Libur telah selesai. Para murid kembali dengan semangat baru, setelah beberapa minggu sebelumya mereka telah usai mengisi energi kehidupan saat liburan dengan caranya masing-masing, berjalan-jalan ke luar kota dengan keluarga tercinta, atau sekedar bercengkerama di rumah. Hari pertama kembali sekolah setelah libur panjang, hari itu juga langsung diadakan upacara pertama pembukaan semester baru ini. Pak Jan sudah bersiap-siap menggunakan setelan seragam mahalnya yang berkualitas tinggi untuk tampil di depan semua muridnya sebagai pembina upacara.
Murid-muridpun berbondong-bondong ke lapangan. Ketika Adli melewati kelas April, ia mengecek keberadaan April, ternyata April sudah tidak ada disana, hanya tasnya saja. Adli melanjutkan turun ke lapangan.
Sesampainya di lapangan, murid-murid berbaris sesuai barisan kelas mereka, dengan barisan murid laki-laki dan perempuan yang juga pisah. Adli memperlambat jalannya sewaktu ia ada di depan barisan murid perempuan kelas dua belas, hendak mencari-cari April diantara banyaknya murid perempuan lain karena rindunya yang sudah memuncak.
Salah satu murid perempuan kelas dua belas menyeletuk kegeeran, “Nyariin siapa Dli? Nyariin gue ya, nih gue ada disini ….”
Teman-temannya yang lain menyoraki murid itu sambil ikutan centil juga pada Adli. Adli tetap bersikap dingin tidak menghiraukan disaat matanya juga menatap tajam memburu gadis bernama April yang sekarang memenuhi pikirannya. Tetapi sayang, April tidak kunjung ia temukan. Adli mempercepat jalannya lagi menuju barisannya karena mikrofon sudah mulai mengeluarkan bunyinya menandakan upacara akan segera di mulai.
“Perhatian-perhatian. Upacara hari Senin, tanggal sepuluh Januari akan segera dimulai. Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara, barisan disiapkan,” ucap salah satu murid perempuan sebagai pemandu upacara dari ekskul paskibra yang ditugaskan sebagai panitia upacara di hari pertama ini.
Riuh gemuruh obrolan para murid seketika meredam ketika pemimpin upacara mengeluarkan suara lantangnya, “SIAAAAAAAPPPPPPP, Gerak!” Prosesi upacarapun berlanjut.
Semakin berjalannya waktu, batas bayangan hitam yang menaungi barisan murid para kelas dua belas mulai bergerak secara perlahan, meninggalkan mereka yang sebelumnya santai-santai saja tidak kepanasan, menjadi terkena hangatnya mentari pagi.
Hal itu biasanya bertepatan juga dengan waktu ketika pembina upacara akan memberikan amanatnya. Pak Jan terlihat menaiki tempatnya sebagai pembina upacara. Para murid sudah tahu betul pastinya amanat dari Pak Jan akan memakan waktu yang lama.
“Haduuuhhh. Hari pertama baru aja masuk, udah bikin kaki gempor aja!” ucap salah satu murid perempuan di samping April.
“Lihat aja nanti, bakal banyak korban berjatuhan juga hahahah,” sambung murid perempuan lainnya. April hanya mendengarkan dan tetap menatap kedepan.
Matahari semakin naik ke atas langit, tidak ada tanda-tanda Pak Jan akan menyudahi amanatnya itu. Para murid semakin tidak karuan, menggerakkan badannya ke kanan ke kiri seperti ayunan bandul yang bergetar. Murid-murid yang berada di barisan bagian belakang sudah mulai berbisik-bisik mencari topik pembicaraan dengan temannya yang lain, sekedar melepas penat karena sudah cukup lelah untuk diam berdiri saja seperti patung. Keringat juga sudah mulai terceplak di tubuh murid-murid laki-laki yang lupa memakai kaus dalam.
“BRAKKK!!!” Korban pertama tersungkur dari barisan perempuan murid kelas sepuluh. Anggota ekskul Palang Merah Remaja dengan sigap membantu murid itu. Pak Jan mulai mempercepat bicaranya melihat kejadian itu, tapi sepertinya masih jauh dari ujung pidatonya.
“BRUGGG!!!” Kali ini dari murid perempuan kelas sebelas juga jatuh. Murid-murid mulai mengeluarkan suara kebisingan seperti memberikan sinyal protes pada Pak Jan agar segera menyudahi pidato amanatnya itu. Para gurupun ikutan mulai capek dan sedikit sebal.
Terhitung sudah berjalan dua puluh menit lebih Pak Jan mengeluarkan kata-kata yang sepertinya hanya masuk di kuping kanan para murid, lalu keluar lagi di kuping kiri. Dengan suara bising para murid yang semakin membesar, Pak Jan menaikkan nada suaranya, “DIAMMMM SEMUANYAA!!!’ Seketika semua murid diam. Ia melanjutkan pidatonya yang sudah mencapai epilog.
Semakin banyak murid yang kelelahan dan mulai terlihat sempoyongan, sebagiannya sudah terjatuh di tanah, bahkan murid laki-lakipun juga ada. Anggota ekskul PMR kewalahan dan bingung ingin membantu murid yang mana terlebih dahulu. Ketua PMR memerintahkan untuk menolong murid perempuan dahulu. Para murid laki-laki diminta untuk membantu juga menggotong murid laki-laki lainnya yang pingsan, sembari mereka mengambil kesempatan untuk meninggalkan lapangan lebih dulu juga.
Akhirnya Pak Jan menutup amanatnya setelah banyak korban berjatuhan dan UKSpun penuh. Baru dua kali Pak Jan menjadi pembina upacara, ketika saat ia masuk pertama kali, dan kali ini. Tapi korban kali ini jelas lebih banyak dari yang sebelumnya.
Tinggal tersisa pembacaan doa saja, lalu kemudian dilanjutkan laporan selesainya upacara, dan penghormatan pada pembina upacara. Upacara akhirnya selesai. Tetapi seperti biasa, di akhir upacara, selalu ada extra time tambahan dari guru bidang kesiswaan dengan pemandu upacara yang juga lalu berkata, “PENGUMUMAN-PENGUMUMAN.”