Acceptance

Daud Raja H. Sitorus
Chapter #19

Back To Your Root

Percakapan dengan ibu begitu menggocoh pikiranku. Sebenarnya, hampir tidak ada perbedaan pandangan dan pendapat yang dikemukakan baik ibu maupun orang di sekitarku. Hanya, ketika orang yang sangat menyayangimu dengan tulus, bagian dari dirimu sendiri secara biologis, orang yang mengerti dirimu luar dan dalam, berbicara di dalam sebuah nasihat, seolah-olah itu membongkar pikiranmu yang dangkal dan berkeruh. Aku seperti dibuat tak berdaya, sebab semuanya itu tepat dan berguna bagiku.

Setelah semuanya itu, terlebih karena ini merupakan keinginanku untuk bertemu dengannya, kali ini pilihan harus kubuat. Haruskah tetap seperti ini, atau belajar untuk menerima situasi yang ada? Aku dipenuhi kebimbangan! Kecenderungan memang mulai berubah haluan, tetapi kekang masih tetap membelit. Apa lagi yang harus kucari demi menetapkan sebuah keputusan di hati? Jika memang harus demikian, siapa yang harus kulihat? Perlukah bukti untuk membuat hatiku yakin?

Siang hari, meski aku mulai melatih diri untuk kembali ke kehidupan semula, makanan yang ada di hadapanku sangat sulit untuk kukonsumsi. Terbiasa menyiksa diri, berubah untuk ke arah yang baik tidak berjalan mulus. Perlahan-lahan pun, tetap saja lambungku seolah-olah menolak. Entah karena terlalu banyak gas, mungkin saja demikian. Hanya, aku harus memaksakan diri. Menjaga kesehatanku adalah tanggung jawabku sendiri.

Sepulang dari restoran, aku memilih untuk kembali ke kamar. Berdiam diri, mencoba memikirkan semuanya. Apa yang kudengar dan apa yang kupertahankan selama ini. Mana yang harus difilter dan mana yang harus dibuang. Ego mencoba untuk mengambil alih, sebab selama ini dia kuizinkan bekerja di dalam pikiranku. Hanya, hati nuraniku turut berjuang demi menarikku ke arah yang patut kutempuh. Dan ini menjadi pergumulanku sepanjang hari.

Minggu tiba, di mana rata-rata orang yang beriman pergi beribadah. Sementara yang masa bodoh terhadap agama, sibuk dengan urusannya masing-masing. Di negara ini, semua bebas melakukan apa yang mereka suka. Tetapi, beberapa dari mereka memilih untuk mengekang itu pada beberapa hal yang patut untuk dipertimbangkan. Dan aku memilih bersama dengan mereka.

Tiada yang spesial dari ibadah hari ini. Sebab pikiranku yang lebih kuutamakan kala itu. Apa pun yang disampaikan, semua lalu lalang, keluar masuk dari telinga. Sebab yang kubutuhkan sekarang bukan teori, sebab sudah terlalu banyak pengetahuan yang kuterima. Aplikasi kini yang perlu.

Semua orang berhamburan keluar. Mereka bercengkerama satu sama lain, bahkan beberapa saling memeluk untuk menunjukan rasa kasih mereka. Karena hidup dalam kebencian, aku merasa janggal dengan itu. Tapi lucunya, aku pun kena getah juga kala ada seseorang yang merangkulku. Ya, aku mencoba untuk berbicara seperlunya, namun orang tersebut tetap memberikan senyum yang tulus kepadaku. Dalam hati aku bertanya, "Kenapa mereka tersenyum samaku?"

Hingga tanpa kusadari, salah satu jemaat yang beribadah di gereja tadi adalah Hannah. Dia memakai pakaian serba hitam, dan tampak berjalan ke arah halte bus. Sepengatahuanku, jaraknya hanya sekitar 200 meter dari lokasi gereja. Lalu teringatlah aku akan apa yang dia telah lakukan selama ini. Jika ini merupakan apa yang kini kuperlukan, maka dia adalah orang yang tepat. 

Aku pun berlari secepat mungkin mengejar dia sebelum bus datang. Dan syukur, aku berhasil mendapatkannya, sementara dia pun menoleh ke arahku.

