Kutipan pidato presiden Soekarno saat Indonesia hidup di tahun-tahun berbahaya berjudul Viviere Pericoloso.
"Gempuran imperialis bertubi-tubi, anjing-anjing dan serigala-serigala sekeliling kita menggonggong dan mengauk-auk! Tapi Revolusi Indonesia harus berjalan terus, dan memang berjalan terus! Gempuran imperialis kita layani, gonggongan anjing dan serigala tidak kita rewes. Kita tidak takut apa-apa! Janganpun gonggongan anjing, suaranya geledek dari angkasa tidak membuat berdiri sehelaipun bulu-roma kita!
Saudara-saudara! Saya berbesar hati bahwa Revolusi kita ini sekarang sudah berupa gunung-karang-realitas bagi kawan dan bagi lawan. Saya berbesar hati bahwa Revolusi kita ini sekarang tidak lagi diremehkan oleh lawan, dianggap sepi oleh lawan, atau dianggap sebagai satu "kegilaan" oleh lawan. Karena itu, saya tak heran bahwa lawan semakin berikhtiar untuk mematahkan Revolusi kita ini, makin mengepung revolusi kita ini dengan segala tipu-daya dan subversi, makin gila-gilaan menjelek-jelekkan Revolusi kita ini. Saya berbesar hati, bahwa sekarang ini seluruh telinga lawan dipasang untuk mendengarkan pidato Pemimpin Besar Revolusi Indonesia pada hari ini.
Saya sekarang dengungkan lagi apa yang sudah saya katakan berulang-ulang: "Go to hell with your "Indonesia going to economic collapse"! Go to hell dengan omonganmu bahwa Indonesia akan binasa ekonomis. Go to hell! Psy-warmu tidak mempan! Psy-warmu kami anggap gonggongan anjing. Berpuluh-puluh kali engkau bilang Indonesia di bawah pimpinan Sukarno akan ambruk, akan collapse, akan hancur, tetapi psy-warmu tidak mempan! Tahun yang lalu mereka "meramalkan" bahwa Indonesia permulaan tahun 1964 akan ambruk ekonomis. Tetapi permulaan 1964 Indonesia tidak ambruk!, dan sekarang mereka berkata lagi bahwa nanti bulan Oktober yang-akan-datang-ini Indonesia akan ambruk, – akan "collapse". Go to hell! Indonesia tidak akan ambruk, – Insya Allah, Indonesia tidak akan ambruk!
Sungguh: Kamu bukan bangsa cacing, kamu adalah Bangsa berkepribadian Banteng!
Hayo, maju terus! Jebol terus!
Tanam terus! Vivere pericoloso!
Ever onward, never retreat!
Kita pasti menang!"
***
Ujung Pandang (Nama lama Makassar), Indonesia, Agustus 1965.
Pagi hari, matahari belum terbit sepenuhnya, jalanan masih begitu sepi, hanya ada becak-becak yang terisi penuh dengan sayuran mengantarkannya ke pasar. Polisi-polisi baru saling bertatapan di atas mobil pick up. Baju-baju mereka terlihat seperti tidak disetrika, tidak ada bau parfum di antara mereka, hanya bau pakaian yang dicuci tanpa menggunakan deterjen. Mereka dalam perjalanan diantar di titik-titik jalan untuk menjaga lalu lintas. Polisi-polisi baru kebanyakan terlihat seperti kelaparan dan tak bertenaga di hari pertama bertugas. Baco salah satu anggota polisi baru dari tadi terus memutar-mutar pistol di tangannya sambil tersenyum lebar. Baco merasa dirinya sangat gagah sudah mempunyai izin untuk menggunakan pistol. Udin seorang polisi baru yang tampak paling tua di antara polisi-polisi baru lainnya karena berkali-kali gagal daftar polisi, menatap baco dengan sinis.
Baco menyadari Udin sedang menatapnnya. Senyuman lebar dari Baco hilang. "Apa liat-liat?"
Polisi-polisi baru langsung berhenti dari lamunan laparnya, melihat Baco dan Udin. Udin hanya terdiam, dan terus menatap Baco. Malah Baco yang mengalah menarik tatapannya dari Udin. Rajja polisi yang paling kurus di antara semua polisi baru, dirinya hanya membaca surat kabar.
"Kurang lebih 5000 tentara Indonesia sudah mulai menyerang pangkalan angkatan laut Malaysia di Semporna." Rajja menceritakan berita yang dia baca.
Polisi-polisi lainnya hanya terdiam mendengar ceritanya.
Rajja melanjutkan ceritanya. "Indonesia sangat krisis, makan saja susah, tapi Presiden Soekarno sangat menginginkan perang. Soekarno tidak bisa menahan emosi waktu fotonya dirobek dan garuda diinjak-injak di Malaysia."