Maka pada akhirnya Raja tercampak di jalanan suram yang merupakan ujung sebuah blok dari tempat ia sembarangan memulai pengejarannya tadi. Sang perampok menghilang dalam semak-semak pada sisi jalan menyerupai hutan belantara, yang juga memutuskan pelariannya pada sudut gelap gulita.
Tak ada manusia bergerak di pojokan situ. Sebuah ayunan dari besi terayun lemah oleh terpaan angin kencang. Ujung jaketnya pun terseret-seret akibat angin tersebut, begitu juga dengan sebuah pagar kayu rendah di sampingnya.
Ada sekitar delapan rumah menderet berhadap-hadapan di samping kanan kirinya itu. Semuanya besar dan berlantai dua. Umumnya terang, walaupun sunyi tapi jelas berpenghuni. Hanya rumah yang pagarnya reot-reot di sampingnya saja yang tampak kosong, tapi dari cuaca yang bereaksi pada badai Raja berusaha menyingkirkan kesan poltergeist dan masuk ke dalam sana melewati halaman semrawut dengan rumput liar yang lebih liar.
Hujan segera menyemburnya tatkala ia duduk pada bangku tua yang tampak lapuk. Dia kedinginan. Kedua tangannya sembunyi merapat dalam pangkuan kaki yang sengaja ikut dinaikannya ke kursi. Hawa panas menyeruak selagi ia menguap, badan menggigil dengan pakaian lembap membuatnya tak tentu lagi dalam berpikir. Sejenak ini, sejenak itu. Sebentar mengutuk kemudian mengeluh, tapi ia berniat akan balas dendam pada orang yang menghancurkannya.
Ada yang bilang pekerjaan itu harus dicari, apabila ada kerjaan yang justru mendatangimu itu jelas harus diteliti. Tapi orang yang tinggal di balik gunung memang suka sekali berpikiran praktis. Pada akhirnya mereka harus rela terjajah saudaranya sendiri yang sebenarnya hanya bermodalkan kecerdikan licik.
Seorang bapak-bapak berkumis, atau ibu-ibu gendut dengan kuku dicat berwarna-warni jelas merupakan sesuatu yang luar biasa bagi penduduk desa. Dengan map-map bekibaran atau berkas-berkas fotokopi yang tak bertanda tangan resmi saja sungguh menakjubkan mereka mengobral kemungkinan.
Raja memang pemuda masa kini yang skeptis, tapi Ibunya dengan segera menguangkan tabuangannya, dan menjual tanah warisan tak seberapa untuk mengongkosi sang bapak berkumis sementara dirinya harus direlakan naik pesawat kelas ekonomi dan dikantongi tak lebih dari dua puluh persen saja dari berpuluh-puluh juta yang dibayarkan ibunya.
Kembali Raja harus mau mengakui bahwa ia adalah juga korban akibat cara berpikiran praktis. Sehingga ia sekarang terdampar di London, kota yang sebenarnya modern dengan kemudahan di mana-mana yang sayangnya tak berguna juga baginya yang kurang wawasan. Terlebih ia sama sekali buta dengan bahasa Inggris, sampai tadi berteriak seseorang merampas ranselnya pun tak ada yang menggubris dan malah menghempaskannya di rumah kosong mengerikan.
Senganggar petir seperti mentertawai kesialannya. Raja pun bisa saja gila memikirkan nasib tak mujurnya, jika saja matanya yang berat itu tak kalah oleh ngantuk. Ia meringkuk tak berdaya pada sofa yang keras, mencoba membayangkan rumahnya yang hangat, berharap mimpi indah menghiburnya pada tidurnya yang sungguh dingin.
Tapi belum lalu jauh alam mimpi diraihnya Raja tiba-tiba merasakan pipinya panas, badannya diguncang, benarlah matanya yang masih berat sangat dibuka itu tak salah mendapati sesosok tubuh yang berdiri remang-remang pada kesadarannya yang masih tumpul.