"Alex? Kamu hari ini ke gereja?" ia cukup terkejut dengan kehadiranku.

"Ya, anggap aja gitu." Balasku datar. Aku ternyata masih terlalu cuek dan dingin.

"Tapi aku belum pernah lihat kamu di sana."

"This is my first time."

"Ini kali pertama ke gereja?"

"Ke gereja itu, iya! Hanya ...."

"Selama ini kamu absen ke gereja mana pun?"

Ia berhasil menebak apa yang kulakukan selama ini.

"Aku nggak mendapatkan apa pun selama ini."

"Kalo kamu niatnya baik, nggak mungkin kamu berkata begitu." Ujarnya.

Aku memilih untuk diam.

"Jadi, kamu mau ke mana sekarang? Mau pulang?"

"Ehm ...." Aku bingung, dan merasa agak malu. Selama ini, aku cukup kasar dengannya. Jadi, bila aku menawarkan tumpangan, hal ini terasa aneh bagi hatiku.

"Kalo mau pulang, ya sudah. Jangan lupa tugas kuliah! Aku mau balik dulu."

Dia berbalik dan melangkah menjauhiku. Tapi, aku yang dengan sekuat tenaga memerlukan bantuannya, berhasil menghentikan langkahnya. Tangannya kugenggam erat, dan kuharap ia mau menerima permintaanku.

"Ada apa? Ini pertama kalinya kamu menghentikanku." Hannah cukup heran dan bertanya-tanya dengan sikapku barusan.

"I ... need your help!"

Hannah terkejut dan menganga mendengar permintaanku. Setelah berminggu-minggu, aku yang cukup keras dan bebal, akhirnya menyerah dan memohon pertolongan darinya.

"W-What?"

"Ye-Yeah! I need your help!"

"Are you sure about that?" ia ingin mengonfirmasi, bahwa apa yang kukatakan adalah benar. "Kamu kan sudah sempurna dan nggak butuh bantuanku!"

"Aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu."

Hannah menjadi sangat penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi denganku? Dengan penilaian berdasarkan apa yang telah ia lihat, seharusnya orang sepertiku masih tetap keras hati dan sulit berubah. Namun dalam beberapa hari semenjak pertemuan terakhir kami, di matanya aku berubah menjadi agak lembut. Ia sungguh-sungguh ingin tahu, apa yang telah terjadi denganku.

"Apa maksudnya ini?"

"Ehm ..., ehm ...." Mengulangi apa yang kupinta kepadanya cukup menyiksa perasaanku.

"Kamu kan bisa lakuin segalanya. Apa iya kamu harus meminta tolong samaku?"

"Ha-Hannah! A-Aku ..., mohon!" sungguh, aku harus bermuka tembok terhadap masa lalu. Semua kenangan itu tak mungkin kulupakan. Kata-kata hinaan yang terlontar di setiap pertemuan, mereka berkerumun di pikiranku dan menekanku begitu rupa.

"Kamu ..., kamu kok aneh, ya?"

"Apa aku salah meminta bantuanmu?" aku agak sedikit kesal dengannya. Aku benar-benar berharap dia mau bekerjasama.

"Bukan! Kamu tentu berhak meminta sesuatu. Cuman, apa yang udah terjadi denganmu? Itu menggangguku."

"Oh, kau menolak aku?" 

Hannah melihat, bahwa responku mulai kembali seperti dulu. Ia pun berusaha untuk memberi pengertian. "Maaf, Alex! Kamu salah paham. Aku cuma mau bilang, kalo kamu sekarang sudah berubah menjadi lebih lembut dibandingkan dulu. Bahasamu juga udah gak ada lagi kata-kata kasar."

Mendengar penjelasan itu, aku tersadar dan mengakui dalam hati kalau ada perubahan sedikit dalam hidupku.

"Kalo kamu ingin bicara denganku, ya sudah! Aku mau bicara dan mendengarkan kamu." Ujarnya.

Hatiku lumayan tenang sekarang. Sebab, tiba waktunya untuk menemukan bukti agar aku mampu memutuskan pilihan terbaik bagiku untuk kujalani.

