Sabtu sore setelah magrib, dengan langitnya yang masih menyisakan sedikit warna merah jingga, Adli berkemas memasang setelan terbaiknya untuk bersiap-siap berangkat ke salah satu mal yang jaraknya 30 menit dari rumahnya setelah menyelesaikan salat magribnya. Ia asyik chat-an dengan April dari semalam hingga siang tadi, merekapun sepakat bertemu langsung di mal tersebut untuk jalan bareng.
Baju T-shirt hitam polos tanpa gambar yang dilapisi jaket denim hitam kebiruan melengkapi atasan Adli. Tidak lupa dengan jam tangannya juga berwarna hitam yang ia kenakan beserta bawahan celana levis hitampun, membuat diri Adli menjadi serba hitam. Adli mengoleskan sedikit pomade pada rambutnya sehingga membuat rambutnya terlihat basah hitam mengkilap, kemudian iapun keluar dari kamarnya.
Adli yang menuju ruang tengah untuk mencari sepatu sneaker hitamnya bertemu dengan Ibunya, sementara Ayahnya masih salat berjamaah di masjid dekat rumahnya.
“Mau kemana Dli? Tumben malam minggu keluar, biasanya di rumah aja main game,” tanya Ibunya curiga.
“Ini Bu mau jalan sama teman-teman,” jawab Adli sengaja membuat kata ‘teman’ menjadi jamak.
“Ohh yasudah, kalau pulangnya malam banget kabarin ya jangan lupa,” perintah Ibunya
“Iya bu.” Walaupun ia kelas tiga SMA, terkadang Ibunya memperlakukannya seperti masih kelas tiga SD. Adli tidak risih sedikitpun karena ia memaklumi bahwa memang ia anak satu-satunya Ibunya. Adli menyalimi Ibunya dan berangkat dengan vespa matic kuningnya.
Sesampainya di mal yang ia tuju, Adli mengecek HPnya untuk memberitahu April bahwa dirinya sudah sampai sekaligus menanyakan apakah April juga sudah sampai. Selang beberapa waktu kemudian ada pesan dari April yang memberitahukan bahwa dirinya juga sudah sampai.
“Dimana?” ketik Adli.
“Di lobi depan…,” jawab April. Adli menuju lobi depan. Semakin dekat dengan lobi depan mal, hati Adlipun semakin berdebar kencang. Dilihatnya April yang sedang mencari-cari dirinya juga.
Langkah Adli seperti tertawan dipijakannya saat itu juga, setelah sesaat melihat gaya berpakaian April yang sangat anggun dan lugu, karena baru kali ini ia melihat April berpakaian selain putih abu-abu dan seragam sekolah mereka lainnya.
Diantara semua cara berpakaian wanita yang dari setadi ia amati di sekitarnya, meskipun semuanya terlihat cantik dengan cara berpakaian mereka masing-masing untuk menarik perhatian orang lain maupun pasangannya. Namun ada yang berbeda di pikiran Adli ketika melihat cara berpakaian April yang sangat elegan sebagai seorang wanita, tidak murahan dan tetap tampak tertutup.
Atasan blouse casual polos warna putih yang lengannya panjang dan bawahan celana jeans putih yang tidak terlihat sesak sedikitpun dikenakan April, membuat warna pakaian antara Adli dan April akan terlihat sangat-sangat kontras dan mencolok. Adli yang serba hitam sementara April yang serba putih. Mereka lupa berbincang untuk menentukan dresscode supaya senada.
Adli mendekat lalu langsung menyapa April, “Hey!”
April menengok, “Haaii!”
“Waduh pakaian kita beda banget nih warnanya ahahah,” ucap Adli.
“Ahahah iya gakpapa deh masa balik lagi ke rumah ganti baju.”
“Yauda beli tiketnya dulu aja yuk,” ajak Adli karena mereka berdua telah sepakat sebelumnya untuk menonton salah satu film thriller-horror yang sedang booming di bioskop sejak beberapa hari lalu baru dirilis. Mereka berdua langsung menuju bioskop untuk memesan tiket.
Sambil berjalan menuju bioskop, mereka juga bercakap-cakap.
“Naik motor tadi?” tanya Adli.
“Iya,” jawab April.
“Kok gak dianter Om Jan?”
“Om Jan dari kemarin sore pergi ke Puncak Bogor sama beberapa perwakilan guru, karena ada pertemuan sekolah-sekolah unggulan se-jabodetabek. Nginep dua malam, katanya besok baru balik.”
Dalam hati, Adli tertohok dengan kenyataan tersebut. Padahal para siswanya dipersulit untuk mengadakan kegiatan di luar Jakarta, namun kepala sekolahnya sendiri beserta jajarannya malah sekonyong-konyong melakukan perjalanan urusan sekolah ke luar kota.
Adli mengangguk saja meskipun dalam hatinya ia ingin sekali mengumpat Kepala Sekolahnya itu langsung di depan keponakannya. Namun Adli berusaha menahan hal itu dan hanya merespon, “Owh iya.”
April merespon, “Hahaha padahal kita mau jambore aja gak boleh ya diluar, tapi Om Jan malah jalan-jalan keluar kota sama guru-guru lainnya, enak banget.”
Adli kaget tidak menyangka keterusterangan April itu di depannya. April selalu bisa membaca apa yang sedang ada dipikiran Adli, sepertinya mereka berdua memiliki pemahaman yang sama tentang segala sesuatunya.
“Eh lu udah tau jambore sekolah?”
“Iya. Dari adik kelas lu, ketua osis baru kita. Sama dari Indi juga,” ucap April dengan sengaja tidak ingin menyebut langsung nama Lili di depan Adli karena ia masih gengsi dengan perasaan cemburunya.
“Owhhh …,“ respon Adli. Merekapun meneruskan jalan menuju bioskop.
Saat di bioskop, Adli membeli dua tiket film thriller-horror yang mereka ingin tonton. Jadwal jam tayang yang paling dekat hanya menyisakan bangku paling depan saja, sehingga Adli memilih jadwal tayang di jam delapan lewat tiga puluh.
“Gimana?” tanya Adli ke April untuk mengkonfirmasi apakah tidak apa-apa jika April pulang lumayan malam mendekati jam sepuluh. Durasi film itu kebetulan hanya delapan puluh menit.
“Gimana apanya?” April bertanya balik.
“Gak kemaleman?”
“Jam sepuluh mah masih sore. Lagiankan Om Jan untungnya lagi pergi juga ahahah. Udah izin juga tadi sama Mbok, gue bilang mau jalan sama lu.”
Adli merasa senang Mbok di rumah April masih mengingat dirinya.