Hari Kamis di awal bulan November itu, di gang dekat warung bakso Pakde. Perkelahian antara murid laki-laki kelas dua belas sudah dihentikan oleh kedua satpam sekolah. Murid-murid yang tertangkap langsung dibawa ke ruang kesiswaan diantaranya Alli’ dari kelas 12-A-1, Epi dan Danir dari 12-A-2, dan Bani dari 12-A-3. Sedangkan murid sisanya berhasil kabur yakni Adli, Mali, Aldo, dan Faza. Aldo, Mali, dan Faza bisa dapat langsung pulang ke rumahnya masing-masing karena mereka tidak membawa kendaraan ke sekolah. Tetapi Adli yang masih meninggalkan vespa matic kuningnya di parkiran sekolah dilanda kebingungan. Apakah ia harus balik ke sekolahnya dengan menutupi bekas perkelahiannya tadi dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa, atau meninggalkan si kuning di sekolah. Ia mampir dahulu beristirahat di suatu warung kecil membeli minuman sembari berusaha menutupi wajahnya yang terdapat bekas tinjuan dari Aldo. Adli membuka HPnya dan mengetik di grup lima sekawan tersebut, “Gue di warung dekat masjid nih!” ditekannya tombol kirim, hingga beberapa saat belum ada yang membaca pesannya tersebut.
Sementara itu April dan Indi juga terseret dan diperintahkan untuk memberikan kesaksian di ruang kesiswaan. Selain bu Ira dan bu Ima yang juga merasa bertanggungjawab atas kejadian tersebut, disana terdapat Pak Khalil, guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang merupakan kepala bagian kesiswaan memberikan beberapa pertanyaan.
“Jadi gimana-gimana. Kok bisa murid baru si Alli’ ini sudah punya musuh di sekolah barunya?”
“Iya Pak mereka memalak saya di gang sepi itu,” jawab Alli’ spontan memfitnah Epi, Danir, dan Bani karena ia tidak ingin rencana asli dari Adli terkuak.
Epi, Danir, dan Bani berbicara berbarengan dan saling bertabrakan, “Hah bohong Pak fitnah dia, dia duluan yang malak kita Pak, dia yang ngeledekin kita Pak, bohong Pak dia aja yang songong sama kita jadi bikin kesal.” Meraka semua memberikan jawaban alasan yang berbeda satu sama lain.
“Haduh-haduh ini jadinya yang mana yang benar. Tumbenan loh kamu Epi sama Danir, perasaan di kelas kalian berdua anteng-anteng aja,” respon Bu Ima pada kedua murid kelasnya itu.
“Yasuda Pak kalau mereka pada berbohong, kita tanya cewek-cewek ini saja,” saran bu Ima lagi. “Jadi kalian kok bisa tahu ada perkelahian di gang itu, Indi? April?”
April ingin menjawab, namun tangan Indi memegangi lutut April. Indi mengkodekan pada April biar dia saja yang mengambil alih untuk menjawab. “Mmm, jadi sebenarnya.” Indi berakting menundukan kepalanya lalu berkata, “Epi gak suka kalau Alli’ deketin saya bu. Jadi dia manggil teman-temannya buat ngebully Alli’ supaya ngejauhi saya.”
April agak terkejut, ia hampir-hampir tertawa mendengar jawaban mengada-ngada dari Indi itu.
“Oh jadi masalah cewek ternyata,” ucap bu Ira yang juga menyimak.
Murid laki-laki itu semuanya hanya saling berpandangan heran satu sama lain dan menerima saja alasan dari Indi itu. Walaupun memang ada benarnya bahwa masalah tersebut merupakan masalah tentang perebutan cewek. “Oke kalian berempat tetap saya hukum dan catat di buku pelanggaran sekolah ya! Berkelahi antar sesama murid dengan poin lima puluh,”-Pak Khalil mengambil berkas pelanggaran murid untuk masing-masing mereka,”ini buat Epi, poinnya sudah 10, Danir dan Alli’ belum ada poin, terus Bani baru lima poin. Silahkan dicatat masing-masing.”
Mereka bertigapun mencatat masing-masing poin pelanggaran mereka. “Terus Pak yang kabur bagaimana dong?” tanya Danir seketika. Epi, Bani, dan Alli’ langsung melototi Danir berbarengan. Mereka bertiga seakan-akan menodong Danir mengapa ia malah menanyakan hal tersebut. Danir sontak diam. Pak Khalil menanyakan kembali, “Oiya! Jadi tadi teman kamu siapa yang kabur!?” Mereka semua sepakat untuk diam dan tidak memberitahukan teman-temannya yang kabur. “Gaada yang mau jawab nih?! Saya tanya ke anak cewek aja deh. Jadi selain mereka berempat, siapa lagi tadi yang berkelahi di luar sekolah?” tanya Pak Khalil dengan tegas.