Aku membawanya ke parkiran dan kami pun berangkat menggunakan mobilku. Dalam perjalanan, kesunyian menyerbu suasana. Aku seperti dikekang oleh masa lalu. Susah sekali berbicara dengan orang lain. Aku seperti terbiasa hidup sendiri, merasa tidak butuh orang lain. Dan sebagai hasil akhir, inilah yang kudapatkan. Aku berharap, ia menanyakan sesuatu kepadaku. Aku ingin mendengar dia memulai pembicaraan. Dengan kondisiku yang sekarang, cukup sulit bahkan mustahil aku bisa kembali memulai pembicaraan. Persis seperti aku dengan wanita itu dahulu.

Di sisi lain, Hannah hanya memandang ke samping. Melihat semua yang kami lewati tanpa memedulikan keberadaanku yang mengemudikan mobil. Matanya asyik dengan keindahan luar, sementara aku merasa terpenjara.

Perlahan, ia pun berubah haluan ke depan. Meski tidak melihatku, namun aku cukup merasa senang ia melihat ke depan. Seperti ada sebuah harapan, kalau ia mau berbicara setidaknya apa pun saat ini.

"Kabarmu gimana?"

Akhirnya! Ia mau berbicara lebih dahulu kepadaku. Dan yang paling indah, dia menanyakan kabarku.

"Ehm ...," aku cukup bingung harus menjawab seperti apa. Jujur sepertinya belum bisa kukatakan. 

"Masih sakit-sakitan?"

"Belakangan ..., udah mendingan."

"Makannya lancar?"

Pertanyaan tersebut membuatku beku. Apa dia mengetahui sampai sedetail itu? Baru saja kemarin, aku kesulitan untuk makan siang. "Ehm ..., y-ya, lumayan lancarlah."

Dari tasnya, ia mengeluarkan sebuah makanan ringan lalu diletakkan di atas dashboard mobil. Aku spontan melihat apa yang dia taruh di sana.

"Itu sejenis sereal untuk membantu pencernaan. Berhubung karena kamu suka telat makan, pasti lambungmu terluka dan menimbulkan sakit penyakit. Coba konsumsi itu, sampai perutmu benar-benar lebih baik."

Kali ini, dia menunjukkan sikap yang kubutuhkan. Selama ini, aku terlalu buta oleh karena cinta kepada Sophie. Motivasi hatiku yang didasari oleh cinta bukan kasih, membuat apa yang baik yang dilakukan orang lain, menjadi sumber kecurigaanku. Termasuk Hannah! Tapi kini, lewat apa yang disampaikan ibuku, sedikit demi sedikit aku mengerti.

"Te-Terima kasih!" aku begitu bersyukur bahwa ia masih belum berubah dan tetap peduli denganku. Ya, aku tidak bisa memaksa dia untuk bersikap seperti dahulu.

Sementara itu, Hannah masih mencoba untuk kalem. Dia memilih untuk sibuk dengan dirinya sendiri, sembari mencoba menebak siapa yang sudah mengubahku menjadi seperti sekarang. Kata terima kasih yang kusampaikan, semakin menunjukkan bahwa aku bukanlah Alex yang kejam dan kasar.

"Kau ..., ehh ...," entah kenapa, suasana hatiku menjadi tidak karu-karuan dibanding pertemuan tadi. What's wrong with me?

Hannah masih belum bergerak menatapku sekalipun perkataan sudah keluar dari mulutku. Sikap tersebut membuatku semakin tersiksa, bahwa orang yang saat ini kubutuhkan merupakan orang yang terluka karena perbuatanku. Tidak mungkin dia menerima segampang itu perilaku yang sudah menyayat hati lebih dari luka disayat silet.

"Kau ...."

Sekilas aku menatap, ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sebuah pesan. Entah ke siapa disampaikan, aku cukup penasaran dengan itu. Atau mungkin, karena ia malas bicara, akhirnya ia mengirimkan lewat sebuah pesan isi hatinya. Tepat setelah ia menyelesaikannya, suara dering ponsel terdengar di telingaku. Dengan cepat tanganku merogoh saku celana, di mana terdapat ponsel milikku yang kuyakini berbunyi. Dan benar, kalau pesan yang ia ketik tadi ditujukan kepadaku.

