Terlihat daun telinga yang memerah dari seorang lelaki paruh baya berumur hampir mencapai lima puluh tahun, sedang mendengarkan penjelasan lantang dari seorang reporter perempuan yang hanya terdengar suaranya saja tetapi tidak dengan sosoknya.
“Tahun 1998 adalah tahun yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia,” ucap suara dari reporter perempuan itu berasal dari televisi.
Pantulan cahaya televisi nampak pada kacamata lelaki tersebut. Dari balik kacamata itu, kedua bola matanya tersirat kosong, hampa, seolah mencoba menatap jauh ke belakang mengingat-ingat peristiwa di tahun 1998.
“Tahun dimana Indonesia dilanda krisis besar-besaran,” lanjut reporter tadi. Acara berita malam itu menunjukkan beberapa potongan kejadian-kejadian di tahun 1998.
Reporter perempuan terus bernarasi, “Tepatnya pada tanggal 13 Mei hingga 15 Mei 1998.”
Gelombang lautan manusia dengan berbagai macam warna almamater, atribut, bendera dan umbul-umbul, maupun perbedaan warna kulit mereka juga, dengan gagah berani menyapu gerombolan manusia berseragam coklat lainnya yang mematung seperti batu, membentuk tembok barisan pertahanan untuk melindungi majikan-majikan mereka.
“Demo besar-besaran terjadi untuk menuntut reformasi,” sambung reporter perempuan.
Tak dapat dihindari, kelompok manusia berseragam coklat yang tampak seperti patung tidak terima hanya membatu saja. Mereka mulai memukul mundur, menghajar, menendang,
“DOOORRR!” bahkan meletuskan beberapa tembakan pada pemegang kekuasaan tertinggi yang sebenarnya yaitu para rakyat, para mahasiswa.
“Empat nyawa mahasiswa gugur sebagai pahlawan reformasi,” tutur reporter perempuan.