Ada Cerita di Sekolah

Awal Try Surya
Chapter #6

Epilog dari Suatu Prolog

“Kringgggggggg.” Terdengar bunyi dari bel pulang sekolah dengan cukup nyaring. Murid-murid merasa senang. Mereka mengemasi buku serta alat tulis ke dalam tas dan beranjak keluar kelas satu-persatu. Hari pertama di sekolah baru untuk Alli’ dan April. Alli’ yang mudah bergaul dengan siapa saja dan April yang sangat ramah pada semua orang, membuat mereka berdua cepat beradaptasi di lingkungan baru serta tidak kesusahan mendapati kenalan ataupun teman baru.

Dengan sigap Adli memakai tasnya dan berjalan keluar kelas. “Buru-buru banget Dli!” sahut Alli’ yang masih dibangkunya. “Iya duluan ya gue.”

“Terimakasih Dli sudah dikasih pinjam uang. Besok saya ganti nah.”

“Woke sama-sama.” Adli yang terburu-buru sebenarnya punya niat tersembunyi. Ia ingin melihat April, terlebih lagi ingin mengajaknya mengobrol dahulu, sebelum April beranjak pulang. Ketika ia sudah berada di bagian depan kelas 12-A-2. Adli memperlambat jalannya sambil mencuri pandang ke jendela untuk mencari keberadaan April. Dilihatnya April yang masih diam ditempat duduknya, belum beranjak pergi. Lalu Adli melewati pintu kelas 12-A-2. Ia berpikir dalam benaknya bagaimana cara untuk menyapa dan memulai pembicaraan dengan April. Adlipun berhenti dan menunggu di depan kelas 12-A-2 sambil menyandar pada tembok pembatas lantai tiga. Ia menghadap ke arah bawah, melihat murid-murid lain berhamburan sehabis bel pulang sekolah. Ada yang berlari langsung menuju gerbang sekolah. Mungkin ia sudah tidak sabar untuk memainkan kembali komputer atau console gamenya yang sudah menunggu dirumah. Ada yang bercanda serta berbincang dulu dengan temannya yang lain, mereka berunding merencanakan nanti malam akan pergi dan nongkrong di kafe yang mana. Ada juga yang langsung buru-buru bersiap untuk memulai kegiatan ekstrakurikulernya, entah itu futsal, bulu tangkis, atau yang lainnya. Maklum, karena peraturan baru pak Jan hanya membolehkan semua kegiatan di sekolah sampai jam 5 saja. Mereka semua ingin melepaskan penat sehabis seharian belajar suntuk dengan caranya masing-masing. Begitu juga Adli yang hanya ingin berbicara sebentar dengan April, untuk melupakan sebentar kepenatan sekolah yang ia lalui hari ini. Setelah mengumpulkan niat serta keberaniannya untuk menyapa April, dan sudah ada topik untuk memulai pembicaraan. Ia berbalik badan dan menuju ke kelas April. Saat mencapai daun pintu kelas 12-A-2, langkah Adli seketika terhenti oleh April yang juga sedang berlari keluar kelas. Mereka sama-sama tertahan, saling berhadap-hadapan langsung tepat di pintu kelas.

“Eh Adli.” Ternyata April juga ingin berbicara tentang sesuatu pada Adli yang ia lihat tadi melewati kelasnya. Adli menggaruk-garuk kepala belakangnya, reaksi spontan dari salah tingkahnya karena melihat April tertahan di depannya. Adli kemudian menjawab “Oiya April.” Namun April juga berbicara, “Oiya Alli’.” Sehingga suara merekapun bertabrakan. “Eh kenapa Li’. Sorry hehe lu dulu aja.”

“Eh enggak lu dulu aja Pril. Btw gue Adli.” April kembali merespon, “Oiya hahaha. Sorry lagi ya hehe. Gapapa lu dulu aja.”

“Kan ladies first. Cewe dulu aja.”

“Hahaha yauda deh. Jadi tadi sehabis lu sama Alli’ keluar. Gue diskusi dikit sama Om Jan tentang pelanggaran lu tadi. Terus dia jadinya setuju poinnya cuma dikasih 50 aja dari yang sebelumnya 80 Dli. Khusus untuk pelanggaran lu tadi aja.”

“Hah yang bener? Wah makasih banget loh April.”

“Iya santai aja kok. Urwell yaa hehe.” Mereka terdiam sejenak selama 3 detik. “Oiya tadi lu mau bilang apa?”

“Ohh. Gue juga mau bilang makasih. Tadi karena ada lu, Mali jadi ketolong juga. Jadinya peraturan denda menyonteknya diganti deh jadi tabungan denda dan murid-murid ga ngerasa terlalu dirugikan.”

“Untung Om Jan lagi ga bad mood aja sih dan lagi mau nurut sama gue. Jadi gitu deh.”

“Untung ya hahaha, Kok lu belum siap-siap balik?” tanya Adli. Ia melihat di meja April masih terdapat buku serta alat tulisnya dan belum dirapihkan ke dalam tas. “Gue biasanya balik ikut Om Jan. Jadi harus nunggu dia selesain pekerjaannya dulu deh. Tapi kalau gue lagi ada kegiatan atau keperluan lain, biasanya gue balik duluan sih…. Kalau lu gak ada ekskul emang?”

“Dulu gue ikut ekskul bulu tangkis sih. Cuma untuk anak kelas 3 biasanya ga ikut lagi karena udah mulai fokus ujian-ujian.” April menjawab, “Hmm gitu.”

“Eh yauda gue balik duluan ya. Makasih sekali lagi ya April….”

