"IDIOT!" dengan lantang aku berteriak.
Sepanjang perjalanan, aku dibuat pusing 7 keliling. Bagaimana tidak, pikiranku hanya dipenuhi oleh perkataan-perkataan bodohnya yang tidak berfaedah dan hampa. Mengeluarkan semua pembenaranku sangat sulit rasanya. Sistem pertahananku diuji dengan begitu dahsyat. Sukar rasanya menerima pernyataan demikian. Dengan semua pengalaman pahit yang kuterima, mencoba melepaskan ini bukanlah pilihan yang dapat dipertimbangkan. Jadi, bagaimana?
Melihat bahwa perbuatanku sudah cukup baik dan tepat sasaran, dengan timbal balik yang berbanding terbalik, I don't get it! Tak bisakah mereka belajar untuk sempurna? Melakukan segala sesuatu dengan baik tanpa ada masalah? Membenci semua kelemahan diri sendiri dan beranjak untuk hidup dengan kemampuan kita? Apa sesusah itukah bagi mereka untuk menggapai kesempurnaan?
Setelah pencarian jawaban yang tak kunjung datang, aku masuk ke kamar dan merenung di atas kasur. Mencoba membantah semua perkataan Smith tolol, dan menyadarkannya agar tidak merasa benar di depanku. Ya, aku memang perfeksionis, melankolis sejati. Dan hal itu merupakan hal yang wajar bagiku. Nothing surprise! Yang kusesalkan, kenapa mereka menganggap itu sebagai masalah?
Mereka seharusnya yang meminta maaf padaku karena tindakan mereka. Ini sangat berseberangan dengan apa yang kurasakan. Si bodoh itu menganggap kalau dia bisa hidup sendiri. Jikalau bukan karena aku, tidak mungkin dia bisa memperoleh nilai yang bagus dan juga berprestasi di berbagai ajang dan lomba. Kalau si cewek brengsek itu tidak belajar samaku, tidak mungkin dia masuk ke Harvard, terlebih jurusan Kedokteran. Bukan hal gampang untuk masuk dan menjadi bagian mereka. Kalau bukan karena aku, tidak mungkin si Hannah bisa bahagia menikmati perkuliahannya di Geologi. So, it's all about me! Tapi yang sangat menjengkelkan, mereka semua merendahkanku.
Apa yang mereka pikirkan tentangku? Apakah aku hanyalah seorang pembantu? Kekonyolan ini sangat berlebihan. Tidak dapat kubayangkan bahwa kehidupanku dipenuhi dengan keputusasaan dan kemarahan. Memandang kehidupan yang tak selayaknya dijalani.
Aku hidup dengan perjuangan yang besar. Membunuh semua kelemahan demi mencapai target yang diinginkan. Banyak hal terabaikan, semata-mata untuk memastikan ambisi pribadi tidak mengecewakan. Ini adalah hal yang sulit dicapai. But, I did it!
Tiba-tiba, ponselku berdering. Hal pertama yang kulakukan, mengabaikan itu. Aku enggan membukanya karena memang menjijikan isi pesan yang datang. Selalu nasihat, selalu nasihat, dan telingaku sudah bosan mendengarnya. Seolah-olah hanya itu saja yang perlu bagiku. Sungguh manusia tolol!
Ternyata, perintah berikutnya datang lagi. Kupikir dia mau menunggu sampai hatiku tenang, walau juga hal itu sangat sukar untuk dibenarkan. Sebab setiap hari aku hidup dalam amarah. Dan kini, pancingan ini sangat menggoda untuk melepaskan semua kekesalan.
"BRENGSEK! Siapa ini?" tanyaku.
Dengan cepat bergerak menjangkau ponselku, tampak pesan Hannah masuk untuk menanyakan soal tugas.
Hatiku panas dibuatnya. "Memang cewek tolol ini! Entah apa yang dia tahu." Pesan yang dikirimkannya sangat tidak berbobot sekali. Masakan dia harus memintaku untuk menolongnya dalam mengerjakan yang sebetulnya tidak terlalu sulit?
