ibu. Demi memperoleh sebuah jawaban dan Tony mungkin tahu, akhirnya ibu berterus terang.

"Tony, Bibi mau nanya sesuatu sama kamu." Ujar ibu.

"Apa ini masih perkara tadi, Bi?"

"Sophie ke mana?" tanya ibu sejujurnya. "Bibi sudah meneleponnya berkali-kali, tapi nggak diangkat. Bahkan saat Alex masuk rumah sakit pun, ia nggak muncul. Bibi penasaran dengannya, kenapa dia nggak hadir?"

Tony tersentak di dalam batin. Ia tersadarkan kalau ada satu orang yang hilang selama ini. Ke mana Sophie sesungguhnya? Apa ia tidak sadar dengan apa yang terjadi denganku? Dan masih banyak pertanyaan seputar dia yang muncul di kepala Tony. Dan yang tahu tentang dia secara utuh hanyalah Bell. Itu pun kalau mereka memang masih sering berkomunikasi. Ia pun kurang informasi karena tidak punya waktu membahas apakah Bell dan Sophie benar-benar masih terikat di dalam pertemanan saat kuliah. Tony pada akhirnya tidak bisa memberikan konfirmasi selain hanya sebuah asumsi prematur.

"Kalau itu, aku nggak tahu, Bi! Aku pun nggak terlalu mencari tahu hal itu karena program latihan yang kujalani. Tapi mungkin Bell tahu, itu pun kalau mereka memang masih berhubungan." Jawabnya.

Sebuah statement bersifat konklusi muncul dari benak ibu. "Jangan-jangan, Alex kecelakaan karena perempuan itu? Aku kok merasa seperti yakin?"

"Apa maksudmu?" tanya ayah yang kelihatannya tidak sependapat.

"Itu masuk akal menurutku, dengan semua yang sudah terjadi hingga sekarang."

"Dengan semua hipotesis yang kamu buat?"

"Memang dia tidak hadir selama ini. Dan bila mengacu kepada semua kecurigaan Bibi, aku melihat bahwa ini bisa dijadikan sebagai sebuah alasan kuat Alex menderita sekarang." Tony dengan pikiran sehatnya, mulai menemukan sedikit petunjuk yang menuntun mereka kepada kebenaran sesungguhnya. Tak berhenti sampai di situ, pikiran Tony memunculkan sebuah pertanyaan akan alasan hal itu bisa terjadi. "Tapi yang tak kumengerti adalah, apa yang udah terjadi dengan Sophie?"

"Apa Sophie menolak anak kita?"

"Aku kurang yakin dengan itu." Jawab ayah.

"Lalu apa? Apa alasannya dia nggak hadir dan hubungannya dengan kecelakaan Alex?" ibu semakin dipenuhi oleh kegelisahan yang tak kunjung mereda. "Gimana cara menyimpulkannya?"

Tony memilih untuk mengambil inisiatif itu. Mencari tahu kebenaran dari orang yang ia anggap tahu dan memiliki hubungan yang dekat dengan Sophie.

"Paman, Bibi, sepertinya aku harus mencari tahu ini pada seseorang."

"Bell? Gadis yang kamu bilang barusan?" tanya ibu memastikan.

"Iya, Bi! Hanya itu yang kutahu dekat dengan Sophie di perkuliahan." Hanya, ia tak menyebut Kathy dalam hal ini. Akan menjadi perkara yang rumit, apa lagi kalau ayah mengetahuinya.

"Kalau begitu, kami mengandalkanmu, Tony!" pinta ayah.

"Jangan khawatir, Paman!"

****

Di rumah sakit, aku hanya berbaring menikmati kebosanan yang tak kunjung hilang. Bosan hidup, bosan berbicara, bosan makan, bosan untuk tertawa, bosan untuk menangis, bahkan bosan untuk mencintai. Aku muak dengan semua yang kualami. Begitu besar kebencian yang timbul, dan begitu susahnya juga menghilangkan ini semua. Selalu saja datang orang untuk menjenguk, dan menanyakan hal yang sama lagi dan lagi.

Kadang, ingin sekali kulempar sesuatu, apa pun yang ada di dekatku ke kepala setiap orang yang datang, hanya untuk bertanya seputar pertanyaan yang sama: "Kenapa kau mengalami kecelakaan?" Fuck all of you! Apa tidak ada pertanyaan selain itu? Aku menjadi kesal sendiri. Manusia memang menjijikkan! Bahkan diriku sendiri pun benar-benar membuatku jengkel.

Bertahun-tahun aku membangun sebuah rumah yang disusun dengan berbagai batu bata ilmu pengetahun, tetapi rubuh seketika oleh hembusan bersin seorang perempuan najis. Aku tidak habis pikir tentang mengapa aku harus meneteskan air mata. Mengapa aku harus berjanji untuk melakukan sesuatu untuknya, sementara aku dikhianati dengan cara yang bodoh. Parahnya lagi, aku meresponinya dengan cara yang bodoh! Ternyata, aku ini memang bodoh!

