lewat malam-malam panjang ini
kini aku jadi mengerti
buncahan rindu yang terpatri
dan setitik air mata yang menjadi
nirwana hati
bahwa hadir mu bukan-lah untuk menyambangi
tapi kau pun tahu apa arti
tangisan yang terus merajai
diriku sendiri, disini
.
.
.
Kalau ditanya apa yang bikin bahagia selain hujan, Ayak jawab malam. Karena apa? Ayak itu tipe orang yang banyak mikir, sel-sel di otak-nya harus tetap berjalan. Agar tidak karatan.
Dan malam hari adalah waktu yang tepat, dimana Ayak bisa memahami dirinya sendiri lebih dari apa yang ia pikirkan. She also made a list to do. Banyak yang mengira Ayak itu anak indie karena tercermin dari namanya.
Kalau bisa sih, Ayak mau merubah nama-nya sendiri. Bukan Senjahari, tapi Malamhari. Banyak juga yang berkata bahwa Ayak tidak pernah menghargai nama yang diberikan orang tua-nya.
Mereka tahu apa sih? Sudah jelas-jelas disini ada perbedaan sudut pandang. Orang-orang bisa apa 'kan selain menilai orang lain sesuai apa yang mata mereka lihat?
Tapi tidak dengan pikiran mereka, 'think' it's too difficult for them. Oleh sebab itu Ayak suka berpikir, agar orang tidak akan sakit hati karena-nya.
"AYAAKK, MAEN YOOKK!"
Suara berisik itu seketika membuat kepala Ayak pusing, dan yang menambah pusing adalah ketika Ayak tahu siapa gerangan yang berkoar malam-malam seperti ini.
"Punya otak nggak sih, lo? Kayak gue nggak punya tetangga aja!" Cecar Ayak merasa kesal.
"Yaelah, padahal kan mereka udah terbiasa punya satu tetangga nggak ada akhlak kayak lo."
"Mana ada?!"
"Berisik lo cebol, siniin kaki lo."
Ayak segera menodongkan kaki-nya didepan wajah tetangga toxic nya itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah Teon.
Teon segera mengolesi balsem yang ia ambil dari rumah tadi pada pergelangan kaki milik Ayak.
Setelah kejadian keseleo ria tadi, Teon memutuskan untuk langsung mengantar Ayak kerumah. Tanpa membelikan pesanan adik-nya itu.
Martabak bisa di order, tapi nyawa orang nggak bisa. Jangan main-main kamu.
"Yang bukain pintu tadi siapa, Del?" Tanya Ayak basa-basi.
"Emak lo lah."Jawab Teon masih telaten mengurut pergelangan kaki Ayak.
"Tadi mau gue panggilin tukang pijet, Yak. Tapi gue masih waras buat manggil beneran. Takut dikira orang sinting, malem-malem gini random banget nyuruh orang mijit," Teon juga berbasa-basi.
"Kan musibah nggak kenal waktu, Del," Ayak berdecak.
"Lo sendiri yang ngejar-ngejar musibah nih," Teon menyentil hidung bangir Ayak.
"Ck, musibah aja yang lagi kangen sama gue," Ayak mengorek kuping-nya.
"Hush! Useless banget mulut lo!" Teon menepuk bibir gadis berponi itu.
"PANAS! BAU BALSEM!!" Ayak segera mengusap bibirnya kasar dengan tangan.
Teon terkekeh, lupa kalau tangan-nya bekas menyentuh balsem— kaki Ayak juga 'kan?
"Del," Panggil Ayak pelan.
"Hm?"
"Lo sejak kapan punya kemampuan pijat-memijat kayak gini?" Ayak kepo.
"Mmm? Sejak kapan ya?" Teon pura-pura berpikir.
"Sejak gue pubertas," Sambung-nya.
"Tolol, apa hubungan-nya!" Ayak mulai emosi.
Teon tertawa puas, "Nggak tahu deh, sejak gue main basket mungkin? 'Kan dulu gue sering cidera juga tuh. Ya jadi udah paham gimana caranya mijit orang yang kebanyakan tingkah," Cengir Teon.