Terpaksa aku mengerjakannya. Namun, beberapa kata-kata cacian perlu disematkan agar dia tidak menjadi mahasiswa yang bodoh, mempunyai penalaran yang baik, serta tidak memiliki pemikiran yang dangkal, sempit, dan juga kolot. Tak berhenti sampai di situ. Bahkan di kampus pun, semua yang bergabung dalam grup diskusi denganku hanyalah sekumpulan orang tolol yang tak punya pengetahuan yang baik. Segala sesuatu, harus aku yang mengerjakannya.
Keesokan harinya, terdapat satu momen di mana aku begitu kesal saat itu.
"Bisanya?" tanyaku dengan sinis.
"Aduh, bro! Kurang paham aku." Balas seorang dari mereka.
"Kau gimana? Nggak bisa juga?" aku jadi merasa yakin kalau mereka sama sekali cuma menjadi beban kelompok.
"Cuman sedikit yang kupahami."
"Sedikit?"
"Iya, cuma sedi-"
"Apalah yang sedikit itu?"
Lucunya, dia malah kebingungan. "Goblok memang kalian semua. Ditanya apa pengetahuannya yang sedikit itu, malah diam. Ngapain aja kalian selama ini di kampus?" amarahku sudah tidak tertahan lagi, mengingat tiada satu pun di antara mereka yang bisa diajak bekerja sama.
"Sorry, bro! Yang ini memang agak sulit." Seorang di antara mereka membela diri.
Mendengar itu, aku dibuat tercengang. Alasan macam apa itu? "Ya, itu gunanya belajar! Biar ngerti kalian apa aja yang diajarkan, otak kalian nalar dan itu bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kalo otak kalian mikirnya cuma yang kotor-kotor, mabuk-mabukan, ya bodohlah kalian kayak sekarang!" dengan tajam aku mencerca mereka.
Seorang di antara mereka tersinggung, dan tanpa kusadari mereka memperbincangkan kelakukanku belakangan ini di belakang.
"Bajingan memang itu!" maki seorang yang kebetulan satu grup diskusi denganku.
"Ah, nggak ngerti aku. Kok bisa aku sekelompok samanya?"
Seorang temanku datang lagi menjumpai mereka yang bersandar di dinding depan kelas. "Masalah lagi?"
"Si Alex brengsek itu! Nggak pernah bagus kata-katanya. Kayak udah yang paling pintar aja dia." Ungkapnya.
Ia pun menepuk pundak pria itu. "Sabar-sabar!" hiburnya. "Mungkin dia punya masalah, sampai-sampai berdampak ke kita."
"Tapi kan nggak gini juga!" balasnya kesal. "Namanya juga diskusi. Kalo kita nggak tahu, ya minta bantuan sama yang lain. Ini malah dijelek-jelekkan. Keparat memang orang kayak gitu!"
Smith berdiri di balik pintu. Perbincangan mereka dia dengarkan semua, dan hatinya begitu sedih akan hal itu. Karakterku sudah membunuh persahabatan yang memang sangat kurindukan.
Hannah yang sudah membereskan peralatan belajarnya langsung pergi meninggalkan kelas. Dengan wajah datar tanpa ekspresi sedih, seperti yang biasa ia lakukan, Hannah melewati Smith sesantai itu. Tapi dia dihentikan kala reflek Smith berhasil menggenggam tangannya.
"Kau mau pulang?"
"Iya, kenapa?"
"Ehm ...," Smith di dalam hati ingin membahas seputar pengakuan cintanya kepadaku. Tetapi dengan ekspresi yang tak mengenakkan, ia mengurungkan niat dan melepaskan tangannya.
"Kenapa? Mau bicara apa?"
"Ah, nggak! Pulanglah!" jawab Smith.
Tanpa sepenggal kata pun, ia langsung meninggalkan dia di sana.
****
Di kamar, ia membaca lagi pesan yang kukirim kepadanya. Begitu pahit, getir, menyayat hati, menghancurkan perasaan. Hanya karena beberapa soal, Hannah memperoleh berbagai cemoohan yang tak pantas. Tak pernah terbayangkan bahwa dalam belajar pun manusia harus dicaci maki. Sebulir air mata mengalir dari sudut matanya.
"Alex, kamu kok jahat banget sih?" sesalnya. "Aku cuman nanya tugas padahal."
