Setelah suara dari bibir jenazah Alvano membacakan pantun alam gaib, suasana Salon Puspa kembali hening. Tapi bukan hening yang damai. Hening yang bikin napas ditahan, kayak nonton sinetron horor jam dua belas malam sambil pipis ditahan.
Sundari masih jongkok di bawah meja rias sambil berdoa campur pantun.
“Ya Allah, lindungi aku dari segala yang halus.
Kalau masih jomblo, beri aku yang halus tapi manis.”
Mamang belum sadar. Posisinya masih pingsan berdiri—entah bisa atau memang jiwa sudah melayang setengah.
Agus duduk memeluk bantal mayat (yang harusnya buat penyangga leher jenazah), sambil berkeringat dingin.
“Bu... bu... Cl-Cla-ra... i-i-itu je-je-na-zahnya ma-masih ke-ke-ce...”
Clara berdiri diam. Tatapannya kosong. Telinganya masih terngiang kata-kata Alvano.
“Sebelum cinta selesai kubawa mati...”
Ia mengenal suara itu. Tapi bukan dari dunia ini.