“Gue Alrian Andara Prayoga.” Cowok berseragam SMA persis seperti yang dikenakan Acelia mengulurkan tangan sebagai perkenalan singkat.
Acelia mengernyitkan kening. Cowok asing itu benar-benar memusingkan otaknya. Datang layaknya angin semilir menerpa helai rambut lalu membuat berantakan.
Alrian menurunkan tangannya saat menyadari Acelia tidak merespons sama sekali. Malah cewek manis itu menghela napas kasar, menutup buku diary miliknya dan berdiri dari duduknya.
“Mau ke mana?” Alrian berjalan menyusul langkah Acelia yang berlari kecil, meninggalkan taman.
Acelia tidak peduli. Pura-pura tuli adalah hal yang terbaik untuk saat ini. Orang asing yang tiba-tiba datang dalam hidupnya bisa saja menjadi petaka nantinya.
“Cel, kenapa, sih?” Alrian menahan tangan Acelia, membuat langkah cewek itu berhenti.
Matanya mengisyaratkan tidak suka sama sekali kepada Alrian.
“Maaf, tapi gue tidak punya waktu untuk meladeni bualan lo,” tukas Acelia, menepis tangan Alrian sedikit kasar.
Alrian menarik napas pelan. Kemudian tersenyum lalu kembali menyusul Acelia yang berjalan di depannya.
“Bualan apa, sih? Gue tulus mau mengenal lo. Suer!” Jari Alrian membentuk tanda V di depan wajahnya. Bersamaan senyum manis yang begitu menawan.
Cewek mana yang tidak jatuh cinta dengannya?
“Dengar.” Alrian menahan Acelia agar tidak bergerak sama sekali. “Gue Alrian. Gue baru pindah ke SMA MANDIRI ini, seminggu yang lalu tepatnya. Dan gue tulus ingin mengenal lo,” jelas Alrian panjang lebar.
Acelia mengedikkan bahunya. Masa bodoh dengan perkenalan singkat itu. Acelia tidak tertarik sama sekali. Ia punya dunia sendiri yang tak ingin orang lain datangi. Jika pun ada seseorang yang ia ingin ajak ke kehidupannya, Acelia akan memilih Aksana!
“Ayolah, apa susahnya menerima kehadiran gue di samping lo?” Alrian memasang mimik sendu.
Acelia menggeleng. Memilih kembali melanjutkan langkahnya.
Alrian tidak mau kalah. Cowok itu terlalu keras dalam hal perjuangan. Apa yang ia inginkan harus menjadi miliknya. Apa yang ia idamkan, maka harus menjadi haknya.
“Gue suka sama lo!” teriak Alrian saat mereka melewati lorong sekolah yang sepi.
Acelia menoleh ke belakang di mana Alrian sedang memamerkan senyumnya. Lalu Acelia bersyukur hanya ada mereka berdua. Jika ramai, sudah pasti ia menjadi buah bibir di sekolah selama beberapa hari.
“Sebaiknya lo periksa otak di rumah sakit.” Acelia berlari kencang setelah mengucapkan kalimat itu. Meninggalkan Alrian yang menggaruk tengkuknya.
Ekspresi blank tiba-tiba menguasai Alrian.
****