Semakin lama dia pandangi pesan tersebut, semakin dia tambah tersiksa. Beruntung saja, Anne Chen menemuinya dan mengajak untuk jalan-jalan ke mal. Ia pun menyetujuinya.
Ayah berusaha mencariku. Hal ini semata-mata ia lakukan demi memperbaiki apa yang ia anggap sudah rusak akibat kegagalannya sebagai ayah yang berfungsi. Perasaan sedih dan tertuduh kerap menghantuinya, namun ibuku selalu menguatkan ayah agar tetap berjuang untuk mengembalikan hubungan yang seharusnya. Kembali kepada tanggung jawab sebagai ayah; bukan sebagai diktator, tapi pelopor. Bukan menjadi orang yang suka menyuruh dan menuntut, tapi menuntun dan menopang.
Di tempat biasa, duduk di sebuah palang besi, aku hanya memandangi apa yang ada di depan mataku sambil memaki-maki orang. Siapa pun yang melintas di pikiran, baik laki-laki maupun perempuan tak luput dari cacian mulutku ini. Bagaimanapun, semua orang yang kujumpai sangat menjengkelkan dan penuh kebodohan. Yang dikedepankan selalu kelemahannya, bukan mencoba untuk menunjukkan kebolehannya. Mau sampai kapan hidup dengan prinsip seperti itu? Aku tidak mengerti.
Terkadang, bersikap seolah-olah sempurna perlu menurutku. Bahwa, apa yang kita tampilkan murni sebagai hasil dedikasi dan semangat juang yang tinggi. Aku berhak meninggikan hal itu, sebab usahaku mencapai titik puncak menyatakan fakta. Prinsip konyol dan kuno itu sudah tidak berlaku bagiku. Itulah sebabnya, mengkritik orang yang demikian sangat perlu agar tidak malas dan segera berbenah untuk menjadi sempurna sepertiku. Bagiku, di antara semua yang kukenal, I'm better than them! I'm perfect!
Sambil meminum kopi dalam cup, aku merasa bahwa hidup sendiri menyenangkan. Kecuali jikalau ada yang benar-benar sejajar denganku soal intelektual. Orang yang pintar dan cerdas, yang bisa diajak bertukar pikiran di dalam tingkatan yang jauh lebih tinggi dan luas.
Asyik dengan diri sendiri, tiba-tiba dari belakang ada yang menepukku.
"Siapa itu?" secara spontan, aku menanyakan siapa yang melakukan hal tersebut.
"Kau lagi ngapain?" tanya seseorang. Mendengar suaranya, aku tahu bahwa ayah mendatangiku lagi.
"Kenapa, Pa? Aku lagi ingin sendiri." Balasku datar.
"Sendiri? Kenapa?"
"Mengkhususkan diri dari dunia luar cukup berdampak positif bagi pikiran. Dalam proses komunikasi, semakin banyak berinteraksi memang menumbuhkan banyak informasi dan ilmu pengetahuan. Tapi pengaruh entah positif atau negatif sama besarnya, atau malah salah satu mungkin lebih tinggi tergantung orang yang dihadapi. Memfilter hal demikian memerlukan energi yang cukup banyak, dan seorang introver akan cukup kesulitan dengan itu." Ujarku dengan sedikit akademis.
"Ah, jadi kau seorang introver, ya?"
Tak kusangka, bahwa selama ini dia baru tahu dengan sifatku. Yang benar saja! Untuk sepanjang waktu, di dalam banyaknya lika-liku kehidupan, kenapa baru kali ini dia mencoba untuk mendekat? Aku merasa janggal dengan ini.
"Bagaimana perkuliahanmu?"
Lagi, pertanyaan ini dilontarkan kesekian kalinya. "Aman. Nggak ada yang menyusahkan."
"Oh, okelah!" balas ayah. "Apa kau masih merasa kesal dengan Sophie?"
Tiba-tiba saja, ayah langsung membuatku kehabisan kata lewat pertanyaannya.
"What?"
"You know, mengampuni itu ..., me-mengampuni itu perlu untuk kau lakukan." Saran ayah.
"What're you talking about?" betapa gilanya hal itu! Sungguh, mengapa dia memintaku untuk melakukannya?
"Ya, me-mengampuni dia! Bagaimanapun juga, tugas kita adalah memaafkan orang dan mulai berusaha untuk mengasihi."
