Adli dan Alli’ telah mengelilingi lantai dasar. Dimulai dari ruang guru, lalu laboratorium fisika, lapangan upacara, parkiran, aula, dan seluruh kelas di lantai dasar yang semuanya berisikan kelas 10. Setelah 10 menit mengitari lantai dasar, tempat terakhir yang mereka tuju adalah kantin. Sesampainya di kantin, Adli memamerkan kalung piketnya kepada penjual di kantin. “Ini Bu anak baru, minta dianterin liat-liat sekolah dulu.”
“Oh, ga sekalian jajan dulu nih capek tuh keliatannya abis muter-muter,” rayu Bu kantin menjajakan dagangannya. Adli yang sudah lumayan capek berkeliling langsung menuju meja kantin untuk menyelonjorkan kakinya dan dilanjutkan dengan menyalin jawaban PR kimianya. Sementara Alli’ yang daritadi sudah menelan ludah karena haus, langsung memesan minuman es teh manis pada Ibu kantin. “Iya nih Bu, Haus sekali. Kasih satu teh manis Bu. Oiya, Adli mokoga pesan juga?”
“Gausa Li’,” jawab Adli. “Oke deh Bu satumi saja.” Alli’pun duduk di depan Adli sambil menunggu es teh manisnya. Ia juga memerhatikan Adli yang sedang menyalin jawaban. “Aduuhhhh…. Bagaimana Indonesia mau maju kalau generasinya menyontek terusmi saja.” usik Alli’ dengan sindiran yang lebih bernuansa candaan dibanding serius. “Hmm emang lu belum pernah nyontek?”
“Yaa menyontek juga sih kalau misal lupa. Namanya juga manusiakan bisa lupa toh?”
“Nah nyontek gapapa kalau lupa. Ini juga gue nyontek ga asal nyontek. Tapi pahamin juga jawabannya sebisa gue,” sahut Adli yang berusaha membenarkan dirinya itu.
“Nah kalau kau mungkin memang sengaja miko lupakan terus itu PR, biar menyontek terus hahaha.”
“Yee mana ada.” Terdengar suara adukan sendok yang berputar di dalam gelas berisikan es, “Ting ting ting ting.” Lalu Bu Kantin mengantarkan gelas berisikan es teh manis segar itu ke Alli’. “Jadi tiga ribu.” Alli’ memeriksa kantong bajunya untuk mengambil uang. Dirasakannya tidak ada gumpalan kertas di dada sebelah kirinya. Kemudian ia berpindah ke saku celananya hendak mengeluarkan dompet. Namun tidak juga ada tanda-tanda keberadaan dompetnya di saku celananya. Ia memeriksanya kembali dengan perlahan, setelah memastikan bahwa ia lupa membawa dompet dan uang jajan. Alli’ membuka suaranya secara pelan, “Hehe Bu, sebentar ya nanti saya antarkanmi uangnya.”
“Iya santai aja siapa tau mau nambah lagi.” Ibu kantin pergi kembali ke lapaknya. Alli’ menggaruk-garuk kepala belakangnya sambil mengingat-ingat apakah memang benar ia melupakan dompetnya di rumah atau dompetnya hanya ketinggalan di tas. Tangannya yang tadi menggaruk kepala sekarang berpindah ke dagunya.
Setelah ia memikirkan hal tersebut, iapun berkata, “Hmm…. Sepertinya dompetku' memang ketinggalan di rumah karena berangkat cepat-cepat tadi pagi.” Alli’ menyondongkan badannya ke Adli dan mendekatkan kepalanya. “Jadi… kau ada uangkah Dli? Hehe kulupakan dompetku' tadi pagi bela.” Dengan tanpa rasa canggung sedikitpun Alli’ meminta tolong untuk dipinjamkan uang. Padahal mereka baru bertemu tadi pagi. Bahkan merekapun belum bisa dikatakan sudah berteman. Kalau bukan Alli’, mungkin saja murid baru lainnya yang juga ketinggalan dompet beserta uang jajannya akan segan meminjam uang dan membiarkan dirinya untuk menahan rasa lapar. Terlebih lagi hari pertama di sekolah, belum kenal siapa-siapa dan masih asing.
Adli agak sedikit risau. Ia pun membalas celutukan Alli’ ke dirinya tadi tentang menyontek dengan celutukan yang lebih pedas “Aduhhh bagaimana Indonesia mau berdiri di kaki sendiri kalau generasi mudanya sudah membudidayakan mengutang terus. Jangan sampai di masa depan utang Indonesia malah tambah besar gara-gara kau menjabat Li’!” Adli merasa puas bisa membalas celetukan Alli’.
“Hahahaha.” Ia pun tertawa sangking puasnya. Adli memang agak sedikit baperan kalau masalah bercandaan. Namun ia tetap menganggap celutukannya yang pedas merupakan candaan balasan juga meskipun orang lain bisa saja tersinggung atau sakit hati mendengarnya. Untung saja kali ini ia berhadapan dengan Alli’, yang tidak cepat baperan dan easy going.
“Satu sama!” seru Adli yang masih sedikit tertawa.
“Huu balas dendam di’ ceritanya.” Alli’ sedikit jengkel.
“Yasudahmi’, jadi kah kasih pinjam dlu kita uang?” Kali ini Alli’ merendahkan nada bicaranya hingga pelan. Adli menatapnya sebentar dengan pandangan belas kasihan, lalu menaikan alisnya dan mengeluarkan nafasnya dengan sekali hembusan. Kemudian Adli merogoh dompetnya dari saku celana sebelah kanan. Ia mengecek isi dompetnya, terdapat uang pecahan sepuluh ribu rupiah berjumlah 4. Tangannya lalu memeriksa semua sudut, kantung, dan lipatan dari dompet itu andaikata masih terdapat uang receh yang tersembunyi. Entah itu seribu rupiah atau hanya lima ratus rupiah saja.
Ketika sedang memeriksa, Adli mendapati sepertinya ada yang kurang dari isi dompetnya tersebut. Diperhatikannya kembali dengan seksama sambil mengingat-ingat sekiranya apa yang kurang dari isi dompetnya. “Sebentar Li’, kok kayak ada yang ilang ya. Kartu pelajar ada, KTP baru ada, kartu perpustakaan juga ada… trus STNK, ohiya astagfirullah STNK gue kok gak ada ya.”
Ia diam sejenak. “Aduh lupa kemarin ibu gue minjam motornya jadi STNKnya diambil sama dia. Untung aja tadi pagi gue ga panik pas ketemu razia polisi. Karena gue kira, STNKnya ada di dompet padahal ada di ibu gue.”
“Lengkap sekali kau punya kartu, sudah ada KTP sama SIM juga. Akupun belumpi bikin.”