"Berani mengatakan apa yang ingin kamu katakan! Aku bukan manusia yang suka memangsa manusia. Aku bukan polisi yang menindak orang ketika berbuat kejahatan. Dan aku bukan guru yang memberi nilai jelek kalau murid-murid kurang cerdas! Aku hanyalah orang biasa dan nggak sempurna, yang saat ini duduk di dekatmu dan mau mendengarkanmu!"

Baiklah! Bahwa ia memintaku untuk berbicara dengan berani. Tapi tidak semudah itu, kawan! Ponsel kuremas karena aku tahu, sekalipun ingin melakukannya, tetapi susahnya minta ampun! Belum lagi aku memang sangat introver. Bagian ini sungguh membebaniku!

Hannah yang menunggu keluarnya keberanianku mulai gerah dan akhirnya merendahkan diri untuk berbicara.

"Kamu mau ngomong apa?" tanyanya datar.

"Ke mana mobilmu?" sekalipun ini terasa konyol bagiku untuk ditanyakan, tapi hanya ini yang muncul di dalam benak.

"Di rumah!" balasnya juga dengan sangat datar. "Terus ini mau ke mana?"

"Ke ...," pikiranku menimbang-nimbang, apakah layak aku berbicara di kamarnya? Karena penasaran, aku berniat mencobanya, "ke tempatmu!"

"Mau ngantar ke sana terus pergi lagi, atau langsung bicara di situ?" tanyanya lagi lebih mendetail.

Semakin dia memberikan pilihan, aku menjadi semakin takut kalau timbul kesalahan. Tujuan memang benar untuk bicara dengannya, tapi masalah tempat aku merasa seperti berada di 2 sisi jurang. Jikalau aku menyesuaikannya dengan kepribadianku, bicara di tempatnya adalah pilihan terbaik. Namun, apa ia bersepakat dengan itu? Aku hanya bisa bungkam.

"Hah, ya udah ke tempatku aja! Kalo kamu begitu di tempat umum, canggung rasanya!" cetus Hannah.

Sudah diputuskan, kalau kami akan bicara di tempatnya. Terkesan cukup berani menurutku, sebab keluarga tentu menyarankan untuk berbicara di luar apabila dengan perempuan. Tapi, ya sudahlah! Bagiku, berbicara dengannya itu yang terpenting. Lagi pula, aku tidak punya intensi untuk hal yang aneh-aneh.

Sampai di rumahnya, dan tepat seperti yang ia katakan kalau mobilnya ada di rumah. Aku yang penasaran, hanya bisa menduga-duga di dalam hati apa alasan mobil ini ditinggalkan. Bertanya kepadanya masih cukup sulit kulakukan.

Dia lalu membuka pagar rumahnya, dan sambil menatapku yang masih berurusan dengan semua dugaan yang berseliweran di pikiran.

"Ayo masuk!" ajaknya.

Aku pun melangkah masuk mengikutinya sampai ke dalam rumah.

Rumahnya bertingkat, mungkin 2 lantai. Dari yang kulihat sekilas, bangunan ini lebih tepat dikatakan memiliki 2 lantai. Karena pertama kali datang kemari, aku tidak paham denah rumahnya. Hannah terlihat ke atas tanpa meninggalkan pesan sedikit pun. Aku merasa canggung, terlebih karena kini hanya kami berdua yang ada di dalam rumah. Di depanku ada ruang tamu, dan di sebelahnya persis ruang makan. Jika model rumahnya mirip seperti rumah orangtuaku, harusnya lemari-lemari tersebut berisi setidaknya minuman atau makanan.

Aku berjalan maju ke depan, melewati meja dan televisi besar berukuran sekitar 32 inci. Masuk ke ruang makan, terdapat jendela di sebelah kiri, dan melihat sinar matahari yang berpindah ke arah barat memancarkan cahayanya. Tampak juga beberapa pot bunga yang diletakkan di sana, yang terkesan bagiku memberi efek segar bagi mata. Hingga aku mencoba untuk lebih mendekat ke arah sumber cahaya, sebelum akhirnya langkah kaki Hannah terdengar jelas sedang menuruni anak tangga.

