Pertemuan dengan Ayahnya pada liburan kali ini membuat April merasa hidup sekali lagi. Dirinya merasa lebih plong dan bisa lebih fokus lagi belajar untuk ujian-ujiannya yang sudah menunggu ketika masuk sekolah nanti. Sangat berbeda dengan Adli yang diliburan kali ini perasaan gundah hinggap di hati dan pikirannya mengenai hal tentang Mira yang meninggalkannya untuk selamanya. Padahal Adli masih berharap bahwa Mira akan datang kembali suatu saat nanti, menjelaskan pada dirinya mengapa ia pergi begitu saja, sekaligus meminta maaf kemudian memeluknya erat-erat. Tetapi imajinasi Adli terlampau jauh dari kenyataan takdir Tuhan yang berkata lain, Adli benar-benar ditinggal beda dunia begitu saja.
Liburan ini terasa hampa bagi Adli. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dikamarnya dibanding liburan-liburan sebelumnya. Merenung, bertanya-tanya kepada semesta dan sekitarnya. Ibunyapun bingung oleh tindak tanduk Adli yang tidak seperti biasanya itu. Di malam itu juga, bersamaan dengan April yang baru saja pulang sehabis bertemu Ayahnya dan berbicara banyak mengenai Adli, terdapat pesan notifikasi masuk di HP Adli dari April.
“Udah tidur?” sapa April ketika jam menunjukan tepat pukul setengah sebelas.
“Belum …. Masih di Jatimkan?” balas Adli setelah melihat notifikasi pesan masuk itu.
Pesan balasan lagi dari April langsung masuk tanpa jeda. “Masih. Mungkin H-2 baru balik ke Jakarta.”
Seperti planet yang tertarik gaya gravitasi antar keduanya, merekapun saling melanjutkan balas membalas chat dengan antusias, membahas topik-topik ringan lalu ke topik-topik random lainnya. Hingga ketika April memberitahu Adli bahwa ia telah bertemu dengan Ayahnya.
“Oiya, btw tadi gue udah ketemu sama Ayah!”
“Wihhh Alhamdulillah. Bagus-bagus kalau begitu!” Adli ikut senang merasakan perasaan senang dari April. Perlahan kegundahannya selama beberapa hari ini mengenai Mira mulai tersisihkan karena percakapannya dengan April ini dan kehadiran April juga.
“Iyaaa! Terus tadi masa kita banyak ngebicarain tentang lu! Ternyata Ayah gue udah tau sama lu!”
Adlipun bingung bukan kepalang. “Jadi Ayah lu udah tau tentang gue? Karena lu kasih tau atau bagaimana?
April menjelaskan ulang peristiwa bagaimana Ayahnya bisa tau mengenai diri Adli secara runut sampai Adli juga mengerti dan paham.
“Ohh jadi begitu ya. Kok gue jadi deg-degan sih Ayah lu tau tentang gue. Kalau Ibu?”
“Ibu belum.”
Karena Adli mengingatkan April mengenai Ibunya, Aprilpun takut kalau Ibunya mengecek masuk lagi ke kamar seperti tempo hari karena waktu tidak terasa sudah menunjukan pukul dua belas lewat. April memutuskan untuk menyudahi percakapannya dengan Adli. Tetapi Adli lebih dahulu mengirimkan suatu pesan chat.
“Lu kalau mau tidur, duluan aja gakpapa. Capekkan pasti tadi abis keluar ketemu Ayah? Gue sih dari pagi di rumah aja rebahan wkwk, jadi palingan bakal lanjut begadang nih.”
Membaca pesan itu, April merasa antara mereka berdua sepertinya sudah ada koneksi satu sama lain melalui telepati. Iapun membalas, “Baru aja gue mau bilang, gue tidur duluan ya. Takut Ibu ngegap gue begadang main HP ahahaa”
“Okee deh good night ya!”
“Goog Night!”
Percakapan dari hati ke hati itu membuat kegundahan Adli sirna begitu saja dalam waktu sesaat. Tetapi sekarang kegundahan itu kembali lagi ke tempatnya, yakni di hati seorang Adli. Adli berdiam diri sejenak, mencoba untuk mengatur emosinya lagi. Ia bangun dari posisi rebahannya di kasur menuju komputernya lalu membuka sosial media tempat dimana semua isi chat, foto, dan semua kenangannya dengan Mira tersimpang baik-baik.
“HUFFFTTT!” keluh Adli yang harus memaksa dirinya sendiri untuk membuka kenangan itu semua. Setelah beberapa hari ini kegalauannya memuncak, iapun akhirnya memutuskan untuk menghapus semua hal tentang dirinya yang ia ingat dengan Mira. Adli berniat untuk move on.
Adli meyakinkan dirinya lagi, “Oke. Ini hanyalah sebagian chapter aja dalam hidup gue, bukan seluruh cerita hidup gue.” Perlahan-lahan dengan keyakinan yang mantap, Adli mulai menghapus semua chatnya dengan Mira. Begitu juga foto-fotonya dengan Mira. Tangannya sedikit gemetar, tetapi hatinya meyakinkan tubuhnya lagi untuk melakukan hal itu. Beberapa saat kemudian semua hal bisu yang berbentuk fisik tentang Mira telah lenyap dari hidup Adli, hanya tinggal menyisakan ingatan dari Mira yang masih tertinggal di dalam memori Adli.
Adli diam sejenak, otaknya membeku sesaat. Seketika suatu benda jatuh tepat di depannya, dari selipan rak bukunya yang ada diatas. Itu adalah surat serta puisi yang April berikan pada dirinya untuk meminta maaf. Adli terpegun kembali, entah pertanda apa yang semesta ingin sampaikan padanya dengan peristiwa yang kebetulan itu. Tetapi Adli tidak percaya dengan yang namanya kebetulan, karena memang tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Semua terjadi karena suatu alasan. Adli tidak menyentuh surat itu sama sekali, melainkan ia kembali tidur rebahan di kasur memikirkan apa-apa yang sudah terjadi pada dirinya selama masa SMA ini.
…