“Oke deh hati-hati jalan pulangnya.” Adli merespon, “Sip-sip.” Setelah Adli berjalan sudah cukup jauh, Aprilpun menghembuskan seluruh nafasnya yang dari setadi sedikit tertatih-tatih karena merasa gugup berbicara dengan Adli. Ia balik ke arah tempat duduknya, mengemas barangnya, dan meninggalkan ruangan kelas. Sesampainya di ruangan kepala sekolah, April menunggu omnya menyelesaikan pekerjaan di penghujung hari. “Tunggu dulu sekitar setengah jam lagi,” tukas Om Jan. “Hmm oke deh Om Jan.” Ia berpikir daripada menungu omnya dan hanya berdiam diri di ruangan kepala sekolah selama setengah jam, lebih baik pergi keluar melihat kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler dari murid-murid lain. Aprilpun keluar menuju lapangan. Terdapat tiga lapangan di sekolah tersebut. Lapangan pertama merupakan lapangan yang paling besar. Tempat untuk upacara dan ekstrakulikuler bola besar yakni futsal, basket, dan voli. Sementara lapangan yang kedua berukuran sedang. Biasanya digunakan untuk kegiatan pramuka dan ekstrakulikuler lainnya seperti pencak silat, taekwondo, dan sebagainya. Lapangan terakhir yang ketiga memiliki ukuran lebih kecil dari yang lainnya. Namun masih dapat digunakan untuk kegiatan ekstrakulikuler bulu tangkis dan tenis meja. April menuju lapangan terdekat dari ruangan kepala sekolah, yaitu lapangan ketiga. Disana ia melihat ekskul bulu tangkis sedang mempersiapkan net untuk dipasang. Setelah net terpasang, beberapa murid langsung melakukan pemanasan dengan saling memukul kok yang melintas melewati net secara bergantian. April masih melihat-melihat tidak jauh di belakang lapangan bulu tangkis. Ketika salah satu kok jatuh tepat di depan kaki April, salah satu murid laki-laki mendekat ingin mengambil kok tersebut. Murid tersebut bernama Aldo, yang juga merupakan murid kelas tiga dari kelas 12-A-4. Saat ini ia masih ketua ekskul bulutangkis. Namun bulan ini akan dilakukan pergantian ketua dan nanti digantikan oleh anak kelas dua. Aldo kemudian berbicara pada April dengan nada memerintah dan sedikit sombong, “Uy, koknya sini.”

“Ini?” jawab April. Aldo kembali merespon, “Iya cepetan!”

“Ambil sendiri aja.” Dalam hati April merasa rusuh karena Aldo memerintahkannya tanpa kata tolong ataupun dengan sedikit sopan santun saja. Aldo pun mendekat untuk mengambil kok tersebut.

“Yahilah tinggal jongkok terus lempar aja males banget. By the way kok gue baru liat lu ya. Anak baru?” April tidak menanggapi hal tersebut dan langsung balik menuju ruangan kepala sekolah. “Eh tunggu, gue Aldo dari 12-A-4.” April tetap berjalan seakan-akan tidak mendengar panggilan Aldo itu. Aldopun balik melanjutkan kegiatan bulu tangkisnya. Setelah April menunggu beberapa menit, akhirnya ia pulang ke rumah bersama Om Jan. Satu hari di sekolah pada awal bulan Oktober ini yang terasa cukup panjang untuk Adli, Alli’, Mali, maupun April.

Matahari telah bergilir digantikan bulan. Jam menunjukan pukul 19:36. Sehabis isya, April merapihkan seragamnya serta mempersiapkan buku-bukunya untuk jadwal esok. April membanting badannya diatas kasur. “Huft….” Hari pertama di sekolah yang cukup seru, bertemu dengan teman-teman baru. Mengalami kejadian tak terduga di kantin dengan teman sebangku barunya dan juga murid baru dari makassar serta murid laki-laki dengan celana corak hitam. Saat di kelaspun beberapa murid laki-laki mencoba mendekati dan usil pada April untuk mencari perhatiannya. Untung saja ada Indi yang galak dan cerewet memarahi murid laki-laki lain yang mencoba mengganggu April. Teringat kata-kata Indi di pikiran April. “Kalau ada yang macam-macam sama April,”-Indi memperagakan tangan kananya yang sedang bergerak memotong lehernya sendiri-“April ini keponakan kepala sekolah!” April sedikit tertawa-tawa sendiri mengingatnya. Tiba-tiba pintu terbuka dan sesosok wanita muda masuk. Dia adalah Juli, kakak sepupu April. Kedua orang tua mereka sepakat untuk menamai anak-anak perempuan mereka berupa nama-nama bulan. “Ayo kenapa senyum-senyum?” tanya Juli penasaran pada adik sepupunya itu. Juli yang 2 tahun lebih tua dari April, sudah masuk tahun kedua masa perkulihannya di salah satu kampus impian murid-murid SMA. Setiap menjelang weekend Juli selalu balik kerumah. “Eh Kak Juli udah datang?”

“Iya tadi sore sampai. Cuma tadi habis keluar lagi sebentar ada urusan.” Juli masuk ke dalam kamar April dan duduk di kasur tepat disamping April yang sedang rebahan. Aprilpun bangun dari posisi rebahannya.

“Jadi gimana hari pertama di sekolah baru? Pasti tadi kamu senyum-senyum gara-gara ingat cowok ganteng yang deketin di sekolah tadi ya? Hahahaha.”

“Ih Kakak sok tau. Seru Kak. Tadi tuh inget teman sebangku aku yang cerewet dan tukang gosip.”

“Yang bener…?”

“Iya Kak Juliii….”

Lihat selengkapnya