Aku secara spontan melihatnya yang sudah bertukar pakaian ke setelan rumah. Kaos berwarna putih serta celana pendek berwarna krem. Bando hitam yang ia gunakan tadi pun sudah tidak ada lagi. Hannah sudah mengikat rambutnya dengan scrunchie.

Sepanjang dia berjalan mendekat ke arahku, dia sama sekali tak menatap dan hanya fokus ke depan. Dari dalam lemari, ia mengambil 2 buah gelas dan langsung diletakkan di atas meja. Kulkas tak jauh dari tempat dia berdiri, dan dari sana ia mengeluarkan sebotol jus jeruk yang kelihatannya sudah cukup dingin. Mungkin sudah beberapa jam ia taruh di sana. Hannah menuangkan jus tersebut ke masing-masing gelas, satu untuknya dan satu untukku. Melihat itu, aku berinisiatif untuk duduk, sementara ia sudah menyilangkan tangannya.

Tatapannya cukup berbeda dengan apa yang kulihat sebelum insiden tersebut. Dahulu, ia begitu ceria dan cukup hangat dengan pandangannya. Sekarang, berbanding terbalik. Yah, itu hal yang harus diterima. Dengan apa yang dijelaskan ibu, ini merupakan konsekuensi.

"Mau ngomong apa?" tanyanya pula.

Aku agak sedikit bingung. Apa dia mau memberi waktunya bila ini berjalan cukup lama?

"Eh ..., kau keberatan, nggak kalo ini lama?" tawarku padanya.

Dia membuang muka ke samping, sepertinya merasa jengkel dengan tawaranku. "Yah, tergantung topiknya."

"Oke!" mendengar itu, aku berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan ini dengan segera. Kurasa, ia pun tidak mau melihatku lagi. "Ehm, jadi ..., aku bicara dengan Ibuku nggak lama ini!" 

"Apa hubungannya denganku?"

"Yah, aku ... eh, aku ...." Terlalu sulit mengakui kalau aku salah terhadapnya!

"Kamu kok balik ke kebiasaan dulu? Kenapa? Kamu takut?" Hannah mulai membongkar isi hatiku yang penuh dengan topeng sekarang. 

"A-Aku ..., ah, dari pembicaraanku dengan Ibuku, aku mulai ..., tersadar bahwa berteman itu baik!" ini bukanlah yang sebenarnya kuterima. Aku hanya masih dikekang ego sehingga payah mengakui kesalahan. Sepertinya, keperfeksionisanku masih mengakar kuat.

"Oh, cuman itu?" Hannah tampak biasa saja meresponi itu. Apa dia tahu kalau aku menyembunyikan yang sebenarnya?

"I-Iya! Berteman itu baik!" balasku akan pertanyaannya.

Dia seketika mendengus. "Kamu ternyata introver sejati, ya?!" tebaknya.

"Itu benar! Kok kau tahu?"

"Huh, ada berapa banyak rahasia yang kamu sembunyikan selama ini?" akhirnya dimulai juga. Aku segera dikuliti.

"A-Aku nggak menyembunyikan apapun!" aku malah berkilah. Padahal, tadi aku ingin berbicara dengannya.

"Yakin?" cukup satu kata dan tatapan curiganya, aku sudah kehabisan akal. "Minum jusnya!" perintahnya.

Aku pun segera meminum sebanyak mungkin, semoga saja otakku bisa rileks kembali. Melihat ada sedikit sisa jus di mulutku, Hannah langsung menggeser tisu yang ada di dekatnya.

"Tujuan kamu mau bicara samaku apa?"

Ya, tampaknya ia memang tahu kalau aku tidak berani mengatakan apa yang ada dalam sanubariku.

"Aku ...."

"Apa yang disampaikan Ibumu sama dengan yang kusampaikan terus menerus samamu?" tebaknya.

Aku berusaha menatapnya. Berusaha untuk berani. Berusaha untuk tidak takut. Berusaha untuk tidak gentar. Walau sesaat saja, aku ingin bisa bertatapan dengannya tanpa dikejar-kejar bayangan masa lalu. Sekuat tenaga, dengan apa yang ada, aku akhirnya menggapai apa yang ingin kulakukan. Menatapnya, kini bisa kuraih. Namun keyakinanku tidak bertahan lama, dan aku harus secepat mungkin menyampaikannya.

