Setelah Adli tergap membicarakan kepala sekolah, mereka berempat masih tertawa lumayan panjang. Namun sekarang mereka sudah mulai berhenti tertawa. Alli’ berkata, “Owh jadi kau April keponakan kepala sekolah toh.”
April menjawab, “Hehe iya.”
“Aduh jadi malu kita gosipin kepala sekolah di depan keponakannya sendiri,” sambung Indi. “Gapapa kok. Itukan lebih condong mengkritik kebijakannya dibanding ngejelekin personal om sayakan? It is okay.”
“Haha sorry ya April,” sahut Indi sambil menyenggol badan April yang masih duduk disampingnya. “Malah aku yang gaenakan. Jadinya kamu…” Sejenak April tergagap karena kikuk melihat Adli. Ia takut salah menyebut nama Adli. Akhirnya ia putuskan untuk langsung menunjuk ke arah Adli. “Kamu jadinya dipanggil sama omku ke ruangannya.”
“Haduh iya nih jadi deg-degan. Doain ya ga kenapa-napa. Yauda gue duluan ya.” Adli beranjak dari tempat duduk kantin menuju ruangan kepala sekolah. “Terus kita ngapain?” tanya April. Alli’ menjawab, “Disini dulu saja kita. Cerita-cerita gimana kau April rasanya jadi keponakan kepala sekolah hahaha.”
“Iya tunggu diusir aja baru balik ke kelas. Paling Pak Gusta udah lupa juga.”
“Hmm oke deh.” April lanjut bercerita tentang dirinya. Ternyata orang tuanya berada di Jawa Timur. Semenjak masuk SMA ia pindah ke Jakarta untuk dapat belajar dan bersaing lebih ketat di ibu kota. Ia tinggal dirumah omnya yang sebelumnya memang sudah berdomisili di Jakarta. Om April, pak Jan Tarikh memang terkenal sebagai salah satu kepala sekolah paling disiplin. Sehingga pak Jan selalu ditempatkan di sekolah-sekolah unggulan Jakarta. Aprilpun mau tidak mau harus ikut pindah ke sekolah ini agar omnya tetap dapat memantau kegiatan April. Hal tersebut juga merupakan suatu keuntungan untuk April, yakni sebagai keponakan kepala sekolah. Namun April tetap bersikeras mendapatkan nilai-nilai pelajaran dari hasilnya sendiri, bukan dari lobby-lobby yang ditawarkan omnya kepada dirinya. Pernah suatu saat Ibu April jatuh sakit. April terpaksa pulang ke Jawa Timur, meskipun pada saat itu sedang pekan ulangan akhir semester. Pak Jan menawarkan pada April untuk membuat soal-soal ulangan tersebut menjadi pekerjaan rumah saja, sehingga April tetap dapat mengerjakannya dari sana. Tetapi April menolak, dan lebih memilih untuk dijadikan ulangan susulan saja saat ia nanti sudah kembali lagi ke Jakarta. Pada usianya yang masih remaja, dapat dibilang April sudah mandiri dan matang dalam berpikir maupun bertindak.
Sementara itu di Lorong lantai dasar, Adli sedang berjalan menuju ruangan kepala sekolah dengan perasaan sedikit gemetar. Ruangan kepala sekolah persis berada disamping ruang kesiswaan. Kedua ruang tersebut memiliki akses sambungan berupa tembok kotak berukuran sedang bekas pintu yang sudah digantikan. Ruang kesiswaan itulah yang menjadi tempat dimana murid yang melanggar peraturan, menuliskan kesalahannya di buku pelanggaran siswa. Sementara ruang kepala sekolah menjadi tempat murid yang memiliki pelanggaran lebih berat. Adli sampai di depan ruang kepala sekolah. Ia mengambil napas panjang, kemudian mengetuk pintu 3 kali dan masuk. “Permisi Pak.”
“Silahkan masuk,” jawab Pak Jan yang hanya terdengar suaranya namun tidak terlihat sosoknya. Adli masuk berjalan mendekati meja Pak Kepala Sekolah. Ruangan itu berukuran sedang dan terasa sangat dingin karena air conditioner menyala full dari pagi hingga sore. Pada sisi dinding pintu masuk, terpampang papan tulis besar yang berisikan agenda-agenda sekolah dan banner bagan pengurus inti sekolah beserta lemari piala. Terlihat jelas nama Jan Tarikh Malili berada paling atas tertera sebagai kepala sekolah. Ketika Adli melewati banner tersebut, tercium aroma banner baru yang sangat kental masuk ke hidungnya. Di dekat pintu masuk terdapat 2 set kursi kayu jati asli dan 1 sofa panjang yang terlihat empuk, dilengkapi dengan meja yang diatasnya dihiasi vas bunga berukuran kecil. Bagian depan ruangan itu ditata rapih menjadi satu untuk menyambut tamu sekolah. Adli kemudian duduk di depan meja kepala sekolah yang juga cukup besar. Dimana meja tersebut menjadi tempat utama kepala sekolah dalam mengelola dan menjalankan segala urusannya. Letak meja itu berada agak sedikit ke dalam, tepatnya dibagian tengah ruangan kepala sekolah. Terakhir kali Adli memasuki ruangan kepala sekolah saat ia masih menjabat sebagai pengurus osis. Dilihatnya dengan seksama, cukup banyak perubahan pada ruangan itu. Ada 2 jenis murid saja yang bisa memasuki ruangan kepala sekolah. Yakni murid yang berprestasi dan mempersembahkan piala ke sekolah, atau murid yang melakukan pelanggaran berat. Sehingga gosip tentang kamar tidur kecil di bagian belakang ruangan kepala sekolah, masih merupakan kabar angin saja karena hanya sebagian kecil murid yang pernah masuk ke ruangan ini. Adli masih menunggu kepala sekolah yang tadi hanya terdengar suaranya saja. Ternyata setelah diperhatikan lagi, terdapat celah kecil disamping lemari pada bagian belakang ruangan. Pak Janpun muncul dari samping lemari itu. Adli berpikir sejenak, rupanya memang benar bahwa di bagian belakang terdapat kamar tidur kecil tempat kepala sekolah beristirahat dan tidur siang. Meskipun disebut kamar tidur kecil, yang terlihat bahwa kamar itu masih memakan ruang cukup besar dari bagian belakang ruangan kepala sekolah. Kamar tersebut dikelilingi dengan lemari-lemari yang cukup tinggi. Sehingga dengan penglihatan yang sekilas saja, orang tidak akan sadar bahwa terdapat kamar tidur kecil tersebut di bagian belakang. Pak Jan duduk di bangku besarnya.
“Oke Adli. Kamu tahu kenapa saya panggil ke ruangan saya?”
“Iya maaf Pak. Karena tadi sedang membicarakan Bapak di depan April.”
“Jadi kamu bersalah. Ya atau tidak?” Adli menjawab, “Iya pak.” Pak Jan mengadili Adli dengan gayanya yang otoriter. Ia selalu ingin menang mutlak dalam hal apapun. “Kamu sudah baca peraturan pelanggaran siswakan…? Oiya kamu dari kelas berapa?”
Adli kembali menjawab, “12-A-1 Pak.”.