Setelah Anne Chen dan yang lain, aku bertanya-tanya siapa orang bodoh selanjutnya yang akan datang. Bersikap ramah dan baik, padahal itu cuma topeng semata. Aku yakin mereka pasti senang melihatku menderita seperti ini. "Setidaknya, berkurang saingan!" ini mungkin yang akan mereka katakan.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar hingga ke telingaku. Lagi dan lagi, ada orang bodoh yang mencoba menjenguk orang bodoh.

"Alex, aku boleh masuk?" tanya orang tersebut.

Aku hanya diam saja. Sementara itu, dia langsung membuka pintu dan rupanya adalah Hannah, orang bodoh berikutnya yang akan menanyakan pertanyaan bodoh pada orang bodoh. Ia berjalan mendekat, dan di dalam pikiranku bahwa ia membawa teman-teman yang lain. Ternyata dia datang sendiri saat situasi sedang sepi. Hatiku yang dipenuhi rasa curiga dan benci mulai menerkam mukanya saat berhadapan denganku.

"A-Alex!" sapanya malu-malu. Bukan karena sifatnya yang demikian, tapi karena faktor cinta yang dahulu serta responku ketika melihat teman-temanku datang menjenguk.

"Keluar! Nggak usah jumpai aku!" perintahku ketus.

"Ehm, kondisimu udah sehat?" keramahannya masih ada. Tapi dengan hati sekeras batu seperti ini, susah baginya untuk masuk.

"Nggak usah sok peduli! Pulang aja! Buang-buang waktu kau di sini!"

"Kamu mau buah?" dia masih belum menyerah juga. Saking kesalnya, buah apel yang ia tawarkan kulempar ke samping dengan kuat.

"YA TUHAN!" serunya terkejut. Buah itu hancur berserakan di lantai. Ia mengambil kain pel, lalu mengelap bekas buah tersebut dan kembali mendekatiku.

"Alex, aku datang dengan maksud baik! Nggak usah ingat-ingat lagi kejadian waktu itu. Lihatlah aku sebagai temanmu, dan tangan ini terbuka siap untuk menolongmu." Terangnya.

"Pertolongan apa yang bisa kau beri?" tanyaku meremehkan. "Novel busuk itu mau kau andalkan? GOBLOK!" makiku tepat di depan mukanya.

"A-Alex, tenangkan dirimu dulu." Hannah dengan lembut memberi saran padaku. "Segala sesuatu pasti ada alasannya, tapi kemarahan takkan menyelesaikan apa pun!"

"Oh, yeah? Good! Itu artinya, aku nggak perlu menyelesaikan itu. Kecelakaan ini sudah menjadi garis akhir dari pertandingan cinta ini." balasku.

Ia hanya terdiam tanpa mampu bereaksi seperti tadi.

"Udah puas? Get out!" perintahku padanya.

Hannah pun pergi tanpa mampu melakukan perbuatan yang lebih dari teman-temanku sebelumnya. Di luar, ada beberapa yang sudah menunggunya, termasuk Anne Chen.

"Dia masih marah, ya?" tanya Anne Chen.

Hannah hanya bisa mengangguk.

"Aku bingung dengan dia." Ujar salah seorang yang ada di sana. "Inilah pertama kalinya aku menghadapi orang kek gini; susah kali diajak bicara."

"Kalo ini masih diteruskan, apa lagi pas kerja kelompok kuliah, nggak kebayang betapa susahnya kerja sama dia." Yang lain turut menambahkan. "Semuanya serba salah!"

"Kau Hannah, katanya kau pernah suka sama dia. Jadi, udah kau lihat sikapnya kek gitu, masih suka kau samanya?"

"Kalo iya, harus ekstra sabarlah kau samanya." Timpal yang lain.

Sementara itu, Hannah hanya menunduk. Kejadian waktu itu takkan mungkin dia lupakan. Jadi, ia meyakini akan lebih berguna kalau ia berterus terang dari pada hidup di dalam kepura-puraan.

"Cintaku ditolak." Ungkapnya jujur. "Dia hanya suka sama satu gadis yang bukan dari MIT."

"Oh, yah? Baguslah!" tutur temanku laki-laki dengan penuh syukur. "Kasihan kau nanti kalo jadian samanya."

"Tapi aku nggak bisa ... membiarkan dia kayak gitu." Hannah ternyata masih menaruh perhatian padaku. Bukan cinta, tapi kasih atas kecelakaan yang kualami.

"What?"

"No, that's bullshit!"

"Kamu yakin dengan itu?" Anne Chen mencoba membuatnya berpikir ulang.

2 temanku yang laki-laki pun mempertanyakan isi hati Hannah yang masih mau berteman dan menolong orang yang sudah memaki-makinya. Di dalam hati, Hannah mengakui jika tindakannya berlebihan, bahwa ia seolah-olah ingin perasaannya kembali kuterima dengan perbuatan baik tersebut. Hanya, di atas itu semua, ia berusaha mencoba melakukan itu atas dasar terima kasih. 2 motivasi berbeda lahir di dalam hatinya.