"Itu benar!" aku langsung layu setelah itu. Aku tidak bisa lagi menatapnya. Mengapa orang seperti mereka mau mengasihiku?

"Kali ini, kamu berkata jujur!" pujinya. "Orang yang perfeksionis, adalah orang yang susah mengakui kesalahannya, karena mereka nggak mau dipandang rendah. Tapi hari ini, kamu punya keberanian seperti itu untuk menemuiku dan mengungkapkan apa yang sepatutnya kamu tutupi berkat sikap introver tersebut, aku cukup terkesan!" imbuhnya.

Tapi, bukan itu yang kupikirkan saat ini. "Kenapa?" ini yang muncul dipikiranku. "Kenapa kau mau mengasihiku? Apa alasanmu menjumpaiku terus menerus? Kenapa kau mau menolongku? Perkataanku harusnya cukup membuatmu hidup dalam kebencian, tapi sampai saat ini, di waktu ini, kau malah mengizinkanku untuk berbicara denganmu! Siapa kau sebenarnya? Apa dasarmu melakukan ini? Kau bukan Tuhan, nggak, bahkan Tuhan pun harusnya benci samaku! Entah ngapain aku tadi ke gereja. Kenapa? Kenapa?" di depannya, aku mengumbar semua ketidaktahuanku tentang apa yang selama ini kutolak. "Please, help me!" pintaku dengan sangat.

Hatinya tak tersentuh sama sekali. Hannah hanya memikirkan tentang perjuangannya, dan betapa pahitnya untuk tidak dihargai. Apa yang kulakukan, baginya tak lebih dari sekadar gimik untuk melembutkan hati. Hannah mencurigaiku, dan meyakini bahwa aku tidak sepenuhnya mengakui kesalahan. Ia ingin melihat komitmen, kerinduan untuk berubah bukan lewat kata-kata semata. Namun perbuatan nyata!

"Mengapa kamu menggunakan kata 'kenapa'? Bukankah kamu sudah sempurna? Harusnya kamu tahu hal itu!" Hannah mencoba melawan hati nuraninya yang sebenarnya. Ia masih ingin melihat, seberapa besar aku ingin menjadi lebih baik.

"Apa aku nggak bisa mendengar jawabanmu? Aku sungguh ingin bicara, Hannah!" aku begitu putus asa! Aku ingin tahu kenapa dia mau mengasihiku.

Dia lalu meminum jus miliknya, dan dengan santai meletakkannya kembali di atas meja. "Kan kamu tadi bilang, kalo kamu ingin bicara. Inisiatifnya datang darimu, jadi seharusnya kamulah yang harus mengatakannya."

"Apa kau menjadi sekejam itu?"

"Kamu lupa diri, ya?!" sindirnya. "Selama ini siapa orang yang paling kamu sakiti? Hmm?"

Aku bungkam. Dibandingkan aku yang kurang peka terhadap Sophie waktu SMA, yang satu ini merupakan paling parah. Aku sadar dan tidak picik setelah semua yang terjadi antara aku dan dia.

"Kenapa nggak bisa jawab? Kamu takut?"

Hatiku hanya bisa berkata 'ya' tentang itu.

"Aku tadi udah bilang, berani bicara! Kenapa kamu malah diam?"

"Aku ..., aku ...," haruskah aku mengatakannya sekarang? Bagaimana ini?

Dia menatapku. Wajahnya begitu datar, dan terkesan seperti ingin menerkamku. Tapi, aku harus bisa mengalahkan tekanan ini.

Dalam hati, aku berdoa supaya diberi kekuatan untuk mengatakannya. Dan perlahan-lahan, aku mulai bisa tenang dan berani mengungkapkannya.

"Aku ... minta maaf!" ungkapku. Semoga, ia mau menerima ini.

"Enak, ya!? Cuman bilang minta maaf terus merasa udah beres semua!?" lagi, sindiran kedua datang darinya.

"A-Aku cuman bisa meminta maaf, Hannah!"

"Kamu tahu seberapa sakit perilakumu terhadapku?"

"Aku waktu itu nggak ngerti, Hannah!" jawabku.

