Ada Cerita di Sekolah

Awal Try Surya
Chapter #60

H-1

Hari Kamis pertama pada awal bulan Mei yang cerah di tahun ajaran terakhir untuk para murid Angkatan Adli. Di sore harinya setelah pulang sekolah, terlihat beberapa murid di jalanan samping sekolah yang sedang mencorat-coret baju mereka masing-masing menggunakan pilog dengan berbagai warna. Hal itu mereka lakukan sebagai tanda perayaan kelulusan yang amat dini padahal pengumuman kelulusanpun belum juga keluar. Disana terdapat juga Iman dan kawan-kawan geng motornya ikut merayakannya.

“Sini mana spidolnya? Gue tanda tangan dulu di baju lu Man!” kata Giovano dengan antusiasnya. Iman memberikan punggungnya sembari sedikit membungkuk. Mereka berpesta pora melepaskan segala kepenatan setelah ujian kelulusan kemarin.

“Jadikan nanti malam kesini lagi? Kita eksekusi!” tanya fian pada Iman dan kawan-kawannya itu mengenai suatu rencana rahasia yang akan mereka lakukan malam nanti di jalanan samping sekolah ini.

“YOI! Pilognya jangan dihabisin semuanya ya! Kita kumpul di basecamp biasa sekitaran jam sepuluhan terus lanjut kesini!” perintah Iman.

“Tenang Bos! Stock pilog kita banyak ada sedus! Warna-warni lengkap pokoknya deh sama alat-alat yang udah Bos request,” jawab Kifri.

“Woke sippp!”

Iman dan kawan-kawan lanjut menggoreskan semua tinta spidol pada setiap ruang kosong yang masih ada di baju putih SMA mereka masing-masing dengan segala jenis coretan berupa tanda tangan, gambar tidak senonoh, maupun sebatas kalimat pendek yang tidak berarti.

Sedangkan Deon hanya mengeleng-gelengkan kepalanya melihat teman-temannya itu. “HADEEEHHH budaye Indonesia kagak ade yang berubah dari jaman jebot!” komentarnya dengan logat betawrinya yang juga keluar karena merasa teman-temannya itu melakukan perbuatan yang mubazir dan melestarikan budaya yang tidak baik.

“SINI GUE CORET BAJU LU!” seru Iman.

“EH JANGAN LAH. Nih baju nanti buat Adek Gue yang tahun depan juga udeh masuk SMA. Emak Gue nyuruh jangan ikut-ikutan nyoret-nyoret baju kayak lu lu pade! Entar Gue diomelin Emak Gue lagi,” kekeh Deon.

“Ohh buat adek lu, bilang dong. Kalau tahu gitu Gue juga ngertiin lah. Yauda Lu aja nih tanda tangan di baju Gue!” perintah Iman lagi pada Deon. Deon hanya menuruti saja dan terpaksa tetap mencoret baju Iman dengan tanda tangannya itu meskipun dirinya merasa bersalah.

Setelah puas dengan kegiatan corat coret baju, merekapun lanjut konvoi berkeliling merayakan kelulusan palsu itu. Andaikata salah satu dari mereka ada yang tidak lulus, pasti betapa sangat malunya murid yang kurang beruntung dan tidak lulus tersebut padahal sudah berpesta pora merayakan kelulusan palsu dengan teman-temannya itu.

Malamnya sekitar pukul sepuluh kurang, setelah selesai merayakan kelulusan palsu dan berkonvoi ria, Iman dan kawan-kawannya sudah berada lagi kembali di jalanan samping sekolah.

Jalanan tersebut lumayan gelap dan sepi, tidak ada lampu jalan yang menerangi juga jarang sekali dilewati oleh siapapun, apalagi kalau sudah larut malam. Waktu tersebut mereka pilih agar rencana yang akan Iman lakukan dengan kawan-kawanya itu aman tidak terlihat oleh siapapun.