"You know nothing about me! Know nothing about my problem, and know nothing about my heart." Ujarku tegas. "Papa nggak tahu apa yang terjadi denganku, ketika aku kecelakaan parah karena perbuatannya? Jika aku harus menghilang saat itu juga, will you say the same?"
Aku begitu marah dengan itu. Kenapa semua orang sejauh ini sungguh-sungguh menjengkelkan? Apa yang ada di pikiran kalian selama ini?
"Kau tahu, bahwa kita semuanya pernah buat kesalahan. Kalau kita menyimpan dendam, selamanya kita nggak bisa bahagia. Itu harus dilepaskan, nak!"
Nasihat ini begitu menyebalkan. "Pikiran Papa udah kacau. Aku capek dengar itu semua. Mengampuni itu hanyalah omong kosong!" setelah berkata demikian, aku pergi menjauhinya.
"Ah, Alex ...."
Yang tak kusadari, ibu pun ada di situ. "Dia masih belum mengerti."
"This is so hard to do." Keluh ayah.
"Tapi kamu masih harus terus melakukannya. This is your responsibility!"
"Hah ...." ayah menghela napas, mencoba meyakinkan dirinya untuk tetap bertahan dan menyelesaikan misinya. Berdamai denganku, dan kembali menjadi ayah yang sesungguhnya.
****
Hannah memutuskan untuk tinggal di kafe. Anne Chen berusaha untuk mengajaknya pulang, berhubung besok jadwal cukup padat. Selain itu, Hannah sejatinya tidak membawa kendaraannya. Itulah kenapa Anne Chen agak sedikit memaksanya untuk pulang. Hanya, Hannah bersikeras untuk tetap tinggal.
"Kamu memang tidak mau pergi?"
"Nggak apa-apa! Aku masih belum mau pulang."
"Pulangnya bagaimana?"
"Don't worry! I can take care myself!"
"Hmm, fine! Aku pamit dulu!"
Ia akhirnya pulang sendiri, ditemani dengan begitu banyak baju baru yang ia beli tadi.
Sementara itu, Hannah memandangi ponselnya, kembali kepada pesan kasar yang kukirimkan kepadanya. Dalam pikirannya, ia cuma memikirkan tentang apa yang telah ia lakukan selama ini. Mengapa ia berjuang begitu keras, padahal ia sudah kutolak? Apa yang ia telah korbankan, hati, tenaga, waktu, pikiran, ia mempertanyakan tentang kenapa seorang Hannah harus menolong orang yang keras hati sepertiku.
"Aku nggak tahu alasannya. Untuk apa aku melakukan segalanya hanya demi membuatmu sadar, Alex?" gumamnya. "Apa benar aku masih menaruh rasa terhadapmu? Tapi kamu sudah menolak aku. Ada apa denganku ini?"
Pikirannya dipenuhi dengan kebingungan. Dia tidak mengerti, mengapa ia masih tetap bertahan terhadapku. Memilih untuk melawan semua logika, hanya demi sebuah tindakan tanpa alasan. Dia merenung, bahwa apakah yang ia rasakan sesungguhnya adalah cinta atau kasih? Perasaan yang lahir dari rasa suka, naluri manusia heterogen, atau semata-mata murni sebagai bentuk respon terhadap sifat dasar manusia, yaitu makhluk sosial.
Semakin ia mendalami 2 hal itu, ia mencoba menemukan titik terang bagi hatinya yang sebenarnya. Tapi, ada begitu banyak kendala dalam menentukan sebuah jawaban dan sikap yang tepat. Hannah berupaya untuk mengambil keputusan final, tentang bagaimana ia bertindak selanjutnya denganku. Mengingat semua perilakuku yang melukai hatinya, tak mungkin selamanya ia bisa bertahan tanpa alasan yang fundamental dan mengakar kuat.
1 jam berada di kafe, tak mengubah situasi. Namun, Hannah tak merasa kecewa. Ia pun memutuskan untuk memberi dirinya waktu untuk menemukan sebuah alasan yang tepat baginya terhadapku, sehingga semua yang ia lakukan bukanlah tindakan membabi buta, namun efisien dan tepat sasaran.
