Keesokan harinya di hari Selasa pagi. Sekitar pukul enam, di depan gerbang sekolah yang terbuat dari besi berwarna hitam itu masih dihinggapi oleh butiran-butiran dinginnya embun air, beberapa buah sepeda motor kepunyaan para geng motor sekolah sudah terparkir rapih berjejer. Sementara para pengendaranya bersiap-siap agak jauh di samping sekolah untuk mengadakan demo lagi mengenai aturan parkir-memarkir di sekolah mereka. Bedanya dengan demo kecil sebelumnya, kali ini mereka mengajak anggota geng motor kelas sepuluh dan sebelas untuk berpartisipasi, dengan tambahan atribut spanduk bertuliskan “BOLEHKAN KAMI PARKIR DI SEKOLAH LAGI!” berwarna merah terang, dan tulisan-tulisan lain sejenisnya. Demo ini lebih besar dari yang kemarin.
Iman sebagai koordinator lapangan memberikan aba-aba ke massa yang sudah setengah terkumpul lumayan banyak. “OKE SEMUANYA!”-ia berbicara dengan toa-“Lima menit lagi kita bakal jalan ke depan gerbang sekolah! Kita demo mereka di depan gerbang sampai lima menit sebelum bel sekolah masuk. SIAPKAN DIRI KALIAN!!!” seru Iman membakar dahulu semangat para murid yang merasa dizalimi itu karena peraturan sekolah. Semangat mereka semakin menyala karena terbakar hangatnya mentari pagi yang juga sudah mulai terasa terik.
Gerombolan itupun beriringan menuju depan gerbang sekolah mengeluarkan suara hentakan kaki yang terdengar menggelegar. Satpam-satpam sekolah terkaget dengan kehadiran para pendemo yang memecahkan keheningan dan kesejukan pagi hari menjadi keriuhan dan mengganggu warga sekitar sekolah. Para satpam sekolah langsung menutup gerbang sekolah rapat-rapat dan membentuk suatu barisan penghalang untuk mencegah gerombolan itu masuk ke sekolah yang beberapanya sudah menaiki sepeda motor serta bersiap untuk menerobos.
“BREMMMMM BREMMMMMM!!!!!!!!!!!” terdengar suara knalpot motor dari salah satu anggota geng motor yang mencoba memeriahkan suasana lagi. Pagi hari itu di depan gerbang sekolah, segala akvitas dari pendemo lumayan membuat warga sekitar tertuju perhatiannya pada demo itu.
Iman dengan toanya terus menggaungkan suara perlawanannya dengan para pendemo tepat menuju ke arah sekolah. Beberapa murid mengangkat juga tinggi-tinggi spanduk dan banner mereka yang menyuarakan keadilan melawan kezaliman mengenai peraturan sekolah. Hingga jam mendekati pukul enam tiga puluh, para guru yang membawa kendaraan roda empat ke sekolah juga mulai berdatangan. Namun mereka terhenti, tidak bisa memasuki gerbang karena banyaknya massa yang menghalangi.
Satpampun kebingungan bagaimana cara membelah lautan manusia itu untuk memberikan jalan pada mobil-mobil para guru yang diantaranya ada Pak Jan agar bisa memasuki area sekolah seperti halnya musa yang membelah lautan. Suara klakson mobil para guru menambah keributan suasana di depan gerbang sekolah. Beberapa murid maupun guru yang baru datang juga kebingungan bagaimana bisa memasuki gerbang sekolah.
Akhirnya terlihat Pak Jan yang turun dari mobilnya dan berjalan ke area samping sekolah yang sudah sepi ditinggalkan para pendemo tadi, sambil menempelkan HPnya di telinganya sementara itu April tetap di dalam mobil. Pak Jan menelepon Pak Hadi yang sudah lebih dulu berada di dalam sekolah.
“Halo Pak?” jawab Pak Hadi setelah ia mengangkat panggilan dari Kepala Sekolah.
“HALOOO PAK?” Pak Jan menaikan volume suaranya agar bisa mengimbangi suara para pendemo yang masih terdengar lumayan berisik di area depan sekolah.
“Iya Pak, bagaimana ini? Saya tepat berada di gerbang sekolah bagian dalam Pak.”
“Kamu gak bisa mengomandoi satpam dari sana, buat bubarin massa ini?”
“Sudah Pak! Cuma massanya lebih keras kepala gak bisa di bubarin. Palingan tunggu dekat waktu bel sekolah Pak, baru mereka bakal bubar.”
“Lah kalau begitu saya juga ikut telat dong?” Pak Hadi lupa kalau masih ada beberapa guru yang tertahan dengan mobilnya di luar sekolah, sehingga guru-guru tidak bisa masuk tepat waktu juga untuk absen dengan menggunakan sidik jari mereka.
“WADUH iya Pak,”-Pak Hadi berpikir sambil menggigit lidahnya selama beberapa saat, lalu ia mendapatkan suatu ide-“OIYA Pak, saya baru inget. Gerbang kecil disamping sekolah kita buka aja Pak buat ngasih jalan ke guru-guru maupun murid-murid yang tertahan.”
“Ohh yasudah Pak laksanakan saja!” perintah Pak Jan pada Pak Hadi. Dengan sigap Pak Hadi langsung menyuruh para satpam untuk membuka kembali pintu samping sekolah yang telah lama di segel. Mereka langsung menuju pintu usang tersebut.
Terlihat pintu samping sekolah yang sudah lumayan berkarat ditutupi sebagiannya oleh tumbuhan lumut ditambah dengan rantai yang tergembok cukup besar, sepertinya menjadi PR besar bagi para satpam untuk menyabotase kembali pintu lama tersebut agar bisa terbuka lagi. Sementara itu Pak Jan yang masih terhubung teleponnya dengan Pak Hadi dan menanyakan kembali.
“Bagaimana Pak Hadi? Sepuluh menit lagi bel masuk nih, masa Kepala Sekolah telat datang ke sekolahnya!”
“Sebentar Pak! Sedang diusahakan sama para satpam.”
Sebagian satpam yang dipanggil untuk membongkar dan membuka kembali pintu rahasia itu sudah siap berperang dengan alat tempurnya seperti linggis, pemotong rantai, dan lain sebagainya. Mereka semua berkerja keras dan bekerja sama, bagaimanapun caranya pintu itu bisa dapat difungsikan kembali.
Sampai pukul 6:25 akhirnya pintu itupun bisa dibobol, Pak Hadi dengan cepat keluar dari pintu tersebut dan memberikan arahan pada para guru maupun murid yang dari setadi tidak bisa memasuki sekolah, namun sudah terlebih dahulu diberi arahan oleh Pak Jan untuk masuk lewat pintu samping sekolah itu. Mereka semua pun berlari kencang, keadaan menjadi kacau balau. Ketika beberapa guru dan murid berlari hendak memasuki gerbang samping yang sudah dibobol itu, mereka bertabrakan dengan arus dari para murid pendemo yang juga sudah menyudahi demo secara serentak dan ingin memarkir motornya di parkiran belakang sekolah.