September 1997
Suasana dini hari pada malam yang sepi di sepanjang jalan perkomplekkan suatu ruko-ruko yang berderet panjang, yang kebanyakan pemiliknya adalah kaum etnis Cina, di area sekitar Grogol, Jakarta. Semua ruko sudah tutup, terlihat beberapa anak muda di gang-gang kecil samping jalanan tersebut sedang mabuk, meminum anggur murahan yang langsung mereka tenggak dari botol beling anggur tersebut.
Sayup-sayup terdengar derit suara ranjang kayu menjerit-jerit,
“NYIT NYIT NYIT NYIT NYIT NYIT!”
di antara desah napas yang memburu beradu menderu dari dalam salah satu ruko. Tubuh molek kedua insan yang merupakan sepasang suami istri saling terpikat ikat dalam cumbu, beradu lutut dalam gelap dan sunyinya malam.
Suara decit ranjang kayu terus berbunyi tiada henti,
“NYIT NYIT NYIT NYIT!”
sampai membuat kacamata sang suami yang berada di atas meja kayu kecil di samping ranjang juga ikut bergoyang, bergeser satu-dua gerakan. Terlihat dari kacamata tersebut, bayangan pasangan itu yang semakin bergairah terus membuat kaki kasur kayu bergoyang semakin kencang.
“NYIT NYIT NYIT NYIT! ---------- NGEK NGEK NGEK NGEK!”
Suara kaki ranjang kayu mendadak berganti menjadi suara dari kaki kursi tua reyot penyok yang sudah di makan rayap. Seorang lelaki sedang duduk di kursi tua itu, menggoyangkan kakinya berulang kali, naik dan turun. Sehingga timbullah bunyi kursi kayu tadi. Pandangannya menatap termangu melalui kacamatanya ke arah jam dinding. Jarum jamnya menunjuk pada angka sebelas siang tepat. Terlihat sebuah toko material tiga lantai yang terpampang besar-besar plang nama di bagian depannya bertuliskan,
“JAYA MAKMUR.”
Di lantai satu bangunan digunakan sebagai area toko sedangkan lantai dua dan tiga adalah area tempat tinggal pemilik toko tersebut. Toko material itu cukup terkenal di lingkungan sekitar. Berbagai macam bahan bangunan seperti kaleng cat tiga puluh satu warna, paku-paku panjang maupun pendek, juga kuas cat, handel pintu, lampu-lampu serta alat elektronik lainnya tersedia lengkap di etalase toko yang lumayan besar.
Semua barang itu bersih dari sebutir debu, terletak dengan rapih dan terorganisir. Merasa bosan duduk berdiam diri terlalu lama, lelaki tadi beranjak dari kursi tuanya. Ia kemudian mengambil kemoceng yang biasa di letakkan dekat sudut tembok meja kasirnya dan mulai membersihkan sudut-sudut tokonya.
Sang istri yang berusia beberapa tahun di bawah sang suami lalu keluar dari dalam pintu di belakang tempat kasir. Ia berpakaian daster dombrang kencana ungu berwarna kunyit nan panjang hingga lutut, diterusi dengan legging hitamnya yang menutupi betisnya.
“Gimana, Mas. Belum dapet penglaris?” tanya Arida berjalan menghampiri suaminya.
Pertanyaan barusan membuat sang suami menoleh menatap wajah cantik jelita yang kini berdiri di depannya. Wanita berparas cantik, putih mulus bermata monolid, dengan rambut hitam lurus panjangnya itu adalah Arida Rangniyang, biasa dipanggil Ida. Dahulu Arida memanglah primadona. Sangat kentara sekali kalau ia adalah keturunan etnis Cina.
Suami tersayangnya bernama Ansal Rangniyang, Ia bisa dibilang beruntung mampu mendapatkan Arida. Orang sekitar mengenal Ansal dengan sebutan Acong. Ansal heran entah darimana bisa-bisanya Ia terkenal dengan panggilan itu padahal tidak ada sama sekali karakteristik atau ciri khas Cina yang menempel pada dirinya. Matanya tidak ada sipit-sipitnya, kulitnya pun sawo matang. Mungkin saja karena ia memperistri perempuan cantik yang merupakan etnis Cina asli dan sering menghabiskan waktu bersama orang-orang Cina lainnya di lingkungannya, iapun terkenal dengan panggilan Acong.
Ansal menggantung kemoceng ke tempat semula sambil mendengkus lelah dan kembali duduk. Ia menarik napas berat sembari memasang muka kusut. Arida menyadari kerutan tipis dari wajah Ansal yang murung. Ia lalu memijat-mijat mesra pundak suami tersayangnya dan kemudian memberikan senyuman penyemangat.
“Jangan murung gitu, nanti juga ada yang beli. Oh ya, Mas mau makan apa? Cap cay? Oseng kangkung? Cap go meh? Atau sop ayam saja kesukaan Mas?”
“Mmm… sop ayam saja.”
“Nggak bosen, Mas? Tiap hari makan sop,” ujar Arida bernada manja.
“Mmm… oseng kangkung aja.”
“Loh kok ganti selera?” timpal Arida terkejut.
“Ngirit, Ma. Kan pemasukan kita bulan ini minus. Jadi kita irit mulai hari ini, makan seadanya saja,” jawab Ansal masih bermuka murung.
Senyum simpul mengembang lagi dari wajah Arida yang cantik. “Ya sudah. Nanti Mama masak tempe, tahu, sama oseng kangkung yang enak buat Mas.”
“Terima kasih ya, Sayangku,” jawab Ansal dengan wajah murungnya yang sudah berganti menjadi ceria karena Arida.
“Oke deh!” balas Arida yang kemudian berjalan keluar dari toko.
…
Matahari siang menyengat membakar kulit, kelopak mata seakan tak mampu menatap kilauan aspal jalanan yang berasap fatamorgana. Arida telah sampai di jalanan dekat pasar yang tidak jauh dari rumahnya. Tampak gerobak penjual sayur keliling Mang Ujang yang ramai kerumuni lima ibu-ibu rumah tangga lainnya. Mereka tengah sibuk memilah-milah sayur dan bahan masakan apa yang akan mereka sajikan pada masing-masing Suami mereka di rumah. Suasana berangsur-angsur canggung ketika Arida menghampiri mereka. Semua mata tertuju tak ramah pada Arida. Bibir mereka terkatup rapat dan menatap Arida dengan muka tak suka.
“Eh, eh, pagi Bu Ida. Tumben belanja sendiri,” celetuk salah satu wanita berambut sebahu, pura-pura berbasa-basi menyapa Arida.
“Pagi Bu, wah kebetulan ada Mang Ujang!”-jawa Arida tersenyum ramah lalu lanjut bertanya-“gak pada beli di dalam pasar aja?”
Awalnya tidak ada yang ingin menyahut. Semua tatapan Ibu-ibu lainnya pada Ida seperti melihat orang asing yang datang entah darimana padahal mereka semua sama-sama tetangga dekat.
Ibu Siti akhirnya merespon, “Iya Bu Ida, duh di dalam pada naik harga sayurnya. Untung ada Mang Ujang mangkal di sini jadi mampir deh beli di sini aja. Bisa ngutang dulu kan ye Mang? Hehehe.”
Mang Ujang mengelap pipinya dengan handuk kecil di lehernya. Mukanya memelas sambil membuka buku catatan kecilnya dan menulis sesuatu di situ.
Arida heran, “Oiya?? Barusan Saya padahal mau beli ke dalam. Emang di sini lebih murah Mang Ujang?”
Tidak sempat menjawab pertanyaan Arida, Mang Ujang disibukkan melayani Ibu-ibu lainnya.
“Langsung bayar Mang Ujang! Ngapain ngutang-ngutang kayak Bu Siti!” ucap Ibu lainnya yang berdaster kotak-kotak dengan pandangan matanya yang berbelok tajam. Ia kesal karena Ibu Siti meladeni Arida.