Ada Cinta di Rinjani (Buku Pertama)

Imajinasiku
Chapter #2

1.Sebuah Tawaran Mendadak

“Bu Rizka tidak ada rencana untuk menikah?” tanya Bu Febri yang saat itu sedang mengoreksi hasil ulangan anak didiknya di meja kerjanya. Kedua matanya tidak berpindah dari kertas ulangan yang sedari tadi terkadang dicoretnya atau terkadang dilengkapinya.

“Belum ada rencana untuk itu, Bu.” Gadis itu mengulum senyum.

Rizka, gadis berusia 24 tahun. Ia adalah satu-satunya guru muda yang ditugaskan di SMA itu. Di usianya saat ini tidak terbetik dalam benaknya untuk menikah seperti teman-temannya yang lain. Tidak sedikit teman-teman sesama guru menyinggung soal kapan dirinya akan menikah. Padahal gadis yang usianya jauh relatif muda darinya banyak yang sudah punya anak. Sebenarnya dalam diri Rizka sendiri ada suatu keinginan untuk menikah, membangun rumah tangga, memiliki suami dan punya anak, namun sampai saat ini belum ada lelaki yang mendekati dirinya. Lebih tepatnya belum ada lelaki yang serius mencintainya. Rizka memiliki wajah yang cantik, imut, hidung mancung, bibir yang indah, mata yang jernih, bulu mata yang lentik, tubuh yang sintal, dan otak yang cemerlang. Wajar saja banyak lelaki tidak tua juga tidak muda yang terpikat dengan kecantikan dan tubuh sintalnya.

“Memangnya kenapa, Bu?” Bu Febri mengalihkan pandangannya pada Rizka yang saat itu juga sedang fokus menatap layar laptopnya.

“Belum ada calonnya.”

“Masa sih, Bu. Bu Rizka kan masih muda, cantik, dan cerdas lagi.”

“Ada sih yang dekat dengan saya, tapi tidak serius.”

“Kalau tidak serius buat apa, Bu? Memangnya mau pacaran terus? Ketimbang lama-lama pacaran tidak jelas kan mending nikah agar terhindar dari fitnah.”

“Keinginan saya sih memang begitu, Bu. Tapi dianya yang tidak mau karena masih belum mempunyai pekerjaan yang tetap. Dia kerjanya serabutan. Kadang menjadi buruh tani, kadang menebang pohon tinggi, kadang kuli bangunan, dan kadang menganggur.”

“Kalau kita menikah hati terasa lega karena sudah melaksanakan kewajiban kita sebagai seorang muslimah. Menikah kan sunahnya Nabi Muhammad? Dengan menikah kita juga memilih rumah tangga, memiliki tempat untuk menumpahkan segala kelu kesah, memiliki seorang suami sebagai tempat berlindung, memiliki keluarga yang menjaga diri kita, dan memiliki anak-anak yang dapat membahagiakan hati kita. Tapi, kalau dianya belum memiliki pekerjaan tetap buat apa, Bu? Mending Bu Rizka mencari lelaki yang sudah memiliki kerja tetap.”

Selama ini Rizka memang telah menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Kepada lelaki itu berkali-kali ia mengutarakan keinginannya untuk menikah, namun lelaki itu selalu saja memiliki sebuah alasan untuk menolak keinginan Rizka karena dirinya belum memiliki pekerjaan tetap. Sama seperti halnya warga yang lain di kampungnya, lelaki itu terkadang bekerja di sawah milik petani, menanam padi, menanam jagung, memetik tomat, menanam pohon, menjaga bawang hasil panen di malam hari, atau mengairi sawah. Kalau tidak pekerjaan atau belum musim tanam, lelaki itu menganggur. Meski di kabupaten telah bergonta-ganti bupati, namun pengangguran tetap saja tidak berkurang. Lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah hanya untuk mereka yang memiliki ijazah SMA. Kebanyakan pendidikan penduduk warga di sini hanyalah lulusan SD, bahkan tidak sampai lulus kelas 6. Jarang ada yang melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan SMP atau perguruan tinggi.

“Lagi bahas apa ini kok serius amat?” salah seorang guru yang mejanya bersebelahan dengan mejanya Rizka ikutan nimbrung.

“Ini lho, Bu, Bu Rizka saya kasih saran supaya mencari lelaki yang sudah memiliki pekerjaan tetap. Kalau seorang lelaki telah memiliki pekerjaan tetap kan mereka akan kepikiran untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius?” sahut Bu Febri yang diiyakan oleh guru yang satunya lagi itu. Namanya adalah Bu Endah. Ia mengajar bidang studi Biologi.

