Hari-hari liburan berikutnya cepat berlalu begitu saja dan tidak terasa. April telah mengantarkan Ibunya jalan-jalan ke berbagai tempat sehingga rencananyapun berhasil. Selain itu, mereka berdua juga telah berkunjung ke rumah-rumah keluarga untuk menyambung tali silaturahmi, paling jauh berada di pusat kota Malang. Betul saja seperti yang dikata Ibunya, banyak dari anak laki-laki kerabat yang sudah ancang-ancang untuk masuk meminang April, meskipun April baru akan lulus dari SMA.
Namun di zaman yang sudah bergeser ke modern ini, para wanita tidak seperti zaman sebelumnya yang harus secepat mungkin dinikahkan. Sekarang mereka seharusnya mendapati keputusan bebas yang berada dari diri mereka sendiri, untuk segera menikah atau ingin mengejar impiannya dahulu. Ibu April mengerti April mempunyai cita-cita yang tinggi juga, sehingga ibunya masih menutup rapat-rapat segala pitengan yang masuk dari pihak keluarga pada gadis perempuannya itu.
Di penghujung liburan akhir tahun, Kota Wisata Batu Malang semakin ramai. Pengunjung tempat-tempat wisata di sekitar Batu naik membludak. April yang sudah mengunjungi berbagai tempat wisata tersebut bersama Ibunya sekarang lebih memilih menghabiskan waktunya bersantai di rumah saja. Membantu Ibunya mencuci pakaian, menyetrika, maupun belajar memasak ala resep Ibunya.
Suatu ketika di hari Minggu malam, tidak ada angin tidak ada hujan. Kakak April, Halim mengajaknya untuk sekedar hangout keluar. Bisa dibilang brosis days out! Halim mengajak April untuk pergi ke mal. Entah itu untuk sekedar makan, menonton bioskop, atau membelikan adiknya itu oleh-oleh berupa baju dan yang lainnya sebelum balik ke Jakarta.
April keluar dari kamarnya setelah bersiap.
“Tumben banget Bu! Mas ngajak April jalan berdua aja nih!” ucap April pada Ibunya
“Kayaknya ada maunya tuh Pril,” sahut Ibunya
Halim menyanggah, “Enggak Bu. Ikhlas kok, Halim cuma mau beliin baju adik tersayang buat oleh-oleh. Atau nraktir makan sama nonton bioskop juga bisa.”
“Wihhh untuk budget anak kos, bisa beliin oleh-oleh April dan nraktir juga? Beneran mas?” tanya April tidak percaya.
“Ya beneran dong. Yauda yuk nanti kemalaman!” ajak Halim yang terburu-buru, mereka berdua berpamitan dengan Ibunya.
“Yauda Bu April pergi dulu ya, nanti Ibu mau nitip apa?”
“Gausa Nak. Oke hati-hati ya.”
“April beliin roti aja ya!”
“Yasuda terserah kamu.”
Ketika April hendak meninggalkan Ibunya, terlihat tatapan Ibu April pada diri April seperti menyembunyikan sesuatu yang tersirat, mata Ibu April seketika menunduk ke arah bawah. April dan Halimpun berangkat menuju mal.
Sepanjang perjalanan menuju mal, pikiran April memikirkan ekpresi mikro dari Ibunya tadi. Ada udang di balik batu, April menjadi gelisah. Halim bertanya pada April.
“Kenapa Pril?”
“Enggak Mas. Kepikiran ujian sekolah, tiba-tiba udah mau abis aja liburan. Perasaan baru kemarin,” bohong April
“Ora Iso dipikirin itumah, santai aja. Kirain mikirin apaan,” jawab Halim yang juga sebenarnya menyembunyikan sesuatu dari April, takut-takut April curiga juga padanya.
Setelah kurang dari tiga puluh menit, mereka sampai di mal.
“Mau kemana dulu?” tanya Halim pada adiknya.
“Terserah mas. Mas kan yang mau traktir …,” jawab April dengan kedua alisnya yang juga terangkat dua kali secara cepat.
“Kemana ya …. Cari baju buat kamu langsung aja deh. Yuk keliling dulu lihat-lihat tokonya.”
“Asyikkk! Makasih ya Mas!” April senang sembari menjulurkan tinjunya untuk melakukan brofist dengan kakaknya itu. Halim menimpali. Kedua kakak beradik itu berkeliling mal menghabiskan quality time mereka.
Namun di benak April, ia bingung. Kalau dipikir-pikir, memangnya darimana uang yang dipegang kakaknya itu untuk dapat mentraktirnya membeli baju maupun oleh-oleh. Aprilpun terus bertanya-tanya kepada perasaannya sendiri, hingga membuatnya sungkan untuk membeli baju-baju maupun celana yang baru saja ia pegang untuk dibayar ke kasir setelah lama memilih dan mencoba-coba.
“Oiya Mas? Memang uang Mas darimana? April gamau beli jadinya kalau nanti malah bikin Mas makan mie doang tiap hari!”
“Ahaha, udah tenang aja. Gak kok. Sudah Mas budgetin juga!” Namun sedari tadi pula tingkah laku Halim mencurigkan. Berulang kali ia mengecek HPnya secara rutin. Hal itu membuat April semakin curiga.
April menaikan ujung bibirnya lalu berkata, “Yauda, April beli satu setel aja deh. Baju sama celana aja.” April kembali menaruh baju-baju dan celana yang lain karena ia merasa kasihan. Pastinya kakaknya itu berulang kali mengecek saldo rekening melalui HP dan menghitung sambil menimbang-nimbang lagi harga-harga belanjaan April itu.
Halim menahannya untuk menaruh kembali barang yang telah April pilih.
“Dibilang tenang aja! Udah sini Mas yang bawain ke kasir.” Ditariknya barang-barang belanjaan April itu dan dibawanya langsung ke kasir untuk dibayar. April heran tetapi senang.