Raja lekas melongo meragukan keeksisan sang sosok pengganggu tidurnya yang ternyata perempuan dengan tak berekspresi. Terlebih dengan penampilannya yang nyentrik, mengingat ia hanya mengenkan Babydoll Nighty Lingerie saja di udara yang menurutnya sedemikian menggigit. Dan tentu saja yang paling eksentrik darinya itu ialah adanya sebatang rokok menyala terselip di antara dua ruas jarinya yang sungguh runcing.
Tanpa permisi lagi wanita itu menghisapnya. Dan sehabis menghembuskan asap rokoknya itu, keseriusan mimik wajah beserta sikapnya makin meningkat pada tingkatan gawat. Hidungnya terangkat, sekelibat lirikan tajam meluncur dari smokey eye_nya yang gelap.
Raja melirik pintu di sampingnya yang terbuka. Ia sontak merinding kaku menyadari wanita tersebut ternyata muncul dari dalam rumah yang tadi dikiranya kosong. Lebih-lebih saat wanita berambut panjang tergerai itu masih saja memelototinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Ya Tuhan . . . Apa dia hantu? Bagaimana ini?” Raja komat kamit takut dalam bahasanya. Wanita itu ternyata bereaksi memberengut dan menegas-negas mukanya dengan tatapan heran.
Asap rokok yang berterbangan ke arahnya, membuat Raja turut menghisap asap tembakau yang ternyata sangat kuat. Dia terpojok berkisar ke belakang, pun wanita tersebut makin mendekat mepet ke wajahnya dengan pandangan yang kian tajam.
Raja makin tergagap menghadapinya. Wanita tersebut mendadak mengingatkannya pada hantu wanita di desanya yang suka menculik bayi. Dan meskipun dirinya bukan bayi, ia merasa masih memiliki alasan untuk takut dan lari sekuat tenaga yang ternyata hanya langkah-langkah tak menentu yang membawanya lama untuk akhirnya keluar dari halaman itu.
Ia sempat menengok panik mendengar wanita itu meneriaki dan mengejarnya. Sebuah mobil mendadak melintas. Klakson meraung-raung, mobil itu tak menabrak tapi Raja harus mendaratkan lompatannya pada selokan terjal yang dipenuhi kerikil. Ia tak bergerak sementara orang-orang berdatangan mengerumuninya.
‘’Dia terluka?! Aku tidak menabraknya!‘’ Teriak pria berkemeja tartan pemilik mobil Pick Up yang tadi hampir menabrak Raja.
‘’Ya! Dia muncul dari Angellove Heath!‘’ Timpal yang lain.
‘’Benar! Aku melihatnya berlari ketakutan dari sana. Apa yang kau lakukan padanya?.‘’ Seorang Ibu-Ibu bercelemek melontarkan makian terakhirnya pada wanita yang memang membuat Raja ketakutan.
‘’Aku tidak melakukan apa pun!, aku bahkan tidak bicara padanya!!’’
‘’Tapi dia keluar dari rumahmu, dan kau harus bertanggung jawab?!‘’
‘’Apa!. Aku bahkan tidak mengenalnya!‘’
Kemudian semuanya ribut dalam bahasa Inggris. Raja makin kalap. Ia lantas menyentuh basah di keningnya yang ternyata darah. Dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Tahu-tahu Raja kemudian tersadar di sofa yang sebelumnya ditidurinya tadi. Di beranda rumah seram itu, tapi untunglah sekarang hari sudah siang dengan matahari yang sedikit cerah.
Raja lekas bergerak melihat wanita tadi duduk tepat di sampingnya.
‘’Kau benar-benar membuatku sial!‘’ Gerutu si wanita sebal. Mukanya serius mengamat-amati sebrang rumahnya yang ternyata banyak orang mengawasi, salah satunya wanita bercelemek.
‘’Kau bisa bahasaku?’’ Raja terlonjak senang, merasakan pengharapan dari kalimat wanita tersebut yang walau diucapkannya dengan nada tak bersahabat.
‘’Tentu saja!. Dan hidupku benar-benar sial dengan juga memahami bahasamu!’’
‘’Kenapa?’’