****
Di tengah-tengah sunyinya lingkungan sekitar, hanya ditemani begitu banyak pohon rindang, serangga-serangga yang suka bersiul di malam hari, dan mungkin ada seekor burung hantu yang dengan tenang mendengarkan setiap bunyi-bunyi suara yang samar-samar, di mana mungkin ada seekor mangsa yang bisa ia tangkap. Sebuah bangunan megah, yang entah kenapa bisa ada di sana, satu-satunya yang paling mencolok di antara ribuan pohon besar. Bersinar begitu megah, mengalahkan cahaya rembulan di langit malam yang cerah.
Hanya ada segelintir orang yang menempati bangunan tersebut. Dan mengapa mereka memilih tempat tersebut, hal itu tak bisa dijelaskan. Yang jelas, tempat itu begitu mengundang perhatian bagi mereka yang memandangnya.
Beberapa orang ditugaskan di luar bangunan untuk menjaga. Menggunakan jas kulit berwarna hitam, kaos berwarna coklat, hitam, serta merah masing-masing, lengkap dengan sebilah pisau dan pistol Glock 17. Salah seorang di antara mereka mengisi magazine senjata dengan amunisi yang baru, sambil dengan waspada memantau situasi sekitar.
Tak disangka-sangka, seorang di antara mereka mengacungkan pucuk pistol ke arah rekan yang lain.
"What-" dia yang terkejut seketika membalikkan badan. Nahas, suara tembakan terdengar ke telinga semua yang ada di sana.
"Gotcha!" serunya sambil tertawa.
"For God sake, you're trying to kill us?"
"Oh, dasar pengecut!" pria yang menembak tadi, balik mengkritik mereka.
Akibat tembakan tersebut, terdapat bercak berwarna kemerahan di jaketnya. "You, bastard! This is blood!"
Dengan kemarahan besar, ia bangkit berdiri dan hendak menghajarnya.
"Calm down, idiot!" balasnya. "Itu cuma peluru mainan."
Mereka akhirnya tertawa terbahak-bahak akan candaannya. Bukannya ikut tertawa, pria yang tertembak tadi malah makin jengkel dan lebih ingin membalas perbuatannya. Belum sempat melesatkan sebuah pukulan, dari belakang tiba-tiba muncul seseorang.
"Kalian senang hari ini?" tanyanya datar.
Semuanya terkejut dan mengambil sikap siap sempurna. "Ehm ..., ka-kami tadi hanya bercanda."
"Bukan itu yang kumau. Kalian senang hari ini?"
"I-Iya!" balas mereka dengan rasa takut.
"Baguslah! Berarti polisi belum menemukan kalian." Ujarnya. "Tapi jika 5 menit berikutnya kalian masih belum berhenti, maka petaka akan muncul." Pria itu dengan tegas memperingatkan mereka.
"Kami meminta maaf!"
"Berarti pesanku jelas?"
Semuanya mengangguk.
Pria itu kemudian dengan santai masuk ke dalam bangunan.
"Hah, sialan!" dengus seorang di antara mereka.
"Kok bisa langsung jumpa sama dia?"
"Nggak tahu aku! Pokoknya, semua balik ke pos masing-masing."
Akhirnya, para pria itu kembali ke tempat mereka semula.
Di sebuah tempat khusus, Tom dan Sophie sedang bersantai ria satu sama lain. Duduk di sebuah sofa, dengan Sophie bersandar di pundak Tom, segelas wine di tangan masing-masing menjadi salah satu aksesoris utama kencan saat itu. Mereka terlihat begitu bahagia, bersama dengan begitu banyak orang-orang yang turut menikmati lagu-lagu party yang dipertunjukkan oleh seorang DJ. Gemerlap lampu sorot dengan berbagai warna membuat suasana menjadi semakin meriah, dan semua kenikmatan dunia ditampilkan di sana tanpa pandang bulu.
Pria yang memasuki bangunan tersebut menemui sang DJ terlebih dahulu, menanyakan apakah Tom dan Sophie berada di ruangan khusus mereka.
"Hey, bos di posisinya?" tanyanya.
"What? I can't heart you!" pria itu kesulitan mendengar apa yang dikatakannya.
Terpaksa ia melompat ke atas panggung dan membisikkan apa yang ingin dia sampaikan. "Bos ada di posisinya?"
