Di malam Minggu yang masih menyisakan beberapa jam lagi untuk menyentuh hari Minggu, Adli dan April masih menikmati waktu jalan berdua mereka di arena GameZone, kemudian telunjuk April tepat mengarah ke game dance. Game yang selanjutnya akan mereka duelkan.
Adli lupa masih ada game tersebut yang belum mereka mainkan. April yang sudah menguncir rambutnya terlihat sungguh berbeda dari sebelumnya. Iapun tertegun memandangi pesona April dengan gaya rambutnya yang terkuncir.
“Karena ini game terakhir yang bisa kita duelin. Jadi game ini game penentuan ya. Dan poinnya paling gede dari game-game sebelumnya. Kalau menang di game ini, berarti dia pemenangnya!” Secara sepihak April membuat peraturannya sendiri. Sepertinya ia sengaja menaruh siasat untuk memainkan game dance di akhir saja, supaya rencananya itu bisa berjalan dengan lancar.
Adli bingung dan juga terkaget. “HAHHH. Kokkk bisa gituuu?”
“Ya biasanya emang gitukan, game terakhir adalah game penentuan.”
Adli hanya bisa pasrah karena ia benar-benar kaku sekali dalam hal menari, iapun mengikuti kemauan April. Dalam hati Adli bergumam ternyata gen maupun DNA otoriter dari Pak Jan masih ada sebagian yang diturunkan pada keponakannya itu.
“Okeee deh,” jawab Adli yang hanya mengandalkan kelincahannya dari hobi badmintonnya untuk memainkan game dance ini.
Setelah menunggu orang lain menyelesaikan permainan itu, merekapun mendapatkan gilirannya dan langsung menaiki pijakan permainan. Lagu pertama dari permainan itu dimulai juga. Adli sekilas menatap April yang sangat fokus benar-benar ingin mengalahkannya. Ia juga berusaha sebisa mungkin untuk mengimbangi permainan April.
Lagu pertamapun selesai, skor jauh dimenangkan oleh April. April menengok ke arah Adli sambil tersenyum bangga. Mereka saling berbalas senyum. Dilanjutkan lagu kedua. Adli sesekali mencuri tengok ke arah April yang sekarang lebih serius lagi menatap layar petunjuk pijakan di depan sehingga membuatnya tidak fokus mengikuti tempo permainan. Hasilnya perbedaan skor merekapun lebih jauh dari sebelumnya.
“Seriuss dong Dliii!” seru April pada Adli agar Adli bermain dengan sungguh-sungguh.
“Ehh iya-iya.”
Ketika lagu ketiga dimainkan, Adlipun bermain secara serius. Tetap saja permainan masih dimenangkan oleh April, tetapi dengan perbedaan skor yang menipis. Lalu lagu ke empat yang juga merupakan lagu terakhir. Terjadi perlawanan sengit dari Adli yang sudah mulai terbiasa dengan tempo pergerakan permainan tersebut.
Skor mereka saling susul menyusul. Hingga di akhir lagu, ternyata skor merekapun bernilai sama. Adli dan April turun dari arena permainan.
“Jadinya menang lu ya?” Adli mengkonfirmasi permainan mereka.
“Kayaknya seri aja deh ….” Saat permainan tadi di lagu terakhir, April sengaja mengalah dari Adli, padahal sebelumnya ia yang menginginkan permainan fair tanpa ada perasaan untuk saling mengalah. Namun malah dirinyalah yang mengalah untuk Adli.
Adli terdiam sejenak, terpesona dengan diri April yang terlihat lumayan kelelahan setelah bermain game dance tersebut. April sedikit mengeluarkan keringat di keningnya. Hal ini mengingatkannya lagi ketika mereka sama-sama sedang makan ayam geprek bukde disaaat April sedang kepedasan. Tetapi kali ini bedanya, Adli tidak menyeka keringat di dahi April karena ia tidak membawa tisu.
April menyeka sendiri keringatnya itu dengan jari telunjuknya, lalu membenarkan salah satu rambutnya yang terjuntai di depan keningnya, ke bagian samping telinganya dengan jari telunjuk. Adli masih diam terpaku. Suara kebisingan arena permainan yang berada di sekelilingnya semuanya memudar, hening, waktu melambat dan pandangannya sangat-sangat terfokus pada diri April.
Adli tersadar kembali setelah April memanggil namanya dua kali. “Dli …. DLI!!”
“Eh iya!” kaget Adli.
“Yuk ke bioskopnya langsung aja, tinggal 20 menit lagi filmnya mulai nih.”
“Wah cepet banget rasanya. Yuk deh,” jawab Adli yang juga langsung berjalan menuju bioskop bersama April.
Ketika sampai di lobi bioskop, sambil menunggu studio yang memutarkan film mereka di buka, Adli dan April memesan popcorn dan minuman untuk melengkapi tontonan mereka nanti. Merekapun menunggu dahulu dan duduk berhadap-hadapan di salah satu bangku kafetaria area bioskop.
“Gimana, mau nantang gue lagi main game atau permainan?” ucap Adli.
“Wah lu jago banget di semua hal tentang game. Gak lagi deh kayaknya aahahah. Berarti lu itu lebih suka di rumah aja ya main game?”
“Iya betul. Gue lebih suka main game aja di rumah, daripada gue maininnya hati seorang perempuankan? Mendingan mainin game aja ahahha.”
April teringat dengan kejadian Ayah dan Ibunya lagi setelah mendengar kata-kata dari Adli itu. “Betul-betul,” jawab April menyetujui Adli.
“Lu jadinya pulang ke Jawa Timur gak nih, liburan ini?” Tiba-tiba saja Adli bertepatan menanyakan hal tersebut disaat pikiran April juga sedang memikirkan Ibunya di Jawa Timur.
“Oiya. Kemarin gue udah bicara sama Ibu, kayaknya gue balik liburan nanti,” ucap April dengan perasaan senang.