“Betul itu, Bu Rizka. Ini bukan mengapa ya. Sampeyan tahu tidak, keponakan saya, Qomariah, kan dia tidak melanjutkan sampai kelas tiga SMA dan lebih memilih bekerja di toko pakaian yang ada di pinggiran kota, beberapa bulan yang lalu ada seorang pedagang sapi datang ke rumahnya untuk menemui orangtuanya. Pedagang sapi itu bermaksud untuk menyakan status Qomariah, sudah menikah apa belum. Pria itu rencananya ingin menjodohkannya dengan seorang pemuda yang masih memiliki kekerabatan dengannya. Maksudnya pemuda itu akan dinikahkan dengan Qomariah. Katanya, pemuda itu lulusan salah satu pesantren di kota. Ayahnya Qomariah langsung setuju karena pemuda itu berasal dari keluarga cukup dan memiliki sawah. Akhirnya dua minggu kemudian, keponakan saya bertunangan dengan pemuda itu,” cerita Bu Endah mengisahkan perjodohan keponakannya.

“Benar sih Qomariah langsung menyukai pemuda itu karena anaknya taat dalam menjalankan ibadahnya, pandai mengaji Al-Quran, rajin mendatangi pengajian, rajin sowan ke rumah kiainya, dan sering diundang dalam acara khataman Al-Quran. Dua minggu kemudian, keduanya pun menikah dalam sebuah pesta yang sederhana. Setelah menikah, Qomariah tinggal di rumah suaminya. Sayangnya, suaminya sampai saat ini tetap menjadi pengangguran. Keluarga baru itu menumpang makan dari kakak suaminya Qomariah yang bekerja di pabrik tekstil di kota. Saran Bu Febri buat Bu Rizka sudah tepat. Sebagai orangtua yang lebih tua dari Bu Rizka, kami menyarankan agar Bu Rizka menikah dengan laki-laki yang sudah memiliki pekerjaan tetap.”

“Benar bahwa rezeki sudah diatur oleh Gusti Allah, tapi kan ada perantaranya yaitu bekerja. Bekerja apa saja asalkan pekerjaan tetap bukan serabutan. Soalnya kalau pekerjaannya tetap pastinya gajinya juga tetap. Kalau serabutan kan beda lagi karena harus menunggu pekerjaan datang. Pengeluaran seseorang yang telah menikah jauh lebih besar daripada kita yang belum memiliki anak dan istri. Belum lagi membeli bedak, beli kosmetik, beli skin care, beli baju, beli sandal, beli susu, beli popok, beli minyak telon, beli bedak bayi, belum lagi kalau anak sakit, pergi ke bidan, ke dokter anak, ke dukun pijat, dan sebagainya.”

“Kalau kita memiliki suami yang sudah memiliki pekerjaan tetap, kita tinggal dikasih duit saja. Iya kan, Bu?”

Bu Febri menganggukkan kepala.

Detik itu juga dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam Rizka memanjatkan doa kepada Allah Swt, agar dirinya dipertemukan dengan sosok lelaki yang tidak hanya mencintai dirinya dengan tulus, tapi juga bertanggung jawab dan mengajaknya untuk menikah. Sebab kapan pun dirinya diundang untuk hadir dalam pernikahan teman-temannya, ia selalu ditanya kapan akan menikah. Ia sudah letih hidup sendiri tanpa ada tujuan yang jelas. Ia sudah letih berhubungan dengan lelaki yang hanya saja mempermainkan dirinya tanpa adanya niat untuk mengajaknya melangkah ke jenjang yang lebih serius. Menikah, selain bertujuan terhindar dari fitnah, juga menjalin hubungan tali silaturrahmi dan suatu amalan ibadah untuk melangsungkan keturunan manusia. Tidak ada kerinduan yang lebih dirindukan oleh Rizka selain memiliki suami yang saleh dan anak. Ia ingin segera memiliki anak. Tapi, sampai detik ini tidak seorang pun lelaki yang mencintai dirinya dengan tulus.

“Tapi persoalannya, sampai detik ini Bu Rizka masih belum punya calon suami yang mau mengajaknya untuk melangkah ke jenjang pernikahan, Bu Endah.” Bu Febri mengedipkan matanya kepada Bu Endah.

“Masa tah? Bu Rizka kan cantik? Selain cantik, Bu Rizka juga cerdas, baik hati, dan sarjana lagi,” timpal Bu Endah yang membuat pipi Rizka bersemu merah karena merasa tersanjung oleh pujian itu.

Lihat selengkapnya