Akhir dari kunjungan mereka adalah meninggalkanku di dalam kesendirian, mendapati kalau mereka memperoleh amarah dan kekecewaan yang begitu besar.

****

Aku duduk di sebuah pembatas jalan berbahan besi. Sendiri, menatap jauh ke depan, di mana ada sebuah pemisah antara aku dan kumpulan bangunan-bangunan mewah yang penuh warna warni. Sungai ini cukup tenang di malam hari, sehingga terpantul sempurna wajah bulan dan bintang-bintang yang bersinar di atasku. Desahan angin nan lembut, seolah-olah menitipkan pendingin bagi jiwa. Suasana ini, mereka berinisiatif untuk menyajikan damai sejahtera bagiku yang selama ini tercuri di dalam sebuah ruangan sempit penuh bau cairan antiseptik.

Sepanjang hari, aku tidak bisa tenang. Kemarahan menguasai hingga sekujur tubuh. Menikmati udara bebas setelah bisa pulang dari rumah sakit tak berujung kepada kenikmatan yang sesungguhnya. Aku benci dia!

Ada satu bagian dalam hidupku yang direnggut secara paksa, keluar dari tubuh dan meninggalkan lubang kosong yang tak berpenghuni. Dengan berbagai usaha yang begitu kuat, tak ada satu pun yang bisa mengisinya demi membuatku utuh kembali. Aku hanya berharap, menghabiskan waktu bersama malam setidaknya bisa meninggalkan kesan penuh makna walau sesaat.

5 menit berjalan, ada sedikit ketenangan. 5 menit berikutnya, petaka yang muncul. Wajahnya kembali terngiang jelas di kepalaku.

"Brengsek!" umpatku. "Kenapa jadi wajahmu yang kuingat-ingat? Kurang ajar!"

Setelahnya, aku mulai berperang dengan diriku sendiri. "Goblok kau memang, Alex! Entah apa yang ada di otakmu! Percuma pintar, percuma juara, percuma berprestasi, tapi gampang kali dijebak cewek. Goblok! GOBLOK!"

Responku selanjutnya adalah penyesalan. "Bajinganlah, aku harusnya nggak usah jatuh cinta samanya. Nggak perlu aku sok-sokan bertindak sok romantis kayak gitu, kalo pada akhirnya aku dikhianati. Habis waktuku hanya untuk cinta bodoh ini, padahal aku bisa belajar untuk lebih baik." Pungkasku. "Brengsek memang!"

Dari belakang, Hannah memanggilku dengan lembut. "Alex!"

Untuk kesekian kalinya, perempuan ini selalu muncul. Padahal cintanya sudah kutolak, namun masih saja ia mendatangiku. Apa yang dia inginkan sebenarnya?

"Maumu apa, sialan? Terus aja kau datang menjumpaiku. Masih belum cukup lagi yang kemarin?"

"Aku nggak berniat bicara apa pun samamu." Ujarnya. Di tangannya, sudah ada sebuah kotak berukuran sedang berwarna biru.

"Lah, terus kenapa kau bicara kalo nggak niat bicara? Udah gila kau-"

Kotak itu diserahkannya padaku. "Ini! Tolong ambillah. Sekalipun ini sederhana."

"Campakkan aja itu ke tong sampah!" hinaku terhadap pemberiannya. "Lebih busuk dari sampah itu."

"Alex, ini bukan sampah!" ia berusaha mengoreksi perkataanku. "Aku nggak pernah berniat memberikan sampah padamu. Ini adalah yang terbaik dariku, kuberikan samamu."

"Ya udah, yang terbaik darimu ya sampah!" tegasku akan cercaan untuknya. "Apa masih perlu diulang biar ngerti?"

"Alex, berhenti berkata dan bersikap kasar!" Hannah akhirnya mulai tegas dan berani menegurku. "Aku datang baik-baik sebagai temanmu, hanya supaya kamu nggak merasa sendiri menghadapi ini. Aku nggak tahu masalahmu, dan sepertinya kamu nggak berniat berkata jujur akan hal ini. Tapi dari dalam hatiku, meski banyak orang sudah menentangnya, aku melawan semata-mata untuk memberitahu bahwa punya masalah itu biasa-"

"HALAH, BACOT KAU!" bentakku di depan wajahnya. Jujur, telingaku dibuat hampir-hampir rusak. Terlalu banyak kata-kata yang menyakiti telinga, sampai-sampai aku sudah merasa ini melewati batas.

"Niat mau duduk damai malah diganggu anjing penggonggong!" bahkan, aku sudah mensejajarkan dirinya dengan binatang. Tapi perempuan biadab itu, lebih parah dari pada binatang. 

Lihat selengkapnya