Masih di malamnya tanggal dua puluh lima Bulan April, Adli dan Mali khususnya kedua orang tua Alli’ masih gemetar dan terpukul serta shock setelah mendengar berita tidak mengenakan dari dokter yang baru saja keluar dari ruangan ICU kamar Alli’ di rawat.
Adli yang masih dalam posisi tersimpuhnya tidak juga kunjung bergerak sedikitpun. Mali melihat Adli dengan simpati dan meraih tangannya untuk mengajaknya bangkit.
“Dli, Gue tahu ini berat buat lu karena ini adalah yang kedua kalinya lu di tinggal sama orang yang berarti bagi lu,”-Mali juga sebenarnya telah mengetahui tentang Mira-“tapi jangan lupa disini masih ada orang-orang yang masih berarti juga buat lu,” tutur Mali sambil memegang salah satu pundak temannya itu.
Adli yang awalnya tidak menghiraukan uluran tangan Mali, akhirnya mencoba untuk bangkit dari keterpurukannya walau dirinya masih sangat sedih. Di malam itu juga hingga subuh menjelang, Adli dan Mali membantu kedua orang tua Alli’ untuk mengurus segala urusan di rumah sakit dan juga menyebarkan kabar duka itu kepada pihak sekolah serta kawan-kawannya di sekolah.
Terlihat tatapan terakhir yang amat dalam dari Adli dan Mali pada Alli’ untuk terakhir kalinya disaat ambulan membawa jenazah Alli’ ke rumahnya dan akan segera diterbangkan ke Sulawesi bersama orang tuanya untuk di kubur di sana.
“Sampai ketemu ya Li’ di sebrang sana! Baik-baik lu disana, kita disini gak bakal pernah lupain kebaikan-kebaikan dan kelucuan-kelucuan lu!” Itulah kata-kata terakhir Adli pada Alli’.
“See you brothers!” disusul dengan Mali juga yang masih mencoba menahan tangisnya, karena tidak kuat lagi iapun menangis tidak karuan di saat ambulan yang membawa Alli’ sudah berjalan dan suara sirinenya pun meredam di kejauhan fajar yang menyingsing. Adli dan Mali kembali ke rumah mereka untuk berganti seragam dan berencana balik ke sekolah untuk mengikuti tahlilan dan salat jenazah untuk sahabat mereka tersebut nantinya.
Ketika di sekolah, semua murid yang mengenal kehumorisan Alli’, termasuk geng motor yaitu Iman dan kawan-kawannya semuanya terisak sedih tak terkecuali tidak menyangka murid baru yang baru masuk semester kemarin sudah lebih dahulu pergi dari sekolah dan dunia ini. Terlihat juga Aldo, Danir, Epi, Faza, dan Bani yang termasuk circle dari Aldo juga memberikan simpati mereka pada Adli dan meminta maaf tentang kejadian waktu itu ketika mereka sampai berkelahi satu sama lain. Sementara April dan Indi juga sangat shock mendengar berita tersebut, mereka menyesal dan berandai-andai kalau mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, mereka lebih memilih untuk menemani Alli’ dengan Adli dan Mali sampai akhir hayat Alli’ tadi malam dibandingkan pulang ke rumah mereka.
Saking kuatnya atmosfer kesedihan dan rasa berkabung di sekolah pada saat itu, Adlipun sampai lupa bahwa hari itu adalah hari ulang tahun April. Ia tidak mengucapkan sepatah kata apapun pada April, entah itu happy birthday, selamat ulang tahun, atau sejenisnya. Pihak sekolah telah menggelar terpal besar untuk mengumpulkan semua murid di lapangan. Para muridpun duduk di atas terpal lebar tersebut dan di Hari Jumat pagi itu murid yang beragama islampun bertadarusan sekaligus mengadakan doa bersama atas kepergian salah satu murid tercintanya.
Tidak ada cahaya matahari sedikitpun di Jumat pagi kelabu itu. Lalu tidak lupa, Bapak Kepala Sekolah juga menuturkan pidatonya mengenai insiden tragis tersebut. Untungnya kali ini, Pak Jan tahu situasi dan tidak berlama-lama seperti ketika ia berpidato saat menjadi pembina upacara.
“Baik, doa yang sebanyak-banyaknya kita haturkan pada Muhammad Alli’ agar tenang di sisi tuhan-Nya. Terakhir yang ingin saya sampaikan dan tekankan sekali lagi untuk anak-anakku, lebih berhati-hatilah di jalan. Ingat masih ada orang tua kalian, kakak, atau adik, dan teman-teman kalian yang menyayangi kalian. Demikian dan terimakasih wassalamualaikum.”