"Benar. Temuilah, kalau ada yang perlu."
Ia pun berjalan pergi. Baru beberapa langkah, ia menatap tajam sang DJ tersebut. "Lain kali, bersihkan telingamu sebelum aku yang melakukannya ..., Matthew!" ancamnya. Setelah berkata demikian, pria itu menghilangkan dirinya.
"For real?" Matthew terkejut mendengar itu. "Dumbass!"
Sophie meneguk wine miliknya dengan penuh nikmat. "Hah!" desahnya.
"Gimana? Enak, kan?"
"Enak. Tapi lebih enak," dia langsung menyentuh wajah Tom, "kalo dekat kamu."
"Oh, tentu dong! Aku kan pangeranmu!"
"Pangeranku!" kebahagiaan membuatnya memeluk Tom dengan erat. Setelah itu, mereka kembali meminum alkohol tersebut.
"Dengan semua yang kupunya, mana yang kamu pilih dibanding aku?"
Sophie merasa heran dan terkejut dengan pertanyaan itu. "Kamu kenapa sih? Itu pertanyaan yang bodoh loh!"
"Eh, jangan salah! Terkadang, pertanyaan yang bodoh justru yang paling susah dijawab." Balasnya.
"Kalo gitu, beri aku pertanyaan yang pintar."
"Nggak mau!"
"Ah ...."
"Yang itu dulu! Kamu pilih harta ini semua atau aku?"
"Aku pilih hartamu." Jawabnya dengan senyum.
Tom mengernyit. "Kamu yakin dengan itu?"
"Iya, dong! Buat apa aku pilih kamu, kan kita udah satu!" ucapnya manja dengan kedua tangan mereka saling bergenggaman.
"Oh ..., aku tersentuh, sayang!" hati Tom berbunga-bunga karena kalimat tersebut.
"Iya, dong pasti-"
"Bos, F-1 ingin bertemu dengan Anda!" sebut seorang pengawalnya.
"Sekarang?"
"Ya! Dia berkata bahwa ini sangat penting."
Terpaksa, ia harus meninggalkan Sophie di sana.
Falcon sudah berdiri di dekat meja kantor Tom. Sambil menyilangkan tangan, ia menunggu kapan saja bosnya akan datang. Hingga beberapa saat terlewati, sekilas langkah kaki mulai terdengar di telinganya. Semakin dekat dan mendekat, hingga akhirnya bunyi gagang pintu dibuka terdengar begitu jelas.
"Falcon, waktunya nggak tepat!" sesalnya.
"Maaf mengganggu kenyamanan Anda!"
"Ya, udah pasti kau mengganggu kami!"
"Barang kita sudah sampai ditujuan." Ungkapnya. "Namun sepertinya, akan muncul beberapa kendala yang berarti."
"Believe it or not, semua perjalanan kita memang akan menemui masalah. Itu normal, Falcon!" Tom mencoba meyakinkan pria yang bernama Falcon tersebut untuk tidak khawatir. "Yang terpenting bisnis kita tetap berjalan. Dan akan selalu seperti itu."
"Maaf, saya salah dalam menaruh kata-kata yang tepat." Pesan yang ia terima baru saja, diserahkan kepada Tom melalui ponselnya. Bahwa, beberapa rekannya sudah ditangkap bahkan dibunuh oleh polisi karena memberikan perlawanan.
"Lion tewas terbunuh di Detroit, sedang Fox berhasil melarikan diri. Namun masih belum diketahui kabarnya, sebab nomor yang bisa dihubungi tidak ada. Bahkan pesan pun tidak kami peroleh." Terangnya.
"Lalu?"
"Wolf dan Rhino tertangkap di California. Entah apa yang terjadi, saya tidak tahu. Tapi dengan situasi seperti ini, Anda seharusnya sudah bisa memahami dan mulai mengambil langkah terbaik selanjutnya." Imbuhnya.
"Aku ingin memastikan satu hal. Semua barang-barang itu aman sampai tujuan?"
"Mengapa justru itu pertanyaan Anda?" Falcon mulai tidak nyaman dengan respon Tom.
"Kau nggak layak mempertanyakan pertanyaanku, Falcon!" tegurnya keras.