Iman, Giovano, Kifri, Feri, Fian, dan Deon sudah siap tempur membawa perlengkapan berupa pilog serta alat-alat lukis gambar lainnya, yang ternyata rencana mereka malam ini adalah ingin berkilah melakukan kenakalan remaja lainnya yakni mencorat-coret tembok samping sekolah. Jiwa muda yang masih liar dan susah diatur belum juga terpuaskan dengan hanya kegiatan corat-coret tadi sore, serta pikiran juga kreatifitas mereka yang berlimpah rasanya masih memerlukan kanvas yang lebih luas lagi dari sekedar baju putih SMA mereka. Sehingga dipilihlah tembok samping sekolah yang sudah agak kusam catnya lama tidak dipelihara dan diperbaharui kembali.

“Yuk kita mulai!” aba-aba Iman pada anggotanya.

Mereka semua sudah merasa seperti pemilik tanah jalan samping sekolah, mengusainya dan memblokirnya. Beberapa menit sudah berjalan, Iman, Giovano, dan Fian sedang fokus asyik-asyiknya menumpahkan kekreatifitasan yang ada di kepala mereka di kanvas putih besar berupa dinding samping sekolah.

“Gimana Deon? Amankan belum ada satpam yang keluar dari gerbang buat ngecek?” tanya Iman.

“Aman Man! Terusin aja Gue jagain kok!” sahut Deon dari kejauhan di ujung jalan samping sekolah yang dekat dengan gerbang depan sekolah. Ia menjadi penjaga teman-temannya, memantau gerbang sekolah jikalau ada satpam sekolah yang keluar untuk berjaga.

Ketika larut malam hari, memang tidak ada seorangpun yang melewati jalan samping sekolah tersebut karena ujung jalan lainnya yang tidak dijaga oleh Deon sudah diportal sedari matahari sudah terbenam. Portal yang terpasang seperti kebanyakan portal jalanan komplek lainnya berupa besi panjang berukuran sedang yang dapat dibuka tutup dengan tali dijungnya yang terikat. Ketika pagi tiba sampai sore hari, biasanya portal itu akan dibuka ikatan talinya sehingga besinya pun akan terangkat dengan sendirinya karena ujung lainnya diberi beban batu besar.

Goresan cat yang keluar dari pilog Iman semakin lama semakin membentuk suatu gambar beserta tulisan. Tidak lama setelahnya, gambar dan tulisan itupun menyatu lalu terlihat sebuah wajah seperti karikatur terpampang jelas.

“Wah gila lu kalau ketahuan kita yang ngegambar, bisa-bisa gak jadi lulus kita padahal baru ngerayain tadi sore!” protes Feri yang mentalnya tidak sekuat Iman sang pemimpin geng motor.

“Yahilah Fer tenang aja. Gak ada bukti kalau kita yang ngelakuin. CCTV gak sampe ngarah kesini, cuma ngerekam bagian dalam tembok doang. Terus kan udah ada Deon tuh yang jagain.” Iman menoleh ke arah Deon, Deon hanya memberi jempolnya mengisyaratkan semuanya masih aman terkendali.

Mural Iman yang hampir jadi itu menggambarkan sesosok figura dari wajah Pak Jan sendiri dengan kedua matanya yang tertutup dan tersensor juga tertindih dengan tulisan S-T-R-I-C, “STRIC!”. Iman yang begok dan tidak melakukan observasi terlebih dahulu, hanya mengingat seadaanya di kepalanya saja dan melupakan satu huruf lagi yaitu huruf t di paling belakang kata dari Bahasa Inggris yang hendak Ia tuliskan tersebut.

Giovani yang sedang menggambar mural lainnya di samping gambar Iman menengok, Ia langsung mengomentari gambar Iman tersebut, “Kurang T tuh bodoh!”

“Oiya? Yauda entar gue tambahin lagi sabar ngapa ini lagi nebelin tepinya dulu!” jawab Iman.

“Ahahah Iman PEA! Iya kurang T itu!” tambah Kifri juga. Iman tidak menengok, Ia hanya membalasnya dengan gerakan jempol dan jari telunjuknya yang lalu bergabung membentuk lingkaran menandakan isyarat OKE! Ia sedang fokus-fokusnya menyelesaikan mural tersebut.

Kifri melanjutkan, “Wah lu pada bisa gambar ya! Hebat juga! Gue bantu-bantu aja deh disini jadi asisten pelukis!”

Lihat selengkapnya