“Gak ada Pak. Kayaknya cuma mereka,” jawab April untuk membela murid-murid yang kabur karena terdapat Adli dan Mali juga. “Iya Pak gak ada kok,” sambung Indi.
“Haduhhh. Kalau gak ada yang mau jawab yasudahlah. Bapak mau buru-buru pulang juga nih.”
Murid-murid yang tadinya tegang sekarang bernapas lega. Murid laki-laki sudah selesai menulis pelanggarannya di berkas. Pak Khalil mempersilahkan semua orang yang ada di ruang kesiswaan untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka semuapun keluar dari ruangan kesiswaan. “Yauda April gue balik duluan ya!” ujar Indi. “Okedeh hati-hati!”.
Namun Bu Ira dan Bu Ima menghadang para murid laki-laki dahulu untuk pulang. “Kalian ikut saya dan Bu Ima dulu ke UKS!” ujar bu Ira dengan nada yang lumayan tegas. Terpaksa murid-murid lelaki itu menuju UKS sekolah sebelum mereka pulang. Sementara itu April malah berbelok ke parkiran sekolah. Ternyata ia mengambil kunci motor Adli yang ia lihat terjatuh di tempat perkelahian tadi dan pergi untuk mengambilnya. April mengecek HPnya dan melihat pesan dari Adli bahwa Adli sedang berada di warung kecil dekat masjid di area sekitaran luar sekolah. Aprilpun hendak menuju kesana membawa motor Adli dan menjemputnya.
Sesampainya di UKS para murid laki-laki disuguhkan oleh teh manis hangat dahulu yang merupakan obat superior dari segala jenis penyakit untuk murid sekolah yang pergi ke UKS. Bu Ira, Bu Ima, dan beberapa murid dari ekskul palang merah remaja yang sedang berpiket memberikan beberapa plester dan minyak gosok pada murid-murid yang teluka itu.
“Haduh kalian ini mau jadi apa kalau masalah cewek aja diselesaikan dengan adu tinju. Kalau nanti kalian sudah jadi pejabat atau orang penting, apakah kalian selesaikan juga dengan kekerasan? Gak perlukan?” omel Bu Ima sambil mengobati muridnya.
“Gapapa Bu Namanya juga murid cowok. Dulu juga aku diperebutin waktu zaman SMA hahaha,” canda Bu Ira yang sedang mengobati Alli’ untuk memperingan suasana di UKS itu. Para murid lelaki hanya terdiam sambil menahan rasa nyeri dari luka akibat perkelahian mereka tadi.
“Makasih nah Bu sudah diobati. Kalau disana,”-Alli’ menunjuk jauh dan bermaksud menunjuk tempat asalnya, Makassar, Sulawesi Selatan-”kami berkelahi sampai titik darah penghabisan Bu! Pulang-pulang sekolah memar semua badan tidak ada yang mengobati.”
“Heleh-heleh. Kalau kamu suka berkelahi, masuk aja pencak silat atau taekwondo. Ibu yakin pasti kamu bakal dapat juara satu kalau bertanding!”
“Hehe bisa Bu nantimi saya coba.” Setelah para murid lelaki diobati, mereka semua bangun dari duduknya lalu akan segera pulang. Bu Ima kembali memarahi dua murid dari kelasnya, yakni Epi dan Danir. “Kalian jangan sampai berantem lagi ya! Sudah kelas dua belas bukannya belajar giat buat masuk PTN impian malah berantem! Untung-untung kali ini orang tua kalian belum kami panggil, tapi kalau nanti sekali lagi kalian ketahuan berantem, orang tua kalian akan dipanggil sekolah oke!”
Epi dan Danir menjawab sambil menundukan pandangan mereka, “Iya Bu.” Sementara Bani nimbrung mendengarkan juga. Bu Ira juga melanjutkan menasehati Alli’. Bu Ima yang berada didekat Bu Ira, berbalik arah ke Bu Ira untuk memperhatikan temannya itu yang sedang menasehati Alli’.
“Kamu kalau suka berkelahi ya ikut ekskul yang berhubungan juga dengan berkelahi dong …, biar kamu dapat prestasi. Daripada energi kamu dibuang-buang hanya untuk berantem gak jelas seperti inikan?”