Setelah peristiwa terlambat itu, keesokan harinya Adli tetap hadir sekolah meskipun lutut dan sikunya masih sakit. Lalu beberapa hari kemudian luka Adlipun membaik. Belakangan ini Adli semakin semangat pergi ke sekolah, alasannya bukan lain adalah karena kehadiran April di sekolahnya meskipun mereka berdua juga jarang berinteraksi. Sehingga untuk hanya sekedar melihat diri April saja ketika sedang melewati kelas 12-A-2 sudah cukup bagi Adli. Adli bersiap kembali untuk berangkat sekolah. Ayahnya kali ini sudah terbangun, sehingga mereka berdua sarapan bersama di meja makan dapur.
“Kok tumben ya kamu belakangan ini bangunnya lebih pagi melulu? Biasanya ayah bangun kamu baru mau berangkat. Tapi sekarang-sekarang ini kamu udah pergi duluan terus.”
“Ayah aja kali yang bangunnya kesiangan.”
“Enggak dong. Alarm pagi Ayah kan ada dua dan selalu sama. Satunya Jam 4 buat bangun salat subuh. Satunya lagi selalu jam 5:55 juga.”
“Nah terus ini tumbenan kok Ayah ga tidur dulu lagi?”
“Kamu kok ditanya malah nanya balik. Justru Ayah ga tidur lagi tadi karena penasaran sama kamu yang berangkatnya lebih pagi terus.” Ibu Adli yang sedang memasak di depan kompor mendengar percakapan suaminya dan anaknya itu. Ibu Adli tiba-tiba menyeletuk, “Biasanya nih kalau bangun pagi-pagi terus semangat pergi ke sekolah, karena memang ada orang yang bikin dia semangat buat sekolah. Gimana sih, Ayah pernah muda juga masa gatau.”
Adli langsung meminum air putih di gelasnya yang masih penuh dengan sekali teguk, lalu ia mencoba kabur dari meja makan dengan mengambil gelasnya yang sudah kosong tersebut dan berjalan ke dispenser air untuk mengisinya. Adli mengisi gelas hanya dengan secuil air kemudian ia minum. Hal tersebut ia lakukan hanya sebagai alasan untuk menghindari percakapan lebih lanjut dengan Ayahnya. Adli berjalan ke kamarnya untuk mengambil tas dan siap-siap berangkat.
Ayahnya memanggilnya, “Adli!” Adli menengok.
“Kok kamu jalannya kayaknya agak pincang gitu ya?” tanya Ayahnya curiga.
“Hah? Enggak Ayah biasa aja kok.” Adli sedikit meloncat-loncat untuk meyakinkan Ayahnya dan kembali berjalan ke kamarnya dengan tegap. Ia pamit dengan kedua orang tuanya.
Ayahnya mengingatkan, “Hati-hati Dli jangan buru-buru!”
“Iya Ayah.” Jawab Adli. Adlipun berangkat ke sekolah dengan motornya.
…
Saat tiba di sekolah, seperti biasa Adli menaruh motornya di parkiran sekolah. Kabar burung tentang peraturan bahwa kepala sekolah menginginkan kepada para muridnya tidak membawa motor ke sekolah semakin gencar. Sepertinya di akhir bulan November nanti atau sekitar awal Desember peraturan ini mulai diberlakukan. Untuk saat ini murid-murid masih diperbolehkan membawa motor dan parkir di sekolah. Adli berjalan ke kelasnya sambil berusaha untuk tidak terlihat berjalan pincang, meskipun masih terasa agak sakit di lututnya saat ia mencoba untuk berjalan biasa saja.
Sesampainya di kelas, ia langsung duduk di bangkunya sembari memegangi lututnya “Aww kok masih nyeri yah.” Secara mendadak lutut Adli itu di tepuk oleh tangan seseorang yang berwarna cokelat sedikit kehitaman.
“Arghhh.” jerit Adli.
“Bagaimana Dli sudah mendingan?” tanya Alli’ yang merasa tidak bersalah sedikitpun mengisengi temannya yang sekarang sedang kesakitan. Adli mengangkat tangannya seakan ingin memukul Alli’. Alli’pun spontan mengangkat kedua tangannya juga untuk menahan pukulan Adli. Tetapi Adli tidak jadi meninju temannya itu.
“Masih sakit bodat!” geram Adli.