‘’Kenapa?! Tak ada seorang pun di daerah sini yang mengerti ucapanmu. Mereka memaksaku menampungmu, sementara lukamu itu entah kapan sembuhnya! Astaga!’’
Raja menelan ludah merasa tak enak.
‘’Kau sudah bisa jalan, bukan? Masuklah! Kamarmu di lantai dua!’’
‘’Aku boleh tinggal di sini?’’
‘’Hanya sampai lukamu sembuh. Cepatlah! Atau aku akan mereka laporkan ke polisi!‘’
Wanita itu beranjak. Raja ditariknya dan didorongnya pada dalam rumah yang gelap.
Benar-benar tak ada cahaya di dalam situ. Lampu keseluruhan kamar rumah itu mati, dan jendelanya pun rapat menutup semua. Semakin ke dalam, maka semakin tak kelihatanlah seisi dalam ruangan itu. Tapi Raja menebak ruangan yang dilaluinya sekarang itu luas dengan perabotannya yang ditata rapi serta beberapa barang elektronik menyala kelap-kelip menimbulkan hawa kehidupan.
Tapi Raja mulai jalan meraba-raba dalam perjalanannya. Sosok wanita itu makin kabur di matanya. Seluruh gelap menimbun, seperti dalam gua ia sekarang. Untung langkah rekannya itu tegas. Sehingga ia bisa mengikutinya, memastikannya bahwa benar ia manusia.
‘’Oh hai! Aku sudah tidak bisa melihat apa pun, bisa kau nyalakan lampunya.”
‘’Tidak bisa! Ini sudah siang. Kau harus fokus, gunakan kedua matamu!‘’
‘’Aku memang sudah menggunakan kedua mataku!’’ Sahut Raja sengit kemudian menabrak sesuatu yang membuatnya berteriak. ‘’Tidak bisakah dinyalakan sebentar saja?! Setidaknya sampai aku menghafal jalannya!‘’
‘’Lampuku rusak. Jalan saja! Tangganya sudah ada di depanmu! Akan kucarikan lilin untukmu nanti malam.‘’ Jawab si wanita dengan suara makin menjauh, bahkan kemudian hilang sama sekali seusai terdengar suara katupan pintu.
Raja makin kesal tapi ia mau juga melanjutkan jalan. Dan memang ada tangga di situ. Ia meraba-raba jalan naik, bahkan terpaksa sampai merangkak di tanjakan kesekian karena saking gelapnya.
Tapi meskipun sudah berhati-hati, tetap saja ia mendapat celaka. Sebelah kakinya terperosok pada papan tangga yang berlubang, hampir-hampir tubuhnya itu menggelinding ke bawah lagi jika saja kakinya tak terjepit pada lubang anak tangga yang menganga itu.
Ya Tuhan…. Raja mengeluh berat, merasakan nyeri pada kakinya yang ia paksakan keluar meski lubangnya sempit dan bergerigi tajam. Tapi ternyata bukan hanya di situ saja yang tangganya berlubang. Selama merangkak itu setidaknya ia meraba tiga lubang yang mengancam jiwanya jika ia tak berhati-hati mencapai balkon panjang yang ujung sudutnya terdapat sebuah pintu.
Itukah pintu yang dimaksud? Raja mendekat masuk, tak perlu membuka pintu karena pegangangannya rusak. Gelap juga di dalam sana, tapi matanya menerawang tembusan cahaya dari gorden Bey window yang langsung ia singkap yang untunglah matahari masih cerah sehingga ia dapat cepat melihat sebuah ranjang yang pada akhirnya membuatnya tertidur.
Raja tak menyangka dapat tidur nyenyak pada ranjang reot yang sungguh asing baginya itu. Dia bahkan hanya bisa bangun kembali malamnya, itu pun diakibatkan gerakan yang membuat ranjang reotnya begaduh ribut.
Ruangan di sekelilingnya sekarang bertitik cahaya lembut dari sebatang lilin yang juga menerangi beberapa makanan yang menumpang di meja sama dengan lilin itu. Dan ia hampir berteriak kaget mendapati wanita berambut panjang itu duduk kaku di sampingnya.