Ada Cerita di Sekolah

Awal Try Surya
Chapter #2

Dua Murid Baru

Terkadang jalan raya menjadi tempat pembelajaran hal-hal yang tidak diajarkan di sekolah. Mengingat peristiwa sebelumnya yang terjadi di jalan raya, membuat Adli terasa bersemangat sekolah hari ini. Adli memasuki gerbang sekolah dengan senyum hangat, sehangat mentari pagi ini yang sudah sepenuhnya keluar dari persembunyiannya di balik awan. Ia memarkirkan motornya. Lalu senyumnya seketika hilang setelah melihat kembali celana putihnya yang telah menjadi kanvas oleh tinta dari genangan air di jalan, membentuk lukisan titik-titik cokelat kehitaman. Dilihatnya jam tangan masih menunjukan pukul 06:20, ia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan celananya.

Di kamar mandi ia berusaha dengan keras mencuci secara perlahan satu persatu noda cokelat dari celananya itu. Beberapa dapat hilang, tetapi sebagaian besar masih melekat. “Kringgggg….” Jam sudah berganti menjadi 06:30 diiringi bunyi bel sekolah dengan nyaring, Adli kemudian menuju kelasnya.

Ketika Adli memasuki kelas, terlihat gerombolan murid laki-laki di area belakang kelas sedang sibuk menulis secara cepat di bukunya masing-masing. Adli sedikit kaget, lalu menghampiri teman-temannya. Ia melihat teman-temannya sedang menyalin jawaban dari salah satu buku murid perempuan dan dengan spontan bertanya, “Hah? Ini PR yang mana?”

Mali yang merupakan teman sebangkunya langsung menanggapinya, “PR pelajaran kimia minggu lalu, gue juga lupa.”

“Astagfirullah baru inget.” Secepat kilat Adli mengambil buku tulis pelajaran kimianya, mengeluarkan pena, lalu melemparkan tasnya ke tempat duduknya. Sudah lewat 5 menit semenjak bel masuk dibunyikan. Kelihaian tangan dan kecepatan menangkap informasi dari sumber contekan diperlukan untuk menyalin jawaban secepat mungkin.

Salah satu teman Adli, Runi sudah selesai karena ia datang lebih awal pagi tadi. Runi kemudian berinisiatif berjaga dipintu kelas, untuk memberitahu apabila ibu Ika, guru pelajaran kimia, sudah terlihat batang hidungnya.

“Duh gara-gara ngebersihin celana kotor ini 10 menit gua terbuang. Harusnya udah selesai nyalin juga nih daritadi!” gerutu Adli yang merasa panik dan khawatir tidak akan sempat menyalin seluruh jawaban tersebut.

“Belum juga waktu buat pahamin jawabannya, bu Ika kan biasanya memanggil kita secara acak ke depan kelas untuk mengerjakan ulang soalnya,” sahut Mali yang sudah gerah dan berkeringat sambil menggaruk garuk rambut belakangnya.

“Duh dites pula biar tahu yang mana yang nyontek dan mengerjakan sendiri,” sambut Adli yang sekarang lebih panik. Terdengar suara langkah kaki sepatu hak yang tidak terlalu tinggi dari kejauhan, “Tak! Tak! Tak!” beradu kencang ujung haknya dengan lantai keramik.

Runi melihat Ibu Ika, berusia 50 tahun dengan kacamata dan kerudungnya yang berwarna hitam. Badannya yang berisi dan lumayan gemuk sembari memeluk buku paket kimia di perutnya yang besar dengan tangan kanannya, sedang berjalan pelan menuju kelas 12-A-1.

“Ada Bu Ika!” teriak Runi dengan sigap keseluruh penjuru kelas. Teman-teman Adli, termasuk Mali sudah sampai di nomor terakhir menyalin jawaban tersebut. Sementara Adli baru selesai menyalin sekitar setengah dari seluruh jawaban tersebut.

“Mampus gue. Udahlah jujur aja kalau lupa. Nanti kalau gue dipanggil disuruh ngerjain ke depan papan tulis, terus gabisa tambah marah deh Bu Ika,” lirih Adli yang menyerah di tengah jalan.

Bu Ika terkenal dengan kearifannya. Ia sangat bijak dan disegani oleh murid-muridnya. “Walaupun menyontek, usahakan tetap pahami apa yang kamu contek! Lebih baik lagi minta diajarkan sama teman yang lebih cepat paham atau belajar barengkan juga bisa.” Hal itulah yang selalu disampaikan Bu Ika kepada murid-muridnya.

Murid-muridpun bergegas duduk ditempatnya masing-masing dengan rapih. “Kreeeekkkk.” Terdengar suara engsel pintu kelas yang terbuka secara perlahan, kemudian dibaliknya terlihat sosok Bu Ika yang besar perlahan memasuki kelas. Ia duduk, memberi salam dan menyapa murid-muridnya. “Oke anak-anak selamat pagi, ada pr kan?”

Mali yang masih menulis dengan sembunyi-sembunyi menyahut, “Aduh langsung ingat pula Ibunya. Satu nomor lagi nih.”

Adli menjawab, “Udah cepetan. Berdoa aja nanti lu ga dipanggil kedepan buat ngerjain ulang. Kalo gua udah pasrah aja deh.”

“Iya gua juga belom ngerti apa-apa juga”. Lalu Bu Ika berkeliling kelas menyuruh muridnya untuk mengumpulkan buku tugas di meja guru. “Ayo cepat-cepat kumpulkan, yang masih menyalin dan menulis disudahi ya nanti kamu saya tunjuk lho maju ke depan mengerjakan!”

Terlihat seluruh murid mengumpulkan tugas tersebut. Mali maju mengumpulkan paling terakhir dan menyelipkan bukunya di tengah-tengah tumpukan buku. Biasanya Bu Ika akan mengambil buku paling atas ataupun paling bawah untuk dipanggil pemiliknya mengerjakan ulang di depan kelas. Bu Ika pun kembali duduk dibangkunya. Ia melihat tumpukan buku tugas itu dan menghitung total buku tersebut.

Disaat Bu Ika sedang menghitung buku, ketika sudah mendekati tumpukan paling bawah, Adli pun dengan pasrah mengangkat tangannya untuk memberi tahu bahwa ia lupa mengerjakan tugas tersebut. Namun tiba-tiba terdengar kembali suara engsel pintu kelas yang terbuka. Pak Adam memasuki kelas dan langsung menuju Bu Ika, kemudian berbisik pelan di samping telinga Bu Ika. Bu Ika menghentikan kegiatannya yang tadi sedang menghitung jumlah buku yang dikumpulkan di mejanya. Dalam hati Adli terasa lega, seketika itu juga ia menurunkan tangannya secara cepat.

Lihat selengkapnya