"Nggak ngerti?" ia mengernyit tak percaya. "Untuk beberapa waktu lamanya aku melakukan yang baik samamu, kamu masih nggak ngerti juga? Bukankah kamu pintar? Apa hal itu nggak kamu ketahui?"

"Hannah, aku ..., aku hanya bertindak atas kemarahanku."

Dia menggelengkan kepalanya. "Jujur, aku nggak ngerti! Kamu masih sempat-sempatnya menolak perbuatanmu sendiri. Apa gunanya kamu minta maaf kalo seperti ini caramu?" Kali ini, dia terang-terangan menyerangku.

"Apa kau nggak bisa melupakan ini semua? Please, aku pun nggak mau lagi mengingat semua ini." Semoga, ia mendengar permintaanku ini.

"Ternyata kamu nggak ngerti rasa sakit yang kualami. Dan kamu benar-benar munafik meminta maaf samaku." Balasnya ketus. "Aku dan yang lain berusaha untuk membawa kamu ke jalan yang baik, tapi kamu malah merasa acuh tak acuh dan memaksa agar ini semua hilang begitu saja."

"Hannah, kau makin menjengkelkan kurasa!" hatiku yang jahat dan keras mulai kembali. "Dibilang minta maaf malah bahas penderitaan. Kayak udah kau aja yang paling menderita!"

"Nah, ini buktinya!" Hannah dengan tepat menemukan kemunafikanku. "Kamu nggak akan bisa meminta maaf sebelum merasakan apa yang aku rasakan. Kamu hanya berdusta, berusaha untuk menutupi apa yang kamu ingin lindungi. Kalo kamu memang ingin meminta maaf, harusnya reaksimu bukan seperti itu. Memaafkan itu bukan memaksa, jadi jangan paksa aku mengampunimu. Pastikan hatimu benar dulu, supaya ucapan maafmu bukan menjadi batu sandungan." Bunyi nasihatnya.

Karena tidak tahan, aku memutuskan untuk pergi dari rumahnya.

Aku mengumpat sepanjang perjalanan. Mengapa orang-orang sekarang begitu susah menerima kondisi yang ada? Aku sudah meminta maaf, tapi mereka menolak hal tersebut. Apa artinya itu? Percuma mereka menyuruhku meminta maaf, kalau pada akhirnya sama saja. Semua orang bicara terlalu banyak, sampai-sampai lupa bahwa tidak semua itu berpengaruh pada situasi. Dititik ini, saat dia sudah menolak ungkapanku, lalu aku harus bagaimana? Apa urusannya penderitaannya harus kualami? Jikalau bisa dihindari, kenapa harus dialami? Betapa bodohnya itu!

Pikiran mereka terlalu liar! Tidak heran kenapa mengasihi dan mengampuni adalah tindakan yang bodoh. Tidak lebih dari sekadar tong yang kosong, kalau dipukul nyaring bunyinya. Ternyata, hatiku memang benar, bahwa mereka semua adalah orang bodoh!

Di rumahnya kini, Hannah merasa aku bukan dengan hati yang serius mengucapkan permohonan maaf tadi. Masih terasa baginya sifat lamaku, dan akhirnya muncul juga ke permukaan. Ia mengerti, bahwa apa pun yang dipelihara dalam hati, pasti akan mencuat ke permukaan. Semuanya akan terungkap!

Jus yang tersisa di gelas ia habiskan, lalu beranjak ke atas untuk mengerjakan tugas kuliah. Untuk beberapa saat, ia menjadi tidak tenang. Apa yang baru saja ia alami, cukup mengganggu pikirannya yang berupaya untuk fokus belajar. Setelah berpikir sejenak, Hannah memutuskan untuk bertemu Smith dan mengajak dia berdiskusi.

Smith dengan rendah hati mau datang ke tempatnya untuk belajar dan mengerjakan tugas bersama. Dalam beberapa jam tugas berhasil diselesaikan, sementara ilmu yang mereka pelajari juga berhasil mereka serap. Smith yang merasa sudah tidak perlu lagi menambah ilmu, berkeinginan untuk membicarakan hal di luar tugas.

