Dua puluh lima April, tahun sembilan sembilan. Dikala Senin pagi yang cerah pada masa lampau itu, para pekerja sudah bangun dari tidurnya siap-siap untuk mencari rezeki. Termasuk Ayah April yang saat itu masih merintis karirnya sebagai pekerja kantoran.
Sementara itu Ibu April sedang hamil tua mengandung anak kesayangannya yang akan segera lahir ke dunia, dan menjalani kehidupannya yang menyenangkan. Ayah April berpamitan dengan Istrinya.
“Abang kamu jagain Ibu ya! Harus jadi Abang yang pinter dan kuat buat Adik kamu ini!” ucap Ayah April pada Halim yang saat itu masih berumur sekitaran empat tahun. Halim hanya mengangguk kecil.
Ibu April menjawab, “Tenang aja Ayah. InsyaAllah Ibu baik-baik aja! Ayah semangat kerjanya!” lalu ia mencium manja pipi suaminya itu kemudian menyaliminya.
Ayah April membalas ciuman tersebut dengan ciuman yang lebih mesra, “Iya Mah. Doaian ya biar lancer-lancar aja,”-kemudian Ayah April juga memberikan kecupan pada buah hatinya yang masih di dalam perut-“Oke Ayah berangkat dulu.”
Masa-masa tersebut masih indah dijalani keluarga kecil itu, sebelum mereka tahu di masa depan keindahan itu hanyalah bagian kecil semata dari cerita lengkap perjalanan rumah tangga Ayah dan Ibu April.
Sesampainya di kantor, Ayah April turun dari mobilnya. Dengan semangat paginya, ia sedikit berlari hingga tali sepatu pantopel hitamnyapun terjuntai ke tanah. Ayah April mengikat tali sepatunya sambil memperhatikan paku berukuran sedang di aspal tempat parkiran, agak jauh dari dirinya terkilap mengkilau akibat pantulan sinar matahari pagi. Ia menghiraukannya saja dan lanjut berjalan menuju kantor.
Aktivitas sehari-hari mereka berjalan seperti biasanya. Sang Suami yang berjuang sibuk mencari nafkah untuk keluarganya juga Sang Istri yang sedang bersusah payah mengandung sang buah hati kecil mereka.
Di kantor ketika Ayah April sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk, sekitar jam sembilan pagi saat jam coffee break, ia menyempatkan untuk menelpon istri dan buah hatinya tercinta. Saat itu belum ada yang namanya teknologi video call.
“Halo Mah? Gimana di rumah baik-baik ajakan? Si dedek belum ada tanda-tanda mau keluar?”
Jawab Ibu April yang menggepit handphone diantara telinga dan bahu kanannya sambil menggoreng sesuatu, “Iya Pah Alhamdulillah rasa-rasanya anteng-anteng aja nih si dedek!”
Cesssssssssss bunyi sesuatu bahan masakan yang sedang digoreng Ibu April terdengar sampai ke Ayah April.
“Wahhh masak apa lagi tuh Mah? Udah Mamah istirahat aja gausa ngerjain pekerjaan rumah apa-apa lagi!” perintah Ayah April khawatir.
“Ohhh ini masak kangkung aja buat Abang Halim. Iya abis ini paling mama rebahan lagi. Orang baru selesai rebahan kok tadi. Capek juga rebahan mulu. Justru aturan banyakin gerak biar sehat Pah!”
“Iya tau tapi jangan berlebihan juga kebanyakan gerak ….”
Prakkkkk Gedebuggg!!! Terdengar juga oleh Ibu April dari telepon Ayah April, suara berkas-berkas kantor yang memenuhi meja Ayah April tak sengaja disenggolnya hingga terjatuh berantakan.
“Apa tuh Pah?” tanya Ibu April penasaran.
“Ohhh ini berkas-berkas Papah barusan jatuh.” Sesaat yang bersamaan datang atasan Ayah April memerintahkan sesuatu, “Den! Tolong siapkan presentasi untuk klien ya! Presentasinya tidak jadi lusa, jadinya hari ini. Sekitar jam sebelas mereka datang, lagi on the way.” Hal itu terdengar oleh Ibu April karena telepon mereka masih menyambung.
“Siap Pak!” tidak ada kalimat lain lagi yang lebih pantas dari seorang staf kantoran pada atasannya untuk merespon hal itu. Untungnya Ayah April sudah selesai menyiapkan delapan puluh persen lebih dulu presentasi itu. Ayah April tidak hobi menunda-nunda pekerjaannya. Apalagi meeting itu adalah kesempatannya untuk unjuk gigi juga pada atasan agar ia mendapat promosi lebih cepat.
“Yauda Pah nanti lagi, kayaknya lagi banyak kerjaan tuh!” sambung lagi Ibu April.
“Oke mah. Papa kerja dulu lagi ya!”
“Iya Pah. Mmmuacchhh,” kecup sayang Ibu April yang langsung dibalas juga oleh suaminya.
Mereka berduapun kembali ke aktivitasnya masing-masing.
Ayah April dilanjutkan dengan kesibukannya menyiapkan bahan presentasi dan berlatih lagi untuk mempresentasikan ide dan inovasi-inovasinya di depan para klien. Sedangkan Ibu April sedang bersantai dengan posisi setengah rebahan dan kaki selonjoran di kursi nan empuknya menonton acara tv pagi tahun 90-an, sembari mengelus-elus perutnya yang menonjol.
Sekitar sebelas kurang, setelah presentasi sudah siap dan tinggal menunggu klien datang, tiba-tiba saja perut Ayah April terasa sakit tetapi sekebelabat saja. Hal itu padahal menjadi pertanda alam bahwa sebenarnya Ibu April juga akan segera melahirkan. Namun, Ayah April tidak peka melewatkan tanda alam itu begitu saja. Beberapa menit kemudian klienpun datang dan presentasi Ayah April segera dimulai.
Saat yang bersamaan di rumah, Ibu Aprilpun terbangun seketika setelah tertidur singkat karena mengantuk. Ia merasakan perutnya sakit dan sepertinya nalurinya berkata untuk bersiap-siap pergi ke rumah sakit untuk melahirkan. Digenggamnya telepon rumah era 90-an kemudian langsung ia menelepon suami tercintanya.
“Kriiiiiiiiiiiing. Kriiiiiiiiiiiiiiiinggggggg. Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnngggggggg.” Tidak ada yang mendengar telepon genggam Ayah April yang ia tinggalkan di dalam ruangan kantornya. Hanya getarannya saja terasa oleh meja kantor sementara terlihat dari kisi-kisi jendela ruang kantor, Ayah April sedang semaksimal mungkin memberikan presentasi terbaiknya pada para klien.
“Aduduhhh sakit …!” mulai keluar rintihan awal Ibu April yang menahan sakit di perutnya. Ia mencoba menelepon kembali suaminya.
“Kriiiiiiiiiiiing. Kriiiiiiiiiiiiiiiinggggggg.” Hingga beberapa kali ia coba telepon tetapi tidak ada jawaban.
“Duuuhhhh, lagi meeting kali ya. Atau telepon nomor kantornya aja ya. ADUHH!!!” Sakit di perutnya itu lama-lama memberontak dan lumayan terasa. Ibu April tergopoh-gopoh mencoba mencari nomor telepon kantor Ayah April di meja kerja. Sampai ia temukan kartu nomor tersebut tetapi energinya sudah habis. Iapun jatuh pelan terjuntai. Halim menghampiri Ibunya.
“Ibu kenapa Bu?”