Clara duduk di ruang istirahat dengan wajah lebih pucat dari foundation jenazah. Di tangannya, foto yang jatuh dari lemari rias masih bergetar tipis. Tatapannya kosong, seakan masa lalu datang naik ambulans.
Sundari berdiri di belakangnya, mencoba ikut menyelami perasaan bosnya. Tapi gagal.
“Bu Clara... ini tuh kayak plot sinetron Indosiar, tapi versi... mayat.”
Mamang ikut nimbrung. “Ini pasti cinta lama bersemi di peti. Bukan biasa, Bu. Ini namanya CLBP!”
Agus berbisik, “Ce-ce-ce-love la-la-la-be-be-belum pe-pen-pen-dek...”
“Belum pendek? Maksudmu belum pendekatan, Gus?” sergah Sundari sambil nyubit lengan Agus.
Clara hanya mendesah. Lalu berdiri dan berjalan ke lemari kayu tua di ujung ruangan. Ia buka perlahan—dan dari balik tumpukan dokumen lama dan amplop surat duka, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil.
Sundari mendekat seperti kucing penasaran.
“Apa tuh, Bu? Kotak bekal cinta pertama?”
Clara membuka kotaknya. Di dalamnya ada satu benda yang sudah menguning: sebuah surat. Tertulis tangan, beralamatkan Alvano R.