"Apa kau tahu kabar terkini orang itu?" tanyanya. Namun, Smith enggan menyebut namaku karena kesal.

"Hah? 'Orang itu'? Siapa?"

"Si bebal itu!"

"Oh!" Hannah paham kemudian siapa yang ia sindir. "Dia kelihatannya udah sehat." Jawab Hannah.

"Jadi, masih bebal dia?"

Ia menatap Smith, lalu beralih ke bawah memandangi meja yang di depannya.

"Apa yang harus kukatakan? Aku pun bingung mengatakannya." Jawabnya. "Orang itu benar-benar susah diladenin."

"Tipe-tipe seperti itu amat berbahaya, apa lagi jika masuk ke dunia keluarga. Pertikaian bisa terjadi kapan saja dan di momen mana saja. Orang yang susah mengakui kesalahan karena merasa selalu benar, adalah batu sandungan dan parasit yang menyebalkan."

"Aku pun setuju dengan itu!" balasnya. "Sebab, tak lama ini dia datang menemuiku."

"For real?" Smith tercengang mendengar itu. "Apa dia udah bosan sendiri?"

"Yah, andai memang itu alasannya."

"Berarti bukan itu?"

"Dia meminta maaf!" ungkap Hannah.

Smith tak percaya dengan apa yang disampaikannya. "Sukar dibayangkan!"

"Dan fakta bahwa ia masih saja keras kepala dan degil, bahkan mengakui kesalahan pun ia masih mengandalkan ego."

"Itulah susahnya menghadapi orang yang perfeksionis. Tiada tipe kepribadian yang lebih susah ditaklukkan selain karakter seperti ini."

"Aku nggak tahu, apakah ia akan mulai menyadari tentang perasaan orang lain karena perbuatannya. Rasa-rasanya, aku udah terlalu cukup baik baginya." Hannah merenungkan apa yang sudah ia lewati sampai sekarang tentang aku.

"Bahkan aku sendiri nggak nyangka kau seniat dan senekat itu mengejar dia!"

"Aku sungguh ingin melihat apa yang akan ia lakukan setelah ini. Masih tetap seperti itu, atau dengan rendah hati meminta maaf dan belajar untuk hidup ke arah yang baik."

Smith dalam hati menyetujui harapan Hannah.

****

Di kelas, aku mencoba untuk berubah. Sikapku yang jahat berusaha kutekan, jangan sampai ini menjadi petaka lagi. Aku tahu, ini lebih susah dan menyakitkan secara batin. Terbiasa dengan keliaran dan kehidupan yang penuh sumpah serapah, lalu masuk kembali ke dunia yang lebih sopan dan ramah, aku masih belum terbiasa.

Orang-orang dengan tatapan dingin bertebaran di kelas. Di samping kiri dan kanan, depan maupun belakang, tak ada bedanya. Seperti ada 2 kubu sedang berhadap-hadapan untuk memulai sebuah perang. Mereka banyak, tetapi aku sendiri.

Dosen mengajak kami untuk berdiskusi seputar mata kuliah yang baru saja disajikan di depan kelas. Mereka mulai berpisah untuk bertemu dengan rekan kelompoknya, namun mataku dengan jelas melihat reaksi beberapa orang yang tergabung denganku. Mereka lalu duduk, bersama dengan rasa gelisah di hati. Aku bisa membacanya, bahwa tidak ada perasaan bahagia ketika bertemu denganku. Di titik ini, aku sungguh kalang kabut tak punya fondasi dalam bersikap.

Sekalipun aku mencoba untuk bersikap ramah, tetap saja aku seperti musuh bagi mereka. Tak satu pun dari mereka yang mau bersikap ramah seperti dahulu. Diskusi bukan lagi tempat yang penuh dengan komunikasi sehat, namun menjadi seperti kucing dan anjing. Entah bagaimana ini akan berakhir, aku betul-betul bergumul.

Mau tidak mau, salah satu rekan kelompokku yang bernama Sam memaksakan diri untuk berbicara. "Ayo, kita mulai diskusinya."

Aku cuma bisa mengangguk. Sungguh, tersiksa seperti ini sulit digambarkan. Dikejar bayang masa lalu sungguh mencekam dan menakutkan.

Lihat selengkapnya