Pidato Pak Jan itupun selesai. Di akhir penutupan pidatonya tersebut menunjukan Pak Jan sama sekali tidak merasa kecelakaan yang merenggut nyawa Alli’ itu adalah karena peraturan yang ia buat. Pak Jan lebih merasa itu adalah kesalahan dari Alli’ sendiri yang tidak berhati-hati menuju sekolah. Para murid yang kiranya mengetahui hal tersebut dan lebih berpihak pada Alli’, merasa kesal lalu menyebarkan luaskan desas desus bahwa Pak Janlah yang membuat nyawa Alli’ menghilang karena peraturannya yang mengharuskan murid tidak boleh terlambat. Apabila terlambat maka dipulangkan, tidak boleh masuk sekolah dan tidak mengikuti ujian sehingga menyebabkan kebanyakan murid buru-buru tidak ingin telat dan Alli’ yang tidak beruntungpun kecelakaan.
Setelahnya, barulah langit yang dari setadi sudah menahan tangisnya atas kepergian Alli’ akhirnya menurunkan hujannya juga. Langit tahu bahwa seluruh warga sekolah sedang mendoakan Alli’ bersama-sama di lapangan sehingga langit tidak ingin mengacaukannya begitu saja dengan hujannya.
Hujan di pagi itu lumayan deras dan lama hingga pukul mendekati waktu salat Jumat di sekolah tetapi tidak ada lagi kehadiran Alli’ yang selalu menemani dan mengintili Adli dan Mali kemanapun mereka pergi. Adli dan Mali kembali menjadi berdua saja seperti sebelum kedatangan Alli’.
…
Hari-hari telah berlalu setelah kepergian Alli’ yang sangat tiba-tiba. Suasana sekolah sudah tidak seperti sedia kala disaat canda ria dan keisengan Alli’ masih mengisi hari-hari Adli dan Mali. Kadang masih terngiang di benak Adli suara ledekan dari Alli’ padanya yang membuat dirinya jengkel. Namun, meskipun sering membuat kesal, Alli’ tetaplah Alli’ yang selalu berusaha menghibur sekitarnya dan tetap rendah hati di segala situasi.
Para murid kelas dua belas sebagian besar hanya datang ke sekolah untuk mengisi absen karena tidak ada lagi mata pelajaran yang harus mereka ikuti. Setelah mengisi absen, murid yang kelewat nakal nekat bolos saja mengendap-endap melewati gerbang sekolah atau memanjat tembok sekolah. Ada juga yang tetap belajar mandiri di kelas untuk mempersiapkan ujian SBMPTN. Sementara itu Adli memilih berkeliuran tidak jelas dan pergi ke kantin menyendiri pada saat jam pelajaran kelas sebelas dan dua belas masih berlanjut. Para guru membolehkan asal tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar adik kelas mereka.
Terdengar percakapan dari dua abang kantin yang sedang menunggu dering bel istirahat sekolah sebentar lagi berbunyi.
“Jadi tembok samping sekolah itu siapa yang corat-coret? Murid dari sinikah?”
“Wah pasti dong murid sekolah ini orang gambarnya aja Pak Kepala Sekolah. Kalau ku tahu siapa yang gambar, aku request deh gambar tulisan ‘turunkan harga sewa kantin sekolah!’ ahahahaha.”
“Iyaa ide bagus tuh semenjak Kepala Sekolah ganti yang baru untungku jadi dikit aja karena sewa kantin disini malah naik!”
Adli hanya mendengarkan saja, saat itu suasana kantin masih sepi, Kemudian Adli melanjutkan renungannya atas kepergian Alli’ yang baru saja datang di kehitupannya lalu menghilang dengan cepat begitu saja. Tidak lama setelah itu, bel istirahatpun berbunyi. Para murid kelas sepuluh dan sebelas keluar dari kelas mereka untuk sekedar jajan maupun istirahat, bercanda, mengobrol, ataupun menengok gebetan di kelas lain.
Lili yang pagi itu tidak sempat sarapan langsung menuju kantin untuk mengisi perutnya yang kosong. Disana ia bertemu dengan Adli yang hanya memainkan HPnya menscroll-scroll instagram. Lili menghampiri Adli lalu di depan Adli, ia diam sejenak kemudian mengeluarkan kata-kata dengan nada rendah dan sedih, “Gue turut berduka cita Ka, atas kepergian Alli’.”
Adli yang tidak menyangka dengan kedatangan Lili menjawabnya dengan spontan, “Eh lu Li. Iya Li …. Kita doakan aja terus yang terbaik buat dia di alam sana.”
Lili hendak berjalan menjauh tetapi kemudian Adli menahannya. “Sebentar Li! Gue mau kasih tau sesuatu!”
Lili kembali menoleh ke arah Adli. “Sebenernya Gue telat untuk ngasih tau hal ini. Tapi apa boleh buat daripada tidak sama sekali,” ucap Adli