"Apa mungkin juga cewek gue anak PMR kali, ya? Makanya ikut kebawa ke jiwa gue."
"Najong!"
Setelah selesai mengurus kaki Ayak, Teon segera membersihkan tangan-nya. Lalu menyiapkan jadwal pelajaran untuk Ayak besok-- ini Ayak yang minta, pakai paksaan tentu nya.
"Del," Ayak bercicit lagi.
"Ck, Dal Del Dal Del. Orang pikir nama gue Adel! Atau nggak yang paling pasaran Dela!" Teon menggeram marah.
"Sensi banget sama Ratu," Ayak memukul kepala belakang Teon.
Saat ini, Ayak sedang berbaring di kasur-nya. Sedangkan Teon duduk di lantai bersandar pada kasur Ayak juga.
Jadi, mudah bagi Ayak untuk menganiaya cowok malang itu.
"Del."
"Apasih?!" Teon yang jengkel memutar kepala-nya menatap Ayak.
"Gue laper, masakin mie kek," Pinta Ayak.
"Lo nyuruh-nyuruh tamu, Yak?" Teon menunjuk diri-sendiri.
Parahnya, Ayak malah mengangguk dengan wajah dungu-nya.
"Order aja lah," Teon memilih jalan pintas.
"Udah jam sebelas gini, kasihan kurir-nya! Mereka butuh istirahat! Mikir lo tuh, walaupun nggak punya otak," Sungut Ayak.
"Yaudah nggak usah makan," Teon malas berdebat.
"Ah, yaudah deh order aja!" Ayak merengut.
"Maaf ya kakak kurir, tapi lebih kasihan saya. Nanti mati kelaperan,"
"Ini warung yang masih bukak tinggal ayam geprek doang, yang deket kampus," Info Teon masih memandangi layar HP-nya.
"Apa aja deh, sebelum gue mati muda nih."
"Jangan dulu elah! Nanti yang duduk sebangku sama gue siapa? Minimal nunggu lulus deh, kalau udah terserah lo mau ngapain."
Ayak hanya bisa mengusap dada, untung Teon yang traktir makan malam ini. Kalau enggak? Ya mungkin Ayak sudah di arak oleh para tetangga karena menimbulkan keributan.
Hari ini, Teon menemani malam kelam nya. bersamaan dengan seribu gudang pintu yang mereka arungi, mereka akan terbuka saat ini. Menceritakan keluh kesah yang menggunung, serta bayangan kelabu yang mungkin akan dihapadi esok hari.
Banyak orang bilang, semesta suka bercanda. Ayak membenarkan.
Semesta mengejek-nya, hanya karena Ayak selalu menatap Teon dengan mata sendu. Dan sering meringis kecil tanpa sadar.
Entah apa yang terbesit dalam hati-nya.
Tapi di malam dingin ini, Ayak belajar banyak hal. Ia ingin mendewasakan diri lagi, ingin berpetualang melalui pengalaman yang akan ia jelajahi nanti. Dan yang paling penting, semoga Tuhan menghendaki.
.
.
.
"Besok malem pada bisa nggak dateng ke rumah gue?" Bel pulang sekolah sudah berbunyi 20 menit yang lalu, tapi murid-murid begundal kelas XI IPS 5 itu masih saja gelesoran di lantai.
Alasannya sih menyiapkan lomba menghias kelas untuk seminggu kedepan. Ya memang benar, tapi skala banding nya tidak seimbang juga.
90% ngobrol, julid, nyemil, push-rank, rebahan, ngadem. 10% beneran ngerjain.
Ya paling tidak ada niatan 'kan?
"Ngapain, sep?" Ilham melontarkan pertanyaannya kepada Josep yang saat ini sedang nyemilin es batu.
"Makan-makan gitu, sekalian bbq-an kayak-nya asik," Jawab Josep.
"OH IYA YANG LUSA MAU NAMBAH UMUR, CIAAA," Shobrina berseru heboh.
"Gass lah ayook, mumpung gratis," Yunus yang saat ini sedang kepedasan itu tetap memaksa diri untuk berbicara.