Beberapa hari kemudian luka di keningnya sudah mulai sembuh. Dan meskipun rumah yang ditinggalinya sekarang itu seperti merupakan bagian dari zona Geopathogenik dengan penghuninya Cinta yang bertemperamental tinggi, tapi pergi dari Angellove Heath serasa bukan pilihan juga bagi Raja. Sebab di mana lagi dia akan tinggal. Siapa yang bisa ditemuinya?.
Hati kecilnya sempat memberi saran, mungkin ke rumah Frank. Tapi meskipun Frank itu duda bebas yang hidup seorang diri tapi ia belum mengenalnya juga, dan pria tua itu pun sama sekali tak memahami bahasanya. Jadi Raja kepikiran lagi, mungkin bisa saja ke kedutaan Indonesia. Tapi ia tak tahu di mana alamatnya? dan jelas ia membutuhkan uang jika ingin menemukannya. Maka sore itu, selagi Cinta tengah tenang minum teh Raja bersikap kalem dan mengajukan rencana.
“Aku ingin mencari pekerjaan“
Kedua mata Cinta melirik kaku dari cangkir tehnya. “Di mana kau akan mencari pekerjaan?“
“Entahlah. Aku akan mencarinya di mana pun, jadi bisakah kau meminjamkanku uang“
“Meminjam uang. Bagaimana kau akan mengembalikannya?”
“Apa pun pekerjaannya, setelah menghasilkan uang akan segera kuserahkan padamu”
“Aku akan mendapat jaminan apa jika sampai kau tidak bisa membayarnya?“
“Eh, mungkin aku bisa menjadi pelayanmu selamanya”
“Pelayanku? Kau bahkan tidak bisa memasak telur‘’
“Kalau begitu terserah kau saja, aku janji akan membayarnya“
Cinta mangmang. Sebenarnya hatinya sudah terganggu tantangan dari temannya yang datang kemaren. Tapi ia lalu mencari dompetnya. Mengeluarkan beberapa lembar uang dan menaruhnya di meja. “Aku memang tidak suka melihatmu berkeliaran di sini”
Raja kegirangan. “Bisa kau menuliskan sesuatu yang bisa kuperlihatkan pada orang-orang. Maksudku, bahwa aku tidak bisa bahasa Inggris”
Cinta hanya manyun. Namun mau juga mengambil pulpen beserta kertas. Dan dengan kertas tulisan Cinta itu Raja kemudian merekatkan kepercayaan diri memulai pencariannya.
Dari pagi hingga sore. Ada lebih dari 5 toko ia datangi yang sayangnya semua menolak lamarannya. Bahkan ada yang sampai memarahinya, meremas kertas bikinan Cinta dan menggelindingkannya keluar yang terpaksa harus dipungutnya lagi sehingga mendatangkan petaka pada toko kesekian yang dilamarnya.
“Pergi saja ke neraka! Dasar bocah!” Gerutu pria bertopi koki panjang, setelah menyeretnya keluar lewat pintu dapur.
Merasa menyerah karena lelah dan kelaparan Raja akhirnya memutuskan duduk sebentar pada anak tangga air mancur yang kebetulan tak banyak orang di situ. Ia sebenarnya tak ingin mencari pekerjaan yang jauh benar dari Angellove Heath, tapi dari penolakan-penolakan tadi ternyata telah mengakhirinya pada tempat tak tahu di mana ia sekarang. Untunglah ia mengantongi alamat Cinta, jadi sembari menanti orang baik yang mau menunjukkannya jalan pulang ia istirahatkan dahulu kakinya seraya melirik ranting pohon kering bercabang-cabang.
Angin memang buruk sedari pagi. Pohon yang dilihatnya sekarang tampak lebih payah ketimbang ia. Batangnya yang telanjang daun itu mengerang ke sana ke mari menahan angin yang berhembus bertambah gawat. Raja mendadak tersenyum-senyum memikirkan pohon tersebut senasib dengan dirinya. Sama-sama sendirian, terombang-ambing oleh takdir sial tanpa ada yang memperdulikannya.
Sunyi sekali di sekitaran situ. Meski ia berada di tengah perempatan jalan, tapi dari kejauhan Glasshouse Street hanya muncul kelap-kelip lampu bergetar dari sepasang mata Double Decker yang berjalan payah menembus kabut-kabut. Dan entah bawaan mobil tapi yang jelas bukan polusi tiba-tiba saja di belakangnya bayangan hitam menyusul, bahkan kemudian dengan cepat menenggelamkan setengah badan bus, dan perlahan tapi pasti tengah menuju ke arahnya.
Raja tak sanggup bergerak menatap bayangan tersebut kini tepat di depan matanya. Ia sudah pasti dapat celaka andai saja tak ada yang menarik tangannya dan membawanya masuk pada sebuah kedai.
Pintu dengan cepat ditutup. Bayangan rakasasa itu melintas di depannya, yang melalui tembok kaca itu dilihatnya berupa sekumpulan asap menyerupai awan mendung di langit yang mengikutsertakan pula daun-daun kering yang berputar-putar naik turun dengan kecepatan hebat.
Cukup lama lintasan hitam itu berparade di jalanan sana. Raja baru mengingat lagi penolongnya manakala seseorang menyentuh pundaknya dan memberinya senyum manis.
“Hai, what are you waiting for? Come on…. ”
Raja terdiam meneliti. Aroma perpaduan antara bunga melati dan gardenia penuh mengelilingi wanita yang berbicara padanya itu. Wangi tersebutlah yang tadi menyeretnya.
Jadi diakah penolongnya. Seorang wanita berwajah fotogenik dengan kulit kenyal selaku jeli-jeli susu. Genggaman wanita itu seperti menenggelamkan tangannya pada kain sutera yang mahal. Menimbulkan kenyamanan, sehingga Raja menurut saja ketika langkahnya dibimbing dan didudukkan pada kursi, sementara sang malalikat sendiri duduk pada kursi di depannya dengan posisi anggun. Senyumnya kembali mekar.
“Come on, this was nice to warmed.“ Ujar si wanita lagi, tangan mulusnya menyodorkan gelas yang mengeluarkan kepulan asap.
Raja menerimanya dengan sangat sungkan. “Terimakasih. Um, thank you“
Wanita tersebut mengernyitkan dahi sejenak, lantas tertawa renyah seraya terus-menerus menebarkan aroma shampo dari parasnya yang berombak sempurna. “Oh! kau orang Indonesia rupanya. Pantas saja. Maaf, aku tidak tahu.“ Terangnya kemudian setelah puas tertawa.
Rasanya-rasanya Raja sudah kehabisan rasa malu sekarang ini. Karena meskipun masih berantakan wanita cantik itu ternyata juga bisa bahasanya. “Kau mengerti ucapanku?“
‘’Ya, tentu saja aku mengerti bahasamu.’’ Si wanita menjawab pasti